Share

Bab 7

Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?

"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit.

Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis.

Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan.

"Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana.

"Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meninggalkannya karena selingkuh. Kalau bisa Garwita ingin memilih membayangkan hal lain misal Ray meninggalkannya karena mati kecelakaan menggelinding dari gunung atau hilang diculik alien.

"Lepaskan dirimu dari beban itu, Garwita. Ikatan itu hanya membuatmu bertahan tanpa kepastian, lalu mati menjadi pesakitan. Kamu kira dia akan peduli?" Tidak!" Dada Kala kembali memanas, entah mengapa jika Garwita merasa sakit, justru dialah yang merasa lebih dari itu.

Wanita yang duduk di tepi ranjang dengan tangan cekatan melipati bajunya itu mencoba tak acuh. Dia seakan-akan tak mendengarkan Kala yang sedang bicara.

"Garwita! Kamu dengar aku?" Kala meraih pundak Garwita dan membuatnya menatap ke arahnya.

"Diamlah, Mas, aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku dulu! Perihal cerai akan kupikirkan nanti," balas Garwita dengan helaan napas berat. "Kepalaku masih terasa linglung, aku masih bingung harus melakukan apa. Aku ingin tidak mempercayai semua, tapi ...."

"Tapi, itu hanya akan membuatmu lebih bodoh! Dan ujungnya, sakit itu akan makin dalam!" lanjut Kala memotong ucapan Garwita.

Mereka saling adu tatap, Garwita bungkam dia tak bisa berkata-kata lagi karena yang diucapkan Kala memang benar.

"Dengarkan aku ...." Kala berjongkok di hadapan Garwita. "Bercerailah sekarang, kejar kebahagiaanmu sendiri. Dengan bertahan seperti ini hanya akan membuatmu menderita. Gandra bukan hanya butuh ayah, tapi dia butuh sosok ayah. Pikirkan itu, Garwita."

Tatapan Kala yang teduh membuat Garwita tak bisa berpaling. Dia tahu, nasehat itu memang baik untuknya, tapi apa bisa semudah itu? Pikir Garwita rumit.

"Bagaimana jika aku benar-benar bercerai, dan menemukan lelaki lain tapi dia tak mau menerima Gandra? Aku takut itu ... Mas. Memangnya ada lelaki yang bisa menerima seorang janda dengan tulus?"

"Ada! Itu aku!" batin Kala tertahan. Dia tak bisa mengatakan itu saat ini. Kala hanya bisa tersenyum menanggapi.

"Ada! Pasti ada ...," balas Kala, memberi keyakinan pada Garwita.

"Baiklah, aku akan mempertimbangkannya." Garwita tersenyum untuk menutupi kebimbangannya lagi. "Di kampung nanti pasti akan gempar jika ada janda baru," ucap Garwita dengan nada candaan.

"Ah, mereka hanya tak tahu saja kalau sekarang jangankan duda yang bujangan saja targetnya justru janda muda," timpal Kala dengan kekehan.

Garwita ikut terkikik geli. Malam ini mereka habiskan dengan candaan ringan. Rencananya Garwita akan balik ke kampung esok hari, ketika Kala sudah pulang dan bisa mengantarnya ke terminal.

***

Kala sama sekali tak bisa fokus ketika di kampus, sementara pikirannya terus berada di kontrakan ingin membersamai Garwita. Tepat ketika jam kuliah selesai, tanpa pikir panjang dia langsung pulang.

Motor melaju kencang, Kala tak ingin membuang waktu dan kesempatan yang tinggal hitungan jam saja bersama Garwita. Karena setelah ini dia akan lama lagi untuk bisa menyapa dan melihat senyum wanita itu. Masih ada satu semester lagi yang harus Kala tempuh untuk bisa wisuda dan balik kampung.

Sebelum lulus, Kala tak dibolehkan pulang oleh juragan Jarwo. Bapaknya yang terbilang tegas dalam mendidik Kala pasti akan marah jika anaknya pulang tanpa alasan yang jelas.

Suasana jalan cukup ramai tetapi Kala masih bisa menyalip. Motornya meliuk-liuk di jalanan, sesekali mendapat peringatan dari pengendara lain dengan klakson. Namun, Kala tak menghiraukan, baginya yang pengting cepat sampai.

Sebelum pertigaan jalan, Kala menyelip lalu melanjutkan dengan berbelok. Sayangnya dari arah berlawanan ada pengendara lain mereka sama-sama kaget dan tak bisa menghindar karena laju motor yang cukup kencang.

Braaak!

Suara benturan terdengar begitu keras, beberapa body motor bahkan pecah lalu melayang di jalanan.

Tubuh Kala terpental lalu jatuh dan dia langsung tak sadarkan diri. Orang-orang yang berada di sekitar langsung mengerumun dan membantu korban kecelakaan.

***

Di kontrakan, Garwita kaget dengan suara ketukan pintu yang diketuk berkali-kali seakan-akan tak sabar. Dengan tergopoh-gopoh Garwita berlari ke arah pintu lalu menyibak tirai dan mengintip dari dalam terlebih dahulu. Seperti saran Kala agar dia waspada dan tak sembarangan mengizinkan tamu masuk.

Ternyata Gendon, tetangga kontrakan. Dia terlihat berdiri dengan raut panik. Di ketuknya lagi pintu yang masih terkunci.

"Permisi, Mbak! Buka, Mbak! Ada kabar penting!" ucap lelaki bertubuh tambun dari luar.

Garwita yang sempat curiga, memberanikan diri untuk membukanya. Saat pintu terbuka Gendon langsung menarik tangan Garwita agar keluar, sontak saja membuatnya kaget dan langsung menepisnya.

"Heh! Apa-apaan kamu!" bentak Garwita tak terima.

"Maaf, Mbak, maaf! Tapi ini situasi penting!"

"Iya ada apa, jelaskan dulu kenapa?" Garwita berdiri dengan waspada, takut-takut orang di depannya sedang berakting.

"Kala--ndra, dia kece--lakaan!" balas Gendon tergagap. Dia begitu panik, sampai tubuhnya saja tak bisa diam saat menjelaskan pada Garwita dan terus berlari-lari di tempat.

"Innalillahi ...," lirih Garwita dengan raut kaget.

"Dia belum mati, Mbak!" jawab Gendon ambigu.

"Bukan itu maksudku ... sekarang dia ada di mana?" tanya Garwita.

"Rumah sakit. Ayo, Mbak, kita ke sana!"

"Sekarang?" Saking syok dan gugupnya membuat Garwita kebingungan.

"Iya sekarang! Kalo besok keburu mobil jenazah yang datang!"

"Suut! Jangan sembarangan!" Seru Garwita langsung menutup dan mengunci pintu kontrakan.

Gendon menutup mulut dan meminta maaf lagi, dia buru-buru lari ke arah motor lalu menyuruh Garwita membonceng di belakang.

Sepanjang jalan pikiran Garwita tak kuruan, rasa takut menyeruak memenuhi otaknya. Dia sangat takut kehilangan Kala saat ini.

"Bagaimana kondisi Mas Kala tadi?"

"Parah, Mbak!" jawab Gendon dengan nada ketakutan.

"Apanya yang luka?" Garwita terus bertanya karena sangat khawatir.

"Semuanya. Darah di mana-mana, tangannya patah, Mbak ...."

"Innalillahi, Mas Kala ...," gumam Garwita dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi.

"Tangannya lepas?" tanya Garwita polos.

Gendon mengangguk, suara kendaraan lain membuat pendengarannya sedikit terganggu.

"Beneran?"

"Iya," jawab Gendon lagi yang langsung membuat Garwita lemas dan hampir pingsan. Namun, dia istighfar lagi karena sedang ada di jalan dan mencoba untuk kuat.

Wajah dan senyum Kala membayang-bayang di benak Garwita membuat ketakutan itu semakin menjadi. Garwita takut dia tak bisa lagi mendengar ocehan, lelucon, juga tawa khas Kala yang selalu membuat mood-nya membaik. Garwita tak tahu kenapa seperti itu, tapi yang jelas baginya Kala adalah salah satu orang berpengaruh di hidupnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status