"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai."
Dalam sekali tarikan napas, Motaz mengucapkan dengan lantang dan lancar janji itu. Sempat mengernyit sepersekian detik saat nama yang tidak asing itu ia sebutkan. Bagus Dikromo."SAH... SAH.." Suara dari para saksi lantang.Akhirnya Motaz menyandang status menikah. Juga status di tanda pengenalnya sudah bisa diubah dengan status 'Kawin'.Menikahi seorang Mutiara baginya lebih kepada kewajiban yang harus ditunaikan. Siapa yang menyangka dia akan menikahi wanita yang seharusnya menjadi calon adik iparnya sendiri?Motaz, lelaki campuran Indonesia- Jerman, Turki yang kini menjadi suami sah dari Mutiara. Ibunya adalah wanita campuran Jerman dan Turki, sedangkan darah Indonesia mengalir dari ayahnya.Laki-laki berparas tegas dengan cambang dimana-mana itu adalah seorang direktur di rumah sakit ditempat Mutiara bekerja.Motaz adalah lulusan kedokteran di Universitas bergengsi di dalam negeri. Menyelesaikan spesialisnya di luar negeri dan lulus dengan predikat mahasiswa terbaik. Motaz seharusnya menjadi dokter Anak yang hebat setelah kelulusannya.Namun sayang. Mimpinya harus terkubur begitu saja sebab permintaan sang ayah agar Motaz meneruskan kepengurusan manajemen rumah sakit.Motaz memiliki adik laki-laki bernama Nicholas yang mengidap kanker otak sekian tahun lamanya. Pernah sembuh setelah dioperasi dan melakukan berbagai rangkaian pengobatan lainnya.Tetapi, sel jahat itu tumbuh kembali dan menggerogoti kesehatan Nicho.Nicho meninggal membawa penyakitnya. Nicho sudah baik-baik saja, namun rupanya Nicho meninggalkan luka mendalam untuk keluarga dan calon istrinya. Juga meninggalkan wasiat yang menjadi sumber rumitnya perjalanan Motaz selanjutnya.Mutiara. Namanya singkat saja. Sesingkat perjalanan cintanya pada seorang selebritas yang sedang naik daun bernama Nicholas.Mutiara adalah seorang dokter bedah saraf yang memiliki reputasi yang baik. Dokter yang piawai dengan pisau bedahnya. Ramah dengan para pasiennya, kompeten di bidangnya dan berdedikasi tinggi di tempat kerjanya.Mutiara adalah orang hebat dengan masa lalu yang tak bisa disebut hebat. Masa lalunya kelam sampai ia bertemu dengan Nicho yang menyuguhkan kebahagiaan baginya meski singkat.Kebahagiaan itu terenggut lenyap begitu saja bersama tubuh Nicho yang kini terkubur menjadi satu di liang lahat.Tapi tak sampai di situ. Kehidupan Mutiara kembali jungkir balik setelah ia harus menikah dengan kakak Nicho sendiri yang ternyata adalah atasan di rumah sakit tempat ia bekerja.Mereka tak saling kenal, tak saling tahu bahwa mereka seharusnya sebentar lagi memiliki hubungan keluarga.Tetapi, kematian Nicho justru menjadikan hubungan mereka bukan hanya sekedar anggota keluarga biasa, melainkan Suami Istri.***Seminggu sebelum pernikahan Motaz dan Mutiara."Aku mohon, Bang. Aku ngerasa waktuku nggak lama lagi. Aku mohon Abang mau menggantikanku menikahi Ara. Dia sebatang kara di kota ini, dan aku sangat mencintainya. Aku nggak akan rela dia jatuh di tangan laki-laki lain. Aku percaya Abang. Jaga dia untukku, Bang." Kalimat Nicho lemah dan terbata-bata. Napasnya terengah-engah meski sudah dibantu selang oksigen yang menempel di hidungnya.Tangan kurusnya yang penuh bercak bekas suntikan vitamin selepas kemoterapi berusaha menggenggam erat tangan kakaknya. Rambutnya sudah habis dicukur karena banyak rontok akibat kemo juga.Mamanya yang berjongkok di depan lemari es berpura-pura mengambil buah sudah berurai air mata sejak tadi. Hanya kurang dari dua minggu lagi pernikahan itu dilaksanakan, tapi tubuh Nicho semakin lemah.Kanker yang menggerogoti otaknya semakin menyebar. Penglihatannya pun sebenarnya berkurang banyak. Nyeri yang ia rasakan seringkali terasa seperti kepalanya mau pecah."Hanya Tuhan yang tau umur seseorang, Nich. Banyak cancer survivor yang akhirnya sembuh dari penyakitnya. Percaya Abang. Kamu harus kuat, kamu harus sembuh dan menikah." Motaz tak berhenti meyakinkan sang adik."Abang lebih tau kondisiku karena Abang juga seorang dokter. Aku udah nggak kuat. Di sini.." Nicho mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk mengangkat tangan dan menyentuh kepalanya. "Di sini, sakit sekali." Rintih Nicho."Janji sama aku, Bang. Nikahi Ara kalau aku pergi." Lanjutnya.Motaz, sang kakak tak berani menjawab atau menjanjikan apapun. Ia memang belum menikah, tapi menikah menggantikan adiknya dan menikahi pacar adiknya itu agak...Agak, aneh dan ganjil menurutnya.Ia merapatkan mulutnya menarik ke kanan dan kiri tipis. Kemudian menepuk kecil jari-jari tangan adiknya yang bagian telapaknya tertusuk jarum infus.Nicho meminta banyak vitamin yang terbaik agar dirinya lekas pulih. Ia tak ingin terlihat lemah dan pucat saat menemui Mutiara nantinya. Mutiara tidak boleh tahu bahwa ia sedang sekarat.Mutiara harus tetap bahagia meski ia tiada nanti. Dan laki-laki yang ia percayai hanyalah kakaknya sendiri. Motaz laki-laki yang lembut selaras dengan apa yang tergambarkan di wajah dan perilakunya.Bukan hanya baik, ia juga lelaki mapan yang akan mewarisi rumah sakit milik orang tua mereka."Kamu yang akan menikahi pacarmu. Bukan aku." Tegas Motaz, lalu berpaling dari Nicho.Menjauhi brankar tempat Nicho terbaring dan memilih duduk di sofa dekat pintu yang jauh dari Nicho.Nicho menderita kanker otak sejak tiga tahun lalu. Bukan. Tepatnya sejak lima tahun lalu. Lima tahun lalu ia sudah pernah di operasi di luar negeri dan dinyatakan sembuh.Namun, tiga tahun lalu, ternyata sel jahat itu tumbuh kembali dan menggerogoti Nicho semakin ganas. Hari dimana kanker itu dinyatakan tumbuh kembali itu, di hari itu pula pertemuannya dengan Ara di sebuah rumah sakit di Jerman. Pertemuan pertama setelah bertahun-tahun tak bertemu.Ya. Nicho dan Ara adalah teman lama sebelum akhirnya Ara mendapatkan beasiswa studi ke Jerman. Dan di negara itulah mereka kembali dipertemukan. Setahun setelah pertemuan itu mereka menjalin hubungan sampai saat ini dan memutuskan menikah.Ya. Beberapa hari lagi Nicho dan Ara seharusnya melangsungkan pernikahannya.Di ruangan yang sangat lapang, di kamar VVIP itu hanya bunyi mesin EKG-lah yang menemani detik demi detik ketiga orang penghuni kamar itu. Bunyi dengingan mesin yang nyaring dan seirama detak jantung itu membuat dada Motaz dan ibunya sesak.Motaz membetulkan selimut adiknya sampai sebatas dada saat Nicho terlihat sudah tertidur. Lalu menatap wajah pucat Nicho sampai beberapa sampai sang ibu memanggilnya."Ibu terlalu banyak menangis. Badan ibu jadi kurus begini." Ucap Motaz sambil mengusap bahu sang ibu.Mereka duduk bersandingan di kursi tunggu di luar kamar VVIP tempat Nicho dirawat. Ibunya menyeretnya keluar sebab sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin beliau katakan.Katherine, wanita blasteran Turki-Jerman itu kembali menitikkan air mata."Ibu ikhlas kalau Nicho harus pergi, ibu harus ikhlas. Ibu juga tidak kuat setiap kali melihat Nicho muntah dan merintih setelah melakukan kemoterapi. Dia sudah pernah melalui itu lima tahun lalu, Motaz. Pasti menyakitkan. Turuti permintaan saudaramu.""Ibu tau aku--""Sampai kapan?" Potong ibunya cepat. Ada nada jengkel sekaligus bosan di sana.Motaz terdiam. Tangannya yang tadi berada di bahu ibunya perlahan terlepas dan berada di pangkuannya. menghadap tembok putih polos yang sekarang seperti sedang mengolok-oloknya."Apa dua tahun tidak cukup bagimu untuk sembuh dari luka itu? Kenapa kamu terlalu melebihkannya, Motaz? Ibu sudah tak yakin sejak awal dengannya dan kamu terus memaksa. Lalu kamu tau sendiri akhirnya bagaimana." Tukas si ibu.Bu Katherine mengira itulah alasan Motaz menghindar. Ternyata mereka terlibat kesalahpahaman.Yang dipikirkan Motaz berbeda dengan yang dipikirkan ibunya.Motaz mendesah pelan. "Bukan berarti aku bisa menerima permintaan Nicho begitu saja. Aku nggak kenal dia siapa. Dan.. Kenapa harus aku?""Kamu kenal. Kamu pasti kenal. Kalau bukan kamu siapa lagi? Saudara Nicho cuma kamu, anak ibu ya cuma kalian berdua. Ibu juga mau Ara menjadi anak, Ibu, Motaz."Bagian 'kamu pasti kenal' membuat Motaz menoleh ibunya mengernyit. Motaz tak mengerti. Ia memang sering mendengar kisah kasih Nicho lewat ibunya karena ia memang tinggal terpisah dengan mereka. Tapi ia tak pernah sekalipun bertemu dengan pacar adiknya itu.Saat acara tunangan Nicho pun ia tak bisa menghadirinya karena perjalanan ke luar negeri yang tidak bisa ditunda.Tapi ia sering mendengar namanya disebut. Kalau tidak salah, Ara?Ya. Ara. Hanya itu yang ia dengar, Nicho juga menyebutkannya tadi. Nama lengkapnya siapa ia tak tahu."Aku? Kenal dia?"Ibunya mengangguk. "Dan seperti yang kamu dengar sendiri tadi, karena hanya kamu yang dipercaya oleh Nicho untuk menjaga Ara." Ibu Katherine menggenggam tangan Motaz sebelum akhirnya kembali masuk ke ruang rawat Nicho, meninggalkan Motaz merenung sendirian.Motaz tercengang. Cara ibunya menggenggam tangannya persis seperti Nicho beberapa saat lalu.Batinnya bergejolak tak tenang. Tentu saja ia menolak. Mustahil menikahi wanita yang sama sekali tak dikenalnya. Apalagi bekas.. Maksudnya..Argggh!!Motaz menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia gagal menemukan istilah untuk wanita bernama Ara itu. Ia tak menemukan kalimat yang tepat bahkan untuk menyebutnya."Ara.." Gumam Motaz.Kekhawatiran Nicho nyatanya berlebihan. Tiga hari sudah Nicho dirawat di rumah sakit itu dengan dibantu suplai vitamin yang banyak sesuai permintaannya. Dan ia pulang dalam keadaan sehat walaupun tenaganya belum pulih benar.Nicho memilih rumah sakit yang berbeda. Padahal rumah sakit ayahnya tempat Mutiara bekerja memiliki fasilitas lebih lengkap dan dokter terbaik.Ruma Sakit Royal International Jakarta adalah salah satu rumah sakit paling berkelas dengan kualitas pengobatan terbaik di sana.Tetapi, karena alasan untuk menghindari Ara agar tak cemas, Nicho memilih rumah sakit lain.Namanya Ara. Nama lengkapnya Mutiara. Hanya satu kata itu namanya. Nama yang cantik secantik orangnya. Pacar Nicho itu seorang dokter bedah saraf yang bekerja di sebuah rumah sakit besar di perkotaan.Dokter wanita lulusan Jerman yang sangat cerdas dan detail itu menarik hati Nicho sejak kali pertama mereka bertemu puluhan tahun yang lalu. Puluhan tahun lalu tepatnya ketika Mutiara memutuskan kabur dari kampungnya saat usianya 18 tahun.Pertemuan mereka cukup lucu dan singkat. Setelah itu mereka berpisah lama dan dipertemukan kembali di sebuah rumah sakit di Jerman tiga tahun yang lalu.Mutiara tak pernah tahu bahwa Nicho memiliki penyakit mematikan yang perlahan menggerogoti tubuh dan mempersingkat usianya.Pertemuan mereka di Jerman tiga tahun yang lalu pun seolah tak pernah mengungkap itu.Mutiara seringkali menaruh curiga pada pacarnya karena kian hari tubuh Nicho semakin kurus dan selalu pucat. Ia pun tak pernah menebak dan mendiagnosa bahwa itu adalah kanker otak.---Wajah Nich
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa? Kamu pucat banget, Yang.. Kapan terakhir kamu check up?" Tanya Mutiara yang semakin cemas dengan wajah pucat pacarnya itu.Mutiara selalu mengingatkan untuk rutin check up setiap bulan karena kepadatan jadwal syuting Nicho. Aktivitas yang padat dan terkadang lokasi syuting yang berpindah-pindah membuat Mutiara khawatir akan kesehatan Nicho.Apalagi dilihat postur tubuh Nicho yang semakin hari semakin kurus.Nicho selalu menggunakan baju hem lengan panjang dan kaos di dalamnya, terkadang memakai kaos turtle neck untuk menutupi bobot tubuhnya yang semakin kurus."Bulan kemarin aku check up. Aku sehat, Sayang. Cuma kecapekan aja ini." Jawab Nicho. Ia berusaha keras menahan sakit kepalanya dan menahan tangannya aga tak bergerak mencengkeram kepala."Ya udah kalau gitu pulang aja. Souvenir nikahan biar aku sendiri yang cari. Nggak apa-apa, kan?""Kamu nggak apa-apa sendiri?"Nicho setengah bersyukur dalam hati karena Mutiara mengajaknya pulang. Ia sudah bena
Motaz merasa kehidupan normal keluarganya ikut terenggut saat Nicho mulai dijatuhi vonis kanker otak dan kehidupan beberapa bulan lagi.Walaupun ia yakin dan mantap bahwa pemilik keputusan mutlak soal nyawa manusia tetap berada di tangan Tuhan, ia tak menampik, ia tak munafik bahwa ia juga resah memikirkan vonis itu.Motaz juga seorang dokter, akan tetapi tiga tahun terakhir ia tak menggunakan kemampuan medisnya lagi untuk bertatap muka langsung dengan pasien, sebab ia dipilih sang ayah untuk ikut terlibat mengurusi managemen rumah sakit.Motaz mengerti benar kondisi adiknya itu dan bagaimana kanker jahat itu dengan cepat menyebar dan merenggut secara perlahan kemampuan motorik Nicho.Senyuman di rumah itu seolah ikut hanyut bersama deraan rasa sakit yang diderita Nicho. Pun ia sendiri cenderung jarang memikirkan diri sendiri. Hari ke hari Motaz hanya dipenuhi oleh pekerjaan dan memastikan adiknya baik-baik saja.Begitu pula orang tuanya. Semua berpusat pada Nicho.Dan hari itu, ia di
Lima jam sebelumnya. Motaz termenung dengan kalimat ibunya. Di tepian kolam renang yang biru itu ia tidak banyak memikirkan banyak hal, kecuali tentang sosok Ara.Motaz memperhatikan riak kecil karena sapuan angin di dalam kolam itu. Biru dan terlihat dalam. Menyelami dalam dipenuhi banyak pertanyaan tentang siapa Ara. Lalu dilanda kebingungan kenapa justru wanita yang ia pikirkan.Siapa dia? Dokter yang bekerja dimana dia? Bagaimana sosoknya?Sejak kecil, hubungan Nicho dengan Motaz tidak bisa disebut akrab. Tidak juga disebut berselisih. Mereka hanya berjarak, canggung dan kaku.Lalu ketika mendengar permintaan Nicho ia tak bisa menolak meski tak langsung menjawab iya.Sejujurnya Motaz masih terbelenggu dengan gadis di masa lalu yang pernah ia selamatkan. Dia mencarinya selama ini tapi belum pernah menemukannya. Ia juga pernah berpacaran beberapa kali tapi selalu putus karena Motaz ternyata tak pernah bisa berhenti memikirkan gadis kecil di masa lalunya. Klise dan naif kedengara
Mutiara tak menghiraukan panggilan seorang perawat yang menyapanya. Ia juga lupa berganti baju setelah selesai dari operasinya.Mutiara berlari menuju lift dan menekan-nekan tombol itu tak sabar. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari pintu tangga darurat, tapi tak menemukannya.Ia juga menghitung tak sabar lampu digital yang menunjukkan lantai dimana lift itu bergerak. Kakinya berdiri tak nyaman."Sebenarnya kamu sakit apa? Kenapa kamu nggak jujur selama ini. Aku dokter, Nich. Aku malu menjadi dokter karena gagal melihat kondisimu." Rapal Mutiara sendirian. Tak ada orang kebetulan di depan lift itu kecuali dirinya.Saat lift itu berdenting, Mutiara segera masuk dan menekan tombol lantai 5 terus menerus agar pintu segera tertutup."Please jangan ada yang masuk.. please!!" Gumamnya.Mutiara berdecak tiap kali lift itu singgal di lantai yang memang sudah seharusnya. Lalu beberapa orang keluar dan masuk menatapnya karena decakannya itu.Lantai lima.Lift berdenting kembali dan pintu te
Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran."Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal."Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara."Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya be
Mutiara membawa hati yang hancur-sehancurnya saat keluar dari ruangan Motaz. Membuka pintu dengan sedikit menyentak sebab rasa kesa dan sakit hati. Apa kalian tau bagaimana rasanya? Ditinggal mati oleh orang yang sangat dicintai kemudian saat itu juga harus menikah dengan orang lain yang sama sekali asing. Sungguh, rasanya sangat... Mutiara tidak tau apa kata yang tepat untuk menggambarkannya. Bahkan lebih dari menyakitkan. Mutiara menutup pintu ruangan Motaz perlahan kemudian bersandar di sana sejenak demi mengisi paru-parunya yang terasa sangat sempit dan terjerat sesak. Lantas berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan wajah sembabnya setelah banyak menangis. Tangannya berada di dalam saku dimana surat itu berada, meremasnya pelan. Rasanya seperti meremas jantungnya sendiri. Ketika Mutiara mendongak, matanya bertemu pandang dengan Rara yang baru saja keluar dari lift dan sedang menatapnya dengan dahi mengernyit. Tatapan teman sekaligus rivalnya itu selalu tidak menyenang
Luruhnya air mata Mutiara membuat tubuh ringkihnya ikut melorot dari kursi make-up. Duduk tersimpuh di lantai dengan tangan menggenggam ponsel yang masih menyala.Tangisannya dalam sekejap menjadi raungan memilukan. Seluruh staff MUA yang berada di dalam kamar itu sama bingungnya. Sama paniknya.Make up yang telah dibubuhkan setengah selesai itu terhapus oleh air mata dan mereka harus mengulanginya dari awal. Rasa sedih, kesal, marah dan menyesal berkecamuk di kepalanya sekarang. Bersarang tebal seolah siap menjerat Mutiara dalam kepiluan kapan saja. Rasa bersalah karena ia telah banyak mengabaikan satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya sejak dulu. Mbah Uti. Harusnya ia berkabar. Harusnya ia pulang dan meminta restu pada ibu keduanya itu sebab beliau-lah ia bisa sampai di titik ini. Sekarang, kesulitan yang Mutiara hadapi ia anggap sebagai hukuman karena mengabaikan orang tua. Ya Tuhan, Mutiara menyesal. Rasa bersalah dan penyesalan itu lantas memicu seluruh kesedihan y