Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.
Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.
Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.
Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.
Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.
Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.
---
Wajah Nicho masih sedikit pucat. Tubuhnya pun tak begitu fit sebenarnya. Tapi hari pernikahannya tinggal sepuluh hari lagi. Ia harus segera mengajak Mutiara untuk melakukan press conference untuk mengumumkan pernikahan mereka.
Juga, untuk meredam gosip yang selama ini bergulir liar memojokkannya sebagai perebut pacar rekan kerjanya.
Nicho adalah seorang artis baru yang sedang naik daun. Akhir-akhir ini wajahnya banyak terpampang di film-film nusantara. Wajahnya sangat menjual, tapi lebih dari itu, kemampuannya pun cukup mumpuni dan bisa disandingkan dengan artis-artis senior.Nicho memang mengambil jurusan seni peran saat ia berkuliah di Korea. Sehingga kemampuan actingnya tidak bisa disepelekan.Nicho menggandeng tangan Mutiara memasuki sebuah restoran yang sudah ia booking untuk melakukan press conference itu."Wajahmu pucet banget, Yang.. Kamu sakit? Kamu juga kurusan." Tanya Mutiara khawatir dengan calon suaminya itu.Nicho menyentuh pipinya. "Aku hanya sedikit nggak enak badan, Yang. Satu minggu syuting di puncak kemarin cukup menguras tenaga karena hampir nggak tidur. Waktunya mepet, jadi memaksimalkan waktu di sana." Jawab Nicho bohong.Puncak apanya yang ada ia justru terbaring lemah di rumah sakit. Ia memang membohongi Mutiara mengatakan sedang ada project syuting video klip di Puncak selama satu minggu, selama ia berada di rumah sakit beberapa hari yang lalu.Mutiara mengangguk-angguk mengerti meskipun ia sedikit tak percaya. Ia juga sudah mulai curiga karena kian hari, tubuh calon suaminya itu semakin kurus. Juga, syuting film ataupun video klip yang disebut-sebut Nicho tak pernah muncul.Meski Mutiara sama sibuknya dengan Nicho, ia tak pernah absen kalau soal dunia perfilman. Ia selalu memantau film baru yang muncul karena ia ingin melihat kemampuan acting Nicho di sana.Tapi setahun terakhir, Mutiara tak pernah melihat wajah Nicho muncul di film maupun video klip manapun.Banyak awak media yang telah bersiap di restoran tersebut. Para kameramen sedang sibuk dengan kamera mereka, dan wartawan lainnya sedang sibuk dengan laptop dan notebooknya masing-masing.Lalu ketika melihat Nicho tiba menggandeng wanita cantik, para wartawan dan kameramen itu segera menyerbu keduanya.Mengambil foto sebanyak-banyaknya."Mas Nicho.. yang disamping Mas Nicho siapa, Mas?""Mas Nicho sudah putus sama Claudia, Mas. Ini siapa, Mas?""Mas Nicho, siapa nama tunangannya, Mas?"Dan masih banyak sebuan pertanyaan lainnya yang membuat Mutiara merapatkan matanya.Ia baru sekali di ajak Nicho berada di depan kamera. Mutiara memang tak ingin hubungannya dengan Nicho menjadi konsumsi publik.Karena ia juga tak suka kehidupannya menjadi bahan pembicaraan orang, meski ia sadar betul itu adalah konsekuensi yang ia terima karena ia memiliki hubungan dengan seorang selebritas.Mutiara merasakan tangannya digenggam erat oleh Nicho yang sedikit terhuyung. Mutiara dengan sigap menangkap tubuh pacarnya itu. Satu tangan Nicho yang terbebas memegang kepalanya dan memalingkannya kemudian meringis.
Sebisa mungkin Nicho menghindari wajahnya tersorot kamera saat ia sedang meringis kesakitan.
"Ada apa?" Bisik Mutiara ketika mereka sudah duduk di deretan meja panjang yang di depannya dipenuhi microfon dan kamera.
"Nggak apa-apa, Yang. Cuma pusing." Balas Nicho tak kalah rendah. Suaranya berpadu antara memang tubuhnya sedang lemah dengan suara yang direndah-rendahkan.
"Apa dibatalin aja? Aku nggak apa-apa, nggak perlu press conference kaya gini." Kata Mutiara lagi. Kecurigaannya dengan kondisi fisik Nicho semakin bertambah.
"Kamu pasti nggak nyaman dengan pemberitaan akhir-akhir ini. Aku juga, Yang.. Jadi aku juga butuh klarifikasi ini."
Mutiara tak lagi menanggapinya. Nicho pasti sudah memikirkan hal ini matang-matang, ia juga hanya memiliki waktu luang hari itu saja. Jadi, mari melakukannya dengan baik.
Mutiara menarik bibirnya ke samping kanan kiri sedikit lebar. Menatap para pemburu berita itu dengan sedikit berdebar.
'Apa dandanannya hari ini terlalu mencolok?'
'Apa bajunya pantas?'
Mutiara mengenakan setelan blazer berwarna peach dengan kaos hitam di dalamnya dan hijab lilit berwarna senada blazernya.
Mutiara merapikan sedikit penampilannya sebelum Nicho bertanya, "Sudah siap?"
Mutiara mengangguk dan tersenyum.
"Kamu udah cantik.." Bisik Nicho di dekat telinga Mutiara.
Sambil memegang tangan Mutiara, Nicho memperkenalkan Mutiara sebagai calon istrinya.
"Terima kasih teman-teman sabar menunggu saya. Saya ingin memperkenalkan seorang wanita di samping saya ini. Namanya Mutiara. Dia seorang dokter bedah saraf yang sangat kompeten di bidangnya. Dan yang lebih penting dari itu saya sangat mencintainya dan kami akan menikah sepuluh hari lagi. Mohon do'anya teman-teman semua." Nicho mengucapkannya sangat lancar dan tegas. Matanya fokus menatap ke depan sambil sesekali meremas tangan Mutiara.
Setelahnya, Nicho mempersilakan para wartawan itu untuk menanyakan apa yang ingin mereka ketahui satu per satu setelah membuat klarifikasi juga setelah membuat pernyataan bahwa dirinya dan wanita di sampingnya itu akan menikah dalam sepuluh hari lagi.
"Mas Nicho, bisa ceritakan gimana pertemuan Mas Nicho dengan Mbak Mutiara ini? Oh, sebelumnya, selamat atas pernikahannya." Tanya salah satu wartawan dari acara gosip lambe murah.
Nicho terkekeh. "Belum. Kami belum menikah. Tapi terima kasih doanya. Saya merasa menjadi yang paling bahagia di dunia hari ini. Bagaimana saya bertemu dengannya? Wah.. ceritanya ini panjang sekali. Saya rasa saya harus membuat acara sendiri untuk bererita soal kami." Canda Nicho dan disambut riuh oleh wartawan itu.
"Sepertinya Mas Nicho sangat mencintai Mbak Mutiara, bagaimana Mbak Mutiara?" Sahut satu wartawan lainnya.
"Tentu saja. Perjuangan saya mendapatkannya tidak mudah, jadi saya harus menjaganya dengan baik agar tak kabur bersama yang lain." Sahut Nicho sambil menatap intens pada Mutiara.
"Saya juga sangat mencintainya..." Ucap Mutiara. Sorot matanya bercampur-campur. Bahagia juga bercampur sedih dan curiga karena wajah Nicho yang semakin pucat.
Press conference itu disiarkan langsung di beberapa channel televisi dan acara gosip tentunya. Kabar berita rencana pernikahan Nicho dengan cepat menyebar dan membuat para penggemarnya yang mayoritas gadis-gadis itu patah hati masal.
Tapi banyak juga dari mereka yang dibuat baper oleh sikap Nicho kepada Mutiara. Tatapannya membuat banyak emak-emak yang menyaksikan berita itu meleleh.
---
Berita itu juga sampai di sebuah desa kecil yang membuat penontonnya langsung berlari berteriak ke rumah tetangganya.
"Pak.. Pak Bagus, Muti masuk tipi, Pak.." Teriaknya sambil berlari. Saat sampai di depan pintu rumah yang dituju dan melihat nenek-nenek duduk ia kembali berseru. "Mbah.. Mbah Wongso, cucumu Mbah."
"Apa to, Nik kok teriak-teriak?"
"Cucumu.. Muti mau nikah sama artis. Muti cantik sekali, Mbah."
"Apa iya? Jangan bercanda kamu. Mosok cucuku nikah sama artis. Ada-ada aja."
"Bener, Mbah. Aku lihat tadi di tipi. Nggak mungkin salah. Katanya Muti udah jadi dokter, ya, Mbah.. Wah. Pak Bagus beruntung punya mantu artis. Jadi orang kaya sekarang, Muti juga dokter. Pak Bagus bisa berobat gratis sekarang, Mbah."
Tetangga yang bernama Nunik itu tak berhenti mengoceh.
"Makasih beritanya, Nik. Nanti aku coba telpon Muti dulu."
***
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena
Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di
Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara
Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y
Simbah berjalan membungkuk pagi itu dibantu sebilah kayu yang berfungsi sebagai penopang jalannya. Menuju rumah Bulek Nunik yang dimintanya mengirim pesan pada Mutiara semalam.Pesan itu tak langsung terkirim, hanya centang satu yang tertera di layar pesan Nunik. Simbah menunggu resah semalaman balasan Mutiara, cucu dari anak keduanya yang begitu beliau lindungi dengan segenap jiwanya."Sudah ada balasan dari Muti, Nik.." Tanya Simbah Uti pada Nunik. Tetangga simbah depan rumah di kampung."Belum, Mbah. Tapi sudah dibaca sama Muti. Tapi kok belum dibales ya. Mungkin Muti masih sibuk di rumah sakit, Mbah." Jawab Bulek Nunik."Oh.. ya sudah." Sahut Simbah lesu. Wajah beliau menyiratkan kesedihan dan kerinduan yang mendalam akan cucunya itu."Kasihan Muti ya, Mbah.. Pasti sedih sekali. Apa Mbah nggak mau berkunjung ke sana?" Tanya Nunik, ikut sedih melihat Mbah Uti yang terus-menerus menanyakan Mutiara sejak ia memberitahu bahwa calon Mutiara meninggal."Aku nggak tau alamatnya, Nik." "