Share

Bab 4

  

Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.

Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran.

"Anda ada perlu dengan saya?" 

Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot.

 Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis.

"Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. 

Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. Dan pemiliknya sekarang atas nama dokter Derajat, bukan Dokter Raykarian," terangnya. 

Entah apa yang terjadi pada tubuh Garwita, kepalanya tiba-tiba pusing dan terasa meriang. Dia memilih diam ketika Kala mencari informasi.

Seorang paruh baya berpakaian cleaning service mendekat setelah mendengar seseorang membicarakan nama Ray.

"Apa kalian membicarakan dokter Ray?" tanyanya memastikan. Garwita langsung menoleh sembari menahan gemetar yang mulai dia rasakan di kaki karena terasa lemas.

"Ya, apa anda kenal, Bu?" tanya Garwita penuh harap. Ibu itu tersenyum ramah. 

"Dulu beliau pemilik klinik ini, hanya beberapa bulan buka. Lalu beliau pindah dan klinik ini lumayan lama ditutup," ucap si ibu dengan yakin. Dia dulu pun bekerja di sini sebagai tukang bersih-bersih. Dalam ingatannya dokter muda bernama Raykarian itu sangat ramah dan ambisius.

Tentu saja Kala dan Garwita langsung bertanya di mana dia pindah. Ibu itu menjawab lengkap alamat dokter Raykarian.

"Kalau bingung rumahnya sebelah mana, tanya saja orang-orang komplek situ pasti tahu di mana rumah Tuan Abash," jelasnya tanpa keraguan. 

Garwita mencatat lagi alamat yang disebut tadi. Kala menyarankan untuk besok saja mencarinya karena hari sudah petang. Garwita tak sabar, tapi tahu keadaan yang memang tak memungkinkan membuatnya menurut dan pulang lebih dulu ke kontrakan  Kala. Lagi pun dia merasa badannya benar-benar tak bisa diajak kompromi.

***

Perjalanan pulang, udara yang terasa dingin membuat Garwita memeluk dadanya sendiri, sementara Kala melajukan motornya pelan. Dari kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang tampak menggigil, dia berhenti sejenak. 

"Dingin, Wit? Ini pake jaketku!" Kala melepas jaketnya dan memberikannya pada  Garwita. Sepertinya wanita itu tak baik-baik saja, wajah Garwita tampak pucat. 

"Kamu baik-baik saja?" tanya Kala memastikan. Namun jawaban Garwita tak sesuai dengan apa yang terlihat, meski dia bilang baik-baik saja, tubuh pucatnya tak bisa berbohong. 

"Kita lanjut lagi. Bentar lagi sampai, kok!" ujar Kala. Dia tak ingin membuang waktu. 

Sampai di kontrakan, Kala memapah Garwita masuk. Badannya panas, Kala bingung apa yang terjadi. Apa dia masuk angin atau kecapekkan karena seharian berada di jalanan. Diambilnya obat pereda demam juga minyak kayu putih. Kala tak bisa banyak membantu selain menjaga dan menungguinya. 

Garwita langsung berbaring di ranjang, sementara Kala duduk di sofa depan dengan cemas. Berkali-kali dia menengok Garwita, takut jika sesuatu terjadi padanya.

Terdengar suara gemertak dari mulut Garwita, badannya begetar menahan gigil. Kala duduk di tepi ranjang lalu memegang kening Garwita, masih belum turun panasnya. Kala berinisiatif untuk mengompresnya dengan air hangat.

Hampir dini hari dan Kala masih terjaga dengan duduk di lantai sembari bersandar ke tepi ranjang. Dilihatnya Garwita yang sudah tenang dan kembali terlelap. Kantuk pun mulai menghinggapi Kala, perlahan matanya memejam dan menekuri alam mimpi.

***

Menjelang subuh, Garwita terbangun. Dirabanya kening yang masih tertempel kain untuk mengopres dan hampir mengering. Kala masih tertidur di lantai dengan posisi duduk. Garwita mengerjap-ngerjap lalu duduk dan bersandar ke kepala ranjang. Rasa pusingnya masih ada, hanya badannya sudah tak berasa dingin meski masih demam. 

"Sudah bangun?" Kala langsung menggeliat mendengar suara ranjang berdecit. 

"Kamu semalaman tidur di situ, Mas?" tanya Garwita merasa kasian juga bersalah karenanya Kala sampai begadang. 

"Masih panas?" Kala tak menggubris pertanyaan Garwita, dia justru khawatir dengan kondisi wanita itu. Ingin menyentuh kening untuk memastikan masih panas atau tidak, tapi Garwita reflek memundurkan kepalanya. 

"Aku udah mendingan, kok, Mas." Garwita mengusap wajahnya. "Mungkin karena terlalu semangat, aku yang ndak biasa pergi jauh dan naik motor jadi langsung meriang. Biasa di kampung cuma di kebun, doang!" canda Garwita lalu menyunggingkan senyum. 

Kala berdecak. "Lain kali kalau sudah merasa pusing bilang, jangan dipaksain!" 

"Aku cuma ndak pengen membuang waktu buat mencari Mas Ray. Waktuku di sini kan ndak banyak. Jangan sampai pulang kampung tapi aku belum berhasil mendapat informasi, bisa mati berdiri aku!" Garwita masih saja memulai candaan konyolnya. 

"Dasar! Pokoknya hari ini istirahat dulu ya?" pinta Kala tak ingin Garwita memaksakan keinginannya.

"Aku udah baikkan ...." 

Kala berlalu ke kamar mandi tak lagi mendengarkan protesan dari Garwita yang kekeh ingin mencari Ray lagi. 

***

Garwita ditinggalkan Kala bersama dengan sebungkus nasi uduk yang tadi dibeli sebelum berangkat kuliah. Kala mewanti-wanti agar Garwita tak pergi ke mana pun dulu. Pintu kontrakkan tak dikunci, hanya saja Kala menyuruh Garwita untuk menguncinya dari dalam. Namun, ucapan itu tak diindahkan, wanita itu sudah bersiap berganti baju lalu pergi dari kontrakan. 

Berbekal alamat yang kemarin didapatkan, Garwita berjalan menyusuri gang untuk mencari pangkalan ojek. Dia belum tahu tentang adanya ojek online, karena ponsel saja tak punya. Wajah Garwita tersenyum semringah melihat pangkalan ojek di depan mata, meski yang terlihat tinggal seorang saja yang sedang mangkal. Dia mempercepat langkahnya. 

"Permisi, Pak, bisa antar ke alamat ini?" Garwita menyodorkan selembar kertas. Tukang ojek berusia sekitaran empat puluh tahun itu mengernyit lalu menoleh ke arah Garwita. Dilihatnya baik-baik wanita muda yang memakai gamis coklat dengan wajah yang asing, dia tak pernah melihat di komplek ini.

"Bisa, Mbak. Sekarang ya? Oiya, ngomong-ngomong Mbak ini dari mana?" Tukang ojek memancing pertanyaan.

"Aku dari kampung, Pak." Garwita pun menyebut asal-usulnya tanpa curiga apa pun.

"Oh pantes, bahasnya medok, Mbak," ucap si tukang ojek. Entah mengapa senyumnya berubah sedikit menyeringai. 

Garwita yang polos hanya tersenyum simpul lalu naik ke jok belakang. "Bisa antar sekarang kan, Pak?" 

"Bisa-bisa, Mbak. Ayo!" 

Motor mulai melaju menyusuri jalanan perkotaan. Sesekali Garwita memijati keningnya yang terasa pusing tetapi masih kuat untuk bertahan. Tekadnya jauh lebih kuat ketimbang rasa manja untuk rehat sejenak.

***

Di lain waktu, Kala pulang dengan tergesa. Dia khawatir jika Garwita kembali demam dan menggigil. Motor melaju cepat, namun saat sampai di kontrakan dia tercengang karena tak ada sesiapa pun di dalam. Perasaannya bimbang tak karuan, bingung, cemas, juga menyesal kenapa tadi tak mengunci pintu saja agar Garwita tak kabur. Dia takut jika wanita itu akan tersesat atau kemungkinan terburuk dijahati orang. Pikirnya Garwita terlalu polos untuk bertahan di kota ini sendirian.

"Apa Garwita pergi?" gumam Kala. Dia mengacak rambutnya frustasi lalu bergegas untuk pergi. 

Dicarinya Garwita, sepanjang jalan Kala terus menoleh ke kanan dan kiri berharap bisa menemukan wanita itu. 

***

"Sudah sampai, Pak?" Garwita turun dari motor ketika tukang ojek mematikan mesin di tempat yang cukup sepi. 

"Ya, ini sudah berada di komplek perumahan itu. Mbak tinggal jalan lurus saja," dusta si tukang ojek sambil menunjuk lurus ke arah gang. 

Garwita yang polos hanya mengangguk paham. Dia mengambil dompet yang berada di dalam tas slempang berbahan kain, ukurannya lumayan besar. Bukan hanya dompet tapi barang satu-satunya yang Ray tinggalkan juga ada dalam tas. Sengaja Garwita membawanya agar selalu ingat tujuannya pergi adalah mencari suaminya. 

"Heh!" Garwita tersentak kaget ketika tasnya tiba-tiba ditarik oleh tukang ojek dan dia didorong sampai tersungkur. Sementara tasnya dibawa kabur. 

"Tolong!" teriak Garwita saat menyadari tasnya dijambret! 

Garwita berlari ingin mengejar, tapi badan lemahnya tak mampu menandingi laju motor. Apalagi ketika dia tersandung dan sandal jepit yang dipakainya terputus.

"Tolong ada jambet!" teriak Garwita sekali lagi dengan terduduk di jalanan.

Orang-orang yang mendengar teriakkan langsung keluar rumah dan berlari menghampiri.

"Ada apa, Mbak?" tanya seorang paruh baya yang pertama kali datang.

"Tolong aku, Pak! Aku dijambret!" tuduh Garwita sambil menunjuk ke arah pengendara motor yang sudah sangat jauh. Orang-orang yang sudah berdatangan hanya bisa merutuk dan ikut kesal. Mereka tak bisa mengejar karena pelaku sudah menghilang di tikungan jalan. 

"Ayo berdiri, Mbak, kubantu!" Seorang Ibu bertubuh kurus memapah Garwita ke tepi jalan lalu medudukkannya di teras rumah seseorang. 

Mereka mulai bertanya tujuan Garwita ingin ke mana dan dari mana. Dengan polos Garwita menuduhkan selembar kertas yang untungnya dia masukkan dalam saku baju. Nasib apes sedang menimpanya, bukan hanya uang tapi Garwita juga kehilangan satu-satunya benda milik Ray. Dia mulai merutuki kecerobohannya, padahal dia belum sempat menceritakan kepada Gandra sehebat apa ayahnya ketika memakai jas dokter itu. 

Garwita berselonjor, melihat jempol kaki yang sedikit lecet dan berdarah. Ingatannya tentang Ray yang selalu tanggap ketika dia sakit pun bermunculan. Ray akan merawatnya, bahkan ketika Garwita panik melihat darah, suaminya itu akan dengan tenang dan telaten mengobatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status