Share

Lima Tahun Tanpa Nafkah
Lima Tahun Tanpa Nafkah
Author: Ratu As

Bab 1

 (Lima Tahun Tanpa Nafkah Lahir Batin)

"Sadarlah, Garwita! Nasibmu itu ibarat bergantung tapi tak bertali!" 

Garwita mematung ketika disentak oleh Nanto, bapaknya. 

"Tak diberi nafkah, tidak pula diceraikan, dan yang jelas tak tahu pula di mana batang hidungnya sekarang!" Nanto duduk jegang sembari menyesap asap rokok. 

Sudah biasa Garwita mendengar keluh kesah dan gerutuan bapaknya. Dia yang duduk di teras beralaskan tikar masih terdiam sambil tangannya memisahkan pucuk daun singkong dengan daun yang lebih tua. Niatnya ingin dimasak santan esok pagi. Namun, Matanya mulai berembun. 

"Menikahlah lagi, mumpung kamu masih muda!" 

Garwita mendongak, air mata yang sedari tadi ditahan kini tak mampu lagi dia bendung. "Ndak, Pak, Garwita masih mau menunggu Mas Ray." 

"Menunggu? Sampe kapan? Kamu saja ndak tahu dia masih hidup atau sudah mati kan?" Nanto mematikan puntung rokok, lalu berdiri ingin beranjak. 

"Mas Ray pasti masih hidup!" Balas Garwita dengan penuh keyakinan. Diusapnya pipi yang sudah kadung basah lalu berlari ke arah kamar. 

Garwita menyibak tirai lalu membuka jendala, tangannya langsung bertumpu di kosen kayu. Sementara tatapannya sendu ke arah matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya, hanya menyisakan sinar kemerahan dengan langit yang berubah hitam. 

Terlalu sabar wanita itu menunggu suaminya yang sudah pergi hampir lima tahun belakangan. Mengalahkan rekor Bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang, bukan? Mungkin terdengar bodoh karena dia masih bertahan tanpa kepastian. Jangankan kabar, nafkah pun tidak diberi. Selama ini dia bekerja memeras keringat sendiri demi memenuhi kebutuhan buah hati yang ditinggal pergi sejak dalam kandungan. 

"Ibuuu!" panggil seorang anak kecil yang datang dengan memakai sarung yang diselempangkan ke pundak dan peci di kepalanya. 

Mendengar suara kecil itu, buru-buru Garwita mengelap air matanya dengan ujung baju. 

"Sudah pulang?" tanya Garwita penuh perhatian. 

"Iya, tadi ngajinya cuma sebentar," celoteh anak lelaki itu. "Yang ini!" tangannya lincah menunjuk deretan huruf hijaiah. Garwita mengangguk paham lalu mengajak anaknya keluar kamar.

Dilihatnya wanita paruh baya yang baru saja melipat mukena berwarna putih kekuningan dan menaruhnya di atas dipan bambu. Dia baru saja selesai salat jamaah dan menunggui cucunya selesai mengaji di musola.

"Mau makan dulu, Mak?" Garwita dan anaknya mendekat. 

"Nanti saja. Bapakmu mana?" tanya Ijah, ibu kandung Garwita. 

Garwita menggeleng. "Mungkin pergi ngobor," balasnya tak yakin. Tapi kebiasaan Nanto jika malam memang ngobor--mencari ikan atau belut di malam hari dengan memakai senter atau obor. 

Ijah duduk di dipan lalu mengambil ilir dan mengibas-ngibaskan. Hawa gerah membuat badannya penuh peluh. 

"Ayo, Bu, makan!" ajak Gandra, anak kecil yang sekarang berlari ke arah dapur lebih dulu. 

Meski makan dengan nasi adem yang ditanak pagi tadi, tapi Gandra tetap terlihat lahap. Garwita tersenyum kecil melihat anaknya yang sekarang sudah bisa makan sendiri tanpa suapan darinya. Gandra semakin mandiri dan itu membuat Garwita bangga, juga merasa lega. Karena jika ditinggal pergi kerja, anaknya sudah bisa melakukan apa pun sendiri tanpa harus merepotkan Ijah.

*** 

Matahari sudah beranjak dan mulai meninggi, membuat hawa panas semakin terasa membakar kulit. Garwita buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar waktu istirahat siangnya tak terpotong. 

Dipilihnya lagi oyong yang ukurannya sudah lumayan besar untuk dipanen. Tugas hari ini dari juragan Jarwo. Tanaman itu dipilih untuk musim ini karena mudah tumbuh dan selalu laku jika dibawa ke pasar induk.

Garwita tinggal di kampung, letaknya sangat pelosok. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kampung Karang Mencil berada di tengah-tengah, terkepung oleh aliran sungai. Jadi, jarak paling dekat untuk ke kota harus dilalui dengan memakai perahu. Bisa juga lewat jembatan, tapi butuh waktu yang lebih lama.

"Wit! Wita! Garwita!" Suara panggilan dari seseorang membuat wanita berkerudung coklat itu menoleh. 

"Mas Kala?" Mata Garwita berbinar melihat anak juragan sekaligus teman mainnya semasa kecil datang. "Kala--jengking!" lanjutnya dengan nada melengking riang.

"Yoi!" jawab lelaki berkulit kuning langsat dengan lesung pipi di sebelah kanan. 

Garwita terkekeh pelan saat mendapati lelaki itu datang menyapanya. "Pulang, Mas? Katanya beberapa bulan lagi wisuda? Kok, sudah pulang sekarang?" tanya Garwita penasaran. 

"Ish, kenapa? Orang ingin pulang." Santai Kala menjawab. Padahal Kala pulang karena mendengar ibunya sakit, juga ingin melihat Garwita yang selalu memenuhi otaknya. Bayangan wanita itu selalu saja hadir, seakan-akan berlomba ingin paling eksis dia antara tugas kuliah dan pikiran ruwet yang lain.

Kala melihat ke arah ember yang sudah terisi penuh dengan oyong, tanpa diminta dia menjunjungnya lalu memasukkan oyongnya ke dalam karung yang lebih besar. 

Garwita tak melarang anak juragannya itu membantu dengan suka rela. Pasalnya sudah biasa, ketika lelaki itu pulang kampung dan membantu sedikit-sedikit pekerjaan Garwita yang diperintahkan oleh  juragan Jarwo. 

"Masih banyak yang belum dipanen, Wit?" 

Garwita menggeleng. "Tinggal selarik itu, Mas!" tunjuk Garwita ke arah tanaman di bedengan. 

"Oh, sedikit ya?" 

"Iya, makanya juragan cuma nyuruh aku doang. Belum banyak yang siap panen, masih kecil-kecil. Jadi, pekerja yang lain disuruh ke sawah buat menyangi rumput," ujar Garwita. 

Kala mengangguk paham. Dia berjalan ke arah tanaman yang belum di panen, dilihatnya dengan jeli daun oyong yang berlubang-lubang. Juga beberapa oyong yang terdapat bintik dan lubang kecil kecoklatan, hampir membusuk. "Banyak hamanya juga, ya?" Kala merunduk dan mencolek oyong yang hampir busuk. 

"Ini sudah disemprot?" tanya Kala yang dimaksudkan penyemprotan pestisida. 

Garwita mengangguk. "Kalau enggak salah dua minggu lalu sama Kang Bejo." 

"Oh." Kala tak banyak bertanya lagi, dia tahu jika itu membuat pekerjaan Garwita tak selesai-selesai sementara setelah ini dia ingin mengajak wanita itu untuk bersantai sejenak.

Sambil menunggu Garwita selesai memetik oyong, Kala berjalan-jalan di sekitaran kebun yang saat ini ditanami dengan banyak palawija. 

***

"Nah, yang sebelah itu, Mas! Kayaknya masih degan!" ujar Garwita berteriak dari bawah. Kala mencoba meraih kelapa muda yang dimaksud lalu memuntir agar terlepas dari papahnya.

Dua kelapa hijau muda sudah jatuh, Garwita mengambilnya dan membawanya ke bawah pohon mangga yang terletak di tepi tanggul. 

"Kayaknya banyak airnya, nih!" Kala menggoncang-goncangkan kelapa yang dia petik sendiri. 

Dikupasnya bagian ujung dan membuat lubang di tengah. Dengan tak sabar, Kala langsung menenggak air di dalam buah kelapa.

"Kamu tahu, Wit? Kelapa muda di sini tuh yang paling segar!" ucap Kala dengan penuh rasa puas. 

"Ya paling segar, soalnya gratis tinggal ambil. Coba kalau di kota, kudu bayar dulu kan?" Mendengar jawaban Garwita, Kala langsung tertawa lepas. 

Keduanya terlihat begitu akrab, meski  setahun tak bertemu. Kala yang melanjutkan kuliah di kota, jarang pulang. Paling ketika lebaran atau libur kuliah. Namun, mereka berdua sedari kecil memang sudah sering bersama. Bahkan ketika Kala masih ingusan, Ijah yang dipercaya menjaganya karena ibunya Kala kesundulan--punya anak yang jaraknya tak jauh. 

"Oiya, Gandra sama Mak Ijah?" tanya Kala ketika sadar sedari tadi anak Garwita tak terlihat. Padahal dulu setahunya sering dibawa Garwita ikut bekerja. 

"Kamu belum tahu? Tahun ini anakku sudah masuk sekolah!"

"Dia sudah TK?" Kala antusias menanggapi. 

"Bukan, masih PAUD, kan baru empat tahun!" 

"Oh." Kala kembali menenggak air degan lalu melihat ke arah jam di tangan. "Jam berapa dia pulang?" 

"Sekarang jam berapa?" Garwita balik tanya. 

"Jam sepuluh, kurang lima belas menit," jawab Kala. "Kebiasaan enggak bawa jam!" 

"Kan ada suara beduk zuhur yang mengingatkan waktunya istirahat nanti!" Garwita terkekeh-kekeh lagi. Mungkin hanya bersama Kala dia bisa sebebas dan senyaman itu melengkungkan bibirnya.

"Hah, dasar!" Kala berdiri lalu mengibaskan baju yang tekena debu saat duduk tadi. "Aku akan menjemput Gandra, dia pasti akan kaget melihatku!" 

"Kamu mau jemput Gandra? Tidak usah, aku sudah berpesan pada Emak untuk menjemputnya," cegah Garwati. 

Kala tetap kekeh ingin menjemput anak kecil yang sudah dia rindukan selama di kota. Bahkan ada hadiah yang sudah Kala siapkan untuk anak itu juga untuk ibunya si anak, hanya saja kejutan itu tak ingin dia berikan langsung ke Garwita. 

"Tunggu, Mas! Kapan kamu balik ke kota?" Garwita menahan Kala sebelum beranjak pergi. 

"Mmm, mungkin lusa? Kenapa?" 

"Aku boleh ikut?" 

Mendengar permintaan Garwita membuat kening Kala mengernyit. 

"Untuk apa? Ingin jadi babu? Tidak usah, kasian Gandra, lebih baik kerja di kampung. Sama-sama capek, tapi masih bisa lihat anak!" ujar Kala memberi tanggapan.

Garwita menggeleng cepat. "Aku ingin mencari Mas Ray!" ucap wanita itu, seketika membuat Kala mematung. 

Ditatapnya wanita berkerudung coklat usang yang menatapnya dengan binar sendu. Kala tak mampu menolak, tapi untuk mengantar Garwita menemui lelaki pujaannya, entah mengapa membuat hatinya terasa berat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status