Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
(Lima Tahun Tanpa Nafkah Lahir Batin)"Sadarlah, Garwita! Nasibmu itu ibarat bergantung tapi tak bertali!" Garwita mematung ketika disentak oleh Nanto, bapaknya. "Tak diberi nafkah, tidak pula diceraikan, dan yang jelas tak tahu pula di mana batang hidungnya sekarang!" Nanto duduk jegang sembari menyesap asap rokok. Sudah biasa Garwita mendengar keluh kesah dan gerutuan bapaknya. Dia yang duduk di teras beralaskan tikar masih terdiam sambil tangannya memisahkan pucuk daun singkong dengan daun yang lebih tua. Niatnya ingin dimasak santan esok pagi. Namun, Matanya mulai berembun. "Menikahlah lagi, mumpung kamu masih muda!" Garwita mendongak, air mata yang sedari tadi ditahan kini tak mampu lagi dia bendung. "Ndak, Pak, Garwita masih mau menunggu Mas Ray." "Menunggu? Sampe kapan? Kamu saja ndak tahu dia masih hidup atau sudah mati kan?" Nanto mematikan puntung rokok, lalu berdiri ingin beranjak. "Mas Ray pasti masih hidup!" Balas Garwita dengan penuh keyakinan. Diusapnya pipi yan
"Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?" "Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala. "Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela. "Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil. Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka. "Mas?" "Ya!""Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus
Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang. "Ayo masuk!" "Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. "Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. "Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. "Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga memb
Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D