Share

Bab 7 Surat Wasiat

Dunia Mutiara bak terbalik dalam sekejap. Kehilangan seseorang yang sangat dicintainya sama saja seperti kehilangan separuh jiwanya. Hari-harinya terasa lebih suram dari biasanya.

Meski demikian, ia harus tetap waras demi menjaga profesionalitasnya sebagai dokter. Banyak pasien yang harus diobati olehnya. Banyak orang yang harus ditolongnya.

Mutiara tetap berangkat ke rumah sakit mdan menunaikan tugasnya walaupun tengah berduka. Kedatangannya membuat setiap dokter, perawat maupun staff di rumah sakit itu terheran-heran.

"Dokter Mutiara? Kenapa kerja hari ini?" Tanya Dokter Teddy dan membuat dokter lainnya menoleh padanya.

Kepala departemen bedah saraf itu kebetulan sedang berkumpul dengan dokter lain dan juga perawat di stasiun perawat. Bersiap menjenguk pasiennya di bangsal.

"Apa saya tidak boleh bekerja?" Sahut Mutiara.

"Bukan. Maksudnya, Dokter boleh cuti beberapa hari. Dokter pasti sedang bersedih."

Mutiara menggeleng. "Saya bingung harus melakukan apa di rumah. Lebih baik saya bekerja, bertemu pasien mungkin bisa mengalihkan kesedihan saya, Dok." Jawabnya.

Semua yang ada di stasiun perawat itu mengangguk mengerti dan menyetujui. Terserah keputusan Mutiara. Mereka semua tahu Mutiara adalah dokter kompeten yang semangat belajar.

"Kalau begitu, Mari bersiap kunjungan pasien." Kata Dokter Teddy.

Mutiara mengangguk untuk kesopanan, lalu dokter Teddy diikuti dua dokter residen dan satu perawat menuju bangsal menjenguk satu per satu pasiennya.

Sementara Mutiara menuju NICU setelah mengambil jas doker di ruangannya, menjenguk pasien anak kecil yang baru dioperasinya kemarin.

"Angga, bagaimana perkembangan pasien ini? Kamu pantau terus, kan?"

"Kemarin tekanan darahnya sempat turun, Dok. Saya beri 100cc mannitol yang saya bagi dua. Motoriknya juga sudah mulai ada kemajuan, dia menggerakkan jari-jarinya kemarin malam." Terang Angga.

"Adek.. Bisa angkat tanganmu?" Pinta Mutiara.

Pasien itu mengangkat tangannya perlahan. Meski hanya sedikit tapi itu merupakan perkembangan yang luar biasa.

Mutiara menyingkap selimut yang menutup kaki pasien itu, "Angkat kakimu."

Pasien anak kecil itu mengangkat kaki kanannya sesuai perintah. Gerakannya sangat baik.

"Dia mengikuti instruksi dengan baik." Kata Mutiara, lalu memandang Angga sambil membetulkan selimut dan mengecek selang infus. "Arterinya tidak akan pecah lagi jadi jangan khawatir dan teruskan nimodipine sesuai dosis kemarin. Untuk sakit kepalanya berikan acetaminophen."

"Baik, Dok." Sahut Angga sambil menuliskan semua di catatan miliknya.

"Pastikan kamu ganti perbannya, agar lukanya sembuh dengan baik."

"Baik, Dok. Dok..." Panggil Angga.

"Ya?"

"Dokter yakin enggak apa-apa?"

Mutiara menepuk bahu Angga dua kali kemudian berlalu begitu saja tak ingin menjawab pertanyaan itu. Kenapa harus ditanya? Tentu saja dia tidak baik-baik saja.

Ditinggalkan seseorang yang amat ia cintai dan seharusnya menjadi belahan hidupnya sampai tua. Mutiara sangat terpukul. Terlebih terselip rasa bersalah sebagai dokter karena tidak peka dengan tanda-tanda yang dialami Nicho.

Angga mengikuti Mutiara di belakangnya keluar dari NICU tersebut. Mereka terperanjat karena seorang perawat berdiri menghadang mereka.

"Ada apa, Sus?"

"Dokter Mutiara dicari Pak Direktur. Beliau sudah menunggu di ruangan anda, Dok."

Mutiara menghela napas dan menghembuskannya  cepat. Mutiara mengangguk mengerti, "Makasih. Kamu boleh kembali." Katanya.

Mutiara menuju ruangannya, sedangkan Angga dan perawat tadi berbisik-bisik. "Ngapain Pak Direktur nyariin dokter Mutiara?"

Perawat bernama Indri itu mengangkat kedua bahunya. "Bukannya Pak Direktur itu anaknya yang punya rumah sakit ini, itu artinya Pak Direktur itu kakaknya calon suami Dokter Mutiara yang meninggal kemarin."

"Ribet banget kamu ngomongnya." Ejek Angga.

"Hiiih. Nanya-nanya, giliran dijawab malah ngejek."

"Pak Direktur juga harusnya berduka kalau begitu, beliau juga bekerja hari ini. Ada apa dengan mereka.."

"Bukan urusan kita. Dokter Mia tadi titip ini.." Perawat itu mengangsurkan kotak alumunium berisi peralatan ganti perban. "Kamu diminta ganti perban pasien Ibu Dewi."

"Haiisshhh.. Emangnya kemana Faiz?"

"Ikut dokter Teddy keliling." Sahut Indri singkat.

"Haisshhh.." Angga mengacak rambutnya kesal. Dokter bedah dan dokter residennya sama-sama mengesalkan.

Mutiara membuka pintu ruangannya perlahan. Motaz duduk membelakangi pintu itu dengan tangan bersedekap di depan dada.

"Ada apa Anda mencari saya?" Mutiara berdiri menghadap ke jendela seperti hal nya Motaz di depannya.

Menatap punggung Motaz yang juga tengah berdiri di sana. Saat menyadari kemiripan Motaz dan Nicho, Mutiara tak sanggup bertatap muka dengan direkturnya itu. Hatinya sakit sekali saat mengingat kekasihnya yang malang.

Tunggu. Nicho yang malang atau justru dirinya sendiri yang malang?

"Kurasa banyak yang harus kita bahas." Ucap Motaz berbalik.

"Saya nggak mau." Jawab Mutiara karena tahu kemana arah pembicaraan itu.

"Ini bukan hanya tentang kamu."

Kepala Mutiara menoleh dengan cepat dan membelalakkan matanya menatap Motaz.

"Lalu? Yang menjalani pernikahan itu nantinya saya. Bukan orang lain. Kalau bukan tentang saya lalu siapa lagi?" Suara Mutiara cukup sengit dan bernada tinggi.

"Aku."

Mutiara menelan ludahnya sambil memalingkan muka. Air matanya ditahan di pelupuk mata agar tak lolos begitu saja di depan orang asing yang baru dikenalnya sebagai kakak Nicho itu.

Ya. Meski Motaz adalah direkturnya, atasan di tempat kerjanya tapi ia sama sekali tak pernah bersinggungan dengannya. Pernah bertemu pun tidak. Mutiara menghabiskan waktunya di departemen saraf, poli dan bangsal. Ia tak pernah mau berurusan dengan politik perusahaan meski seringkali diajak oleh ketua departemennya.

"Aku tidak akan tenang karena aku sudah berjanji dengan Nicho. Walaupun aku pasti lebih tidak tenang karena harus menikah dengan pacar adikku sendiri. Semuanya terasa aneh."

Mutiara menggigit bibirnya keras. Air matanya lolos saat nama Nicho disebutkan. Kemudian tangannya terulur untuk menghapusnya dengan cepat.

"Aku yakin ibu pasti sudah membahas ini denganmu, kan? Kita harus menikah. Demi Nicho." Kata Motaz. Lantas mengangsurkan sebuah surat pada Mutiara.

"Apa ini?"

"Bacalah. Aku juga dapat. Itu surat yang ditulis Nicho."

Mata Mutiara sejenak menatap Motaz dengan raut tak terbaca, perlahan beralih pada selembar surat itu dan membukanya.

'Dear, Ara, Sayangku..

Saat kamu membaca surat ini aku pasti sudah tidak ada di dunia. Maafkan aku karena meninggalkanmu. Maafkan aku karena tidak jujur padamu soal penyakitku. Kuharap kamu tidak merasa bersalah pada dirimu sendiri. Ini semua bukan salahmu. Ini pilihanku karena aku tak mau membuatmu sedih. Tapi.. kamu pasti sedih sekarang 'kan? Itu sebabnya aku mengirimkan orang yang akan menjagamu mulai sekarang. Orang terdekatku yang aku yakin akan dirinya. Cuma dia yang aku percayai untuk menjagamu. Dia abangku. Namanya Motaz.

Dia pasti ada di dekatmu sekarang, kan?'

Mutiara mendongak. Menatap sekitar, darimana Nicho tau kalau sekarang dia sedang bersama Motaz? Apa jangan-jangan dia mengawasiku?

'Ini adalah permintaanku yang terakhir, Yang. Demi kamu dan demi aku. Aku akan tenang kalau kamu selalu berada di dekat Bang Motaz. Kuharap kamu bisa berbahagia dengannya.

Terima kasih untuk kebersamaan kita. Aku cinta kamu Mutiara.'

Motaz sudah sejak tadi kembali menatap jendela.  Mutiara pasti menangis. Dan wanita itu pasti akan malu jika isaknya disaksikan orang asing.

Dan tebakannya benar. Isakan itu sudah menyambangi telinga. Motaz memejamkan mata.

Tangisan wanita ini membuat jantungnya terasa ikut diremas. Motaz menajamkan telinganya, Mutiara pasti tengah berjongkok.

Cukup lama Mutiara menangis, dan selama itu pula Motaz berdiri terpaku mendengarkan tangisa seorang wanita yang menyayat hati.

Mutiara terisak lama sekali. Kemudian tersentak ketika ia menyadari tengah berada dimana. Mutiara menghapus air matanya kasar. Melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam tas dokternya.

Mutiara berdiri dan berkata, "Maaf. Saya kembali ke ruangan saya, permisi." 

"Tunggu!" Motaz berbalik. "Apa jawabanmu?"

"Apa saya punya piihan lain?" Tanya Mutiara tegas setegas tatapannya pada Motaz.

Motaz menghela napasnya. Menjawab pun rasanya ia juga tak sanggup karena Mutiara benar. Mereka bahkan tak memiliki piihan lain.

Kenapa hidupnya harus bergantung kepada surat wasiat itu?

Jawabannya satu, karena ia mencintai saudaranya.

***

"Saya terima nikah dan kawinnya Mutiara Dikromo binti Bagus Dikromo dengan mas kawin seperangkat emas 24 karat lima puluh gram dan uang dua puluh juta rupiah dibayar tunai."

"SAH... SAH.."

"Selam-at, aku tetap akan berdoa agar kamu bahagia, Ti.. Meski ini hanya karena surat wasiat dari Nicho.." Ungkap Dea dalam bisikan saat memeluk Mutiara.

Selamat?

Apa pantas Mutiara menerima ucapan itu? Kuburan Nicho bahkan masih basah...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status