Share

Bab 3 Dia Tidak Baik-Baik Saja

"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.

Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.

Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.

Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus.

"Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala.

"Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?"

"Kamu nggak apa-apa sendiri?"

Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah benar-benar tak kuat dengan sakit kepalanya. Terlebih nyeri di bagian belakang retina matanya, rasanya ia ingin melepas sejenak kepalanya dan melepaskan rasa sakitnya.

"Udah biasa sendiri ini. Pulang sekarang ya.."

Jadwal mereka hari itu harusnya padat sekali. Setelah melakukan press conference, Mutiara dan Nicho harus mencari souvenir pernikahan dan survei beberapa perabot untuk rumah baru mereka.

Semakin mendekati hari pernikahan justru Mutiara semakin merasa banyak sekali hal-hal yang belum terselesaikan untuk pernikahan mereka itu.

Mutiara memapah calon suaminya masuk ke dalam mobil dan mengantar Nicho pulang dengan mobilnya. Ia tak akan membiarkan Nicho menyetir sendiri dalam keadaan pucat pasi seperti itu.

Dalam perjalanan menuju kediaman Nicho, Mutiara tak henti-hentinya melirik Nicho yang tengah memejamkan mata. Perasaannya sama sekali tak tenang. Wajah pucat Nicho bukan pucat seperti orang yang masuk angin biasa.

Mutiara juga memperhatikan Nicho beberapa kali meringis seolah sedang menahan sakit.

Tapi memaksa Nicho pergi ke dokter adalah hal mustahil. Karena Nicho pasti menolak dengan keras. Mutiara membiarkan Nicho beristirahat meski ia cemas luar biasa. Ia yakin Nicho bukan sakit kecapekan biasa.

Nicho sengaja memejamkan matanya. Menahan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Ia hampir menangis ketika melihat betapa cemasnya Mutiara karena keadaannya.

Nicho berusaha keras menahan apapun, menahan tangannya agar tak kelepasan meremas kepalanya, menahan air matanya agar tak menetes meski setitik. Menahan diri agar tak mengerang sebab kesakitan. Menahan diri agar tetap sadar meski sedang memejam. Ia takut ia justru malah kebablasan pingsan dan membuat Mutiara semakin cemas.

Rasanya... Kepulangannya sudah semakin dekat. Nicho tak sanggup lebih lama menahan sakit ini. Tapi ia harus bertahan karena kakaknya belum juga memberikan jawaban.

Ia harus mendengar sendiri Motaz menyanggupi permintaannya menikahi Mutiara.

Mobil Mutiara memasuki halaman rumah Nicho. Rumah bergaya turki yang sangat elegan dan modern itu merepresentasikan Bu Katherine yang berasal dari sana.

Mutiara memarkirkan mobilnya kemudian membangunkan Nicho. Mutiara masih tidak tahu kalau Nicho hanya berpura-pura tidur.

"Kita udah sampai di rumah, Yang."

Mutiara mendengar pintu besar bergaya bodrum berwarna biru itu terbuka. Mutiara menoleh. Ibu Nicho sudah berada di ambang pintu dengan raut sama cemasnya dengan Mutiara.

Beberapa saat lalu, Nicho memberinya kabar bahwa ia akan pulang bersama Mutiara.

Nicho membuka matanya saat pintu di sampingnya dibuka Mutiara.

"Nicho pucat banget, Bu. Apa dia menyembunyikan sesuatu dari Ara?" Tanya Mutiara saat Ibu Katherine mendekat ke mobilnya.

Ibu Nicho baru akan membuka mulutnya, tapi kemudian Nicho menyela dengan cepat.

"Aku udah bilang, aku cuma kecapekan, Yang. Jangan khawatir." Ucapnya lemah.

Mutiara mengernyit.

"Ibu, tolong." Lirih Nicho.

Mutiara semakin mengernyit. Posisinya lebih dekat dengan Nicho, tapi Nicho meminta tolong ibunya untuk memapahnya?

Katanya cuma kecapekan biasa, tapi tubuh Nicho jauh lebih lemah dari biasanya. Menopang tubuhnya sendiri saja tak mampu. Mutiara menatap lesu Nicho yang dipapah ibunya memasuki rumah. Ia masih diam di tempatnya, sibuk dengan pikirannya sendiri.

Bu Katherine yang sadar bahwa Mutiara tak mengikuti langkah mereka kemudian menoleh. "Ayo masuk, Ara."

Ara adalah panggilan sayang dari Nicho untuk Mutiara. Karena Nicho memanggil demikian, ibu dan ayahnya juga ikut memanggil Mutiara dengan panggilan itu.

Pun Mutiara sangat menyukainya.

"Iya, Ibu." Sahut Mutiara dengan senyum simpul.

Sebenarnya Mutiara sudah tak asing lagi dengan rumah itu. Dua tahun menjalin hubungan dengan Nicho, ia sering diajak pacarnya itu berkunjung ke rumah orang tuanya.

Mutiara juga sangat disayang oleh Ibu Katherine sendiri. Beliau yang tak memiliki anak perempuan sangat bersemangat saat Nicho memperkenalkan Mutiara padanya.

Ayah yang sudah mengenal Mutiara lebih dulu juga menyetujui hubungan mereka. Mutiara bekerja di rumah sakit milik ayah Nicho sejak ia selesai belajar di Jerman dan kembali ke Indonesia. Tepatnya satu tahun yang lalu.

Nicho sudah berada di kamarnya, sementara Mutiara menunggu di ruang tamu yang semua ornamen-ornamennya bergaya Turki klasik.

"Souvenirnya bagaimana?" Tanya Bu Katherine sambil membawa dua gelas minuman.

"Nanti Ara yang cari, Bu. Setelah dari sini. Apa Nicho baik-baik saja? Saya bisa memeriksanya tapi tidak ada peralatannya di sini."

"Nicho baik-baik saja, Ara." Jawab Bu Katherine tanpa menatap Mutiara.

Mutiara mengangkat alisnya. Jawaban ibunya Nicho dengan raut wajah beliau tidak sinkron sama sekali.

Wajah sedih beliau sama sekali tidak bisa ditutup-tutupi. Gesture resah nan gelisah Bu Katherine kentara di mata Mutiara. Duduknya tak tenang dan selalu melirik ke arah kamar Nicho.

Nicho tidak baik-baik saja. Ibu terlihat sangat sedih dan cemas. Pikir Ara.

Meski begitu, Mutiara tetap mengangguk agar Ibu Nicho tahu bahwa ia percaya Nicho sedang baik-baik saja.

Mutiara dikejutkan oleh getar ponselnya sendiri. Ia merogoh ponsel itu di kantongnya. Melirik layar memunculkan nama dokter residen.

"Maaf, Bu. Ara jawab telepon ini dulu."

"Silakan." Jawab Bu Katherine tersenyum ramah.

Mutiara berdiri belum mengangkat teleponnya tapi masih menyempatkan melihat calon mertuanya itu. Kemudian ia gegas keluar ke teras menerima panggilan telepon di sana.

"Hallo.."

[Dok, pasien kecelakaan butuh operasi secepatnya.]

"Saya cuti hari ini. Dokter Harun atau Dokter Mia kemana?"

[Dokter Harun juga sedang di ruang operasi. Dokter Mia ada seminar tadi sudah pesan jangan diganggu.]

"Ck! Oke. 10 menit lagi saya sampai."

"Apa iya penting seminarnya dari pada nyawa manusia. Heran! Selalu begitu!" Gerutu Mutiara setelah menutup sambungan teleponnya. Dokter Mia adalah rekan kerjanya. Usianya masih di bawah Mutiara, tapi kecerdasannya membuat ia lebih cepat menjadi dokter bedah dan memiliki lisensinya.

Hanya cerdas. Dokter yang kompeten butuh tanggungjawab besar, bukan hanya kecerdasan. Juga, karena Dokter Mia adalah anak dari salah satu pimpinan di rumah sakit itu, ia selalu bekerja seenaknya. Memilih pasien ini dan itu. Dan banyak hal tak bertanggungjawab lainnya.

Mutiara kembali masuk dan berpamitan pada calon mertuanya itu.

"Ibu, Maaf sekali. Ada telepon darurat dari rumah sakit. Ara harus secepatnya kesana." Kata Mutiara seraya mengambil tasnya dengan tergesa.

"Baik.. baik.. pasienmu sangat penting."

Deg.

Di telinga Mutiara, kata-kata itu seolah sedang menyindirnya. Apa pasienku artinya lebih penting dari pada calon suamiku? Apa maksudnya begitu?

Mutiara tersenyum tipis lalu keluar dari rumah itu. Langkahnya lebar-lebar menuju mobilnya. Wajahnya tertunduk mencari kunci mobil hingga tak memperhatikan sebuah mobil juga memasuki halaman rumah Bu Katherine.

Saat mobil Mutiara mundur hendak keluar, mobil yang baru masuk itu maju memakai tempat yang tadi dipakai mobil Mutiara parkir.

"Pasti abangnya Nicho." Gumam Mutiara, lalu melesat cepat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status