Share

Bab 3

Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang.

"Ayo masuk!" 

"Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. 

"Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. 

"Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. 

Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. 

"Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. 

Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga membelikannya dua porsi nasi goreng. 

Garwita berdiri mengamati setiap sudut kontrakan Kala. Tak terlalu sempit, memang hanya ada satu ruang yang disekat jadi dua, memisahkan ranjang juga sedikit ruangan depan. Tapi kamar mandi kumplit, hanya tak ada dapurnya. 

"Mandilah dulu, atau capek? Kamu bisa istirahat." Kala duduk di sofa sambil menggeliat. 

Sedari tadi Garwita menahan ingin buang air kecil, jadi tanpa menunggu dia langsung ke kamar mandi.

*** 

Dua porsi nasi goreng sudah siap di meja. Kala juga membuat dua gelas teh hangat untuknya dan Garwita. 

"Makan dulu!" titah Kala saat mendapati Garwita sudah bebersih dan memakai baju santai--kaus lengan penjang dengan rok.

"Beli?" tanya Garwita menempatkan diri berhadapan dengan Kala. 

"Ya, aku tak pernah masak. Paling masak nasi." 

"Boros, dong!" celetuk Garwita, menerka-nerka pengeluaran Kala selama kuliah di kota. 

"Ya, enggak juga. Lebih boros lagi kalo masak sendiri, ribet!" 

"Oh." Garwita mengamati Kala yang sedang lahap makan, pikirnya mungkin selama beberapa tahun ini Kala terlihat lebih kurus karena ini. Di kampung, dia terbiasa apa-apa serba tercukupi apalagi hanya sekadar makan. Tapi, di sini selain harus mandiri juga dibebani dengan tugas-tugas yang menumpuk.

Malam semakin larut, Kala masih terjaga dengan layar laptop yang masih menyala. 

"Ndak tidur, Mas?" 

"Kamu duluan saja. Aku biar tidur di sofa, ada tugas yang nanggung harus kuselesaikan." 

Garwita mengintip layar laptop yang berisi dengan banyak file-file tulisan, tentu saja wanita itu tidak mudeng dengan sesuatu yang sedang dikerjakan Kala lalu memilih berbalik ke kemar. Dia meringkuk di ranjang  berukuran sedang dengan seprai berwarna hitam. Tubuh yang terasa lelah membuatnya cepat terlelap. 

***

Diceknya kembali oleh Garwita tulisan alamat di selembar kertas yang terselip di dompet. Dia menyodorkannya ke Kala, kening lelaki itu mengernyit karena membaca tulisan yang sudah buram. Masih bisa dibaca meski otaknya harus berkerja keras menterjemahkan lebih dulu. 

"Kamu tahu, Mas?" 

Kala mengangguk pelan. "Tapi kita butuh waktu satu jam buat menuju kotanya." 

"Beritahu aku saja, harus naik apa dan buat denahnya," ujar Garwita mengeluarkan kertas kosong.

"Aku antar!" Kala langsung bangkit dari duduknya lalu mengambil kunci motor dan helm.

"Memang ndak kuliah?" Garwita merasa sungkan karena lagi-lagi harus merepotkan Kala. 

"Hari ini tak ada mata kuliah. Ayo, mumpung masih pagi." 

Mereka berdua mencari alamat Ray dengan menaiki motor metik milik Kala yang sengaja dibeli saat dulu masuk kuliah. Garwita duduk di jok belakang, harapannya melambung tinggi. Dia berdoa agar apa yang dia cari bisa secepatnya bertemu. 

Sepanjang jalan, otak Garwita terus saja terbayang-bayang wajah suaminya. Kebersamaan yang hanya seumur jagung, nyatanya begitu membekas dan membuat Garwita tak bisa melupakkannya barang sejenak. Bahkan setiap inchi dari wajah dan tubuh suaminya masih tergambar jelas, sikap hangat dan lembut juga momen-momen yang mereka lalui bersama tak ada secuil pun yang terlupakan. 

"Gedungnya tinggi bangeeet!" gumam Garwita ketika mengerjap dan kembali fokus ke jalanan. 

Dari balik kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang begitu kagum. Dia tertawa geli melihatnya. 

"Beneran kayak yang ada di TV, kira-kira berapa lama membangunnya, ya?" Coletahan Garwita semakin membuat Kala tak mampu menahan tawa. Pikiran polosnya sungguh lucu sekali. 

"Ish, malah ketawa!" Garwita menepuk punggung Kala. Dia kesal karena terus ditertawakan. 

"Lagian, kayak enggak pernah ke Jakarta saja." 

"Pernah, tapi itu dulu banget waktu stady tour SMP. Bayangin saja udah berapa tahun! Yang pasti sekarang jauh lebih maju dan mengagumkan!" 

Tak ingin mendengar ejekkan Kala lagi, Garwita memilih fokus pada apa yang dia lihat. Matanya terus mengedarkan pandangan ke setiap penjuru. Bukan hanya gedung, kendaraan, atau pedagang di tepi jalan. Bahkan pejalan kaki saja tak luput dari pengamatannya. Garwita melihat pakaian yang orang-orang kota kenakan, dia membatin begitu bagus dan kekinian. Lalu dilihatnya apa yang dia kenakan, gamis lusuh yang warnanya hampir pudar. Yah, Garwita membeli baju hanya setahun sekali jika lebaran, itu pun kalau ada duit, kalau tidak ya yang penting untuk Gandra ada.

Garwita jadi kepikiran Gandra lagi, apa pun yang terjadi pada Ray. Selagi Garwita punya kesempatan untuk mencari, dia ingin gunakan waktu semaksimal mungkin. Agar bisa cepat pulang dan kembali bertemu Gandra, baru sehari berpisah saja rindu itu mulai menumpuk. 

"Kita makan siang dulu, ya?"  Kala menepikan motornya di depan warung nasi. 

Garwita tak bisa menolak, perutnya juga keroncongan. Saat di dalam dia bingung pake lauk apa, takut jika uangnya kurang.

Kala mengambilkan ayam goreng lalu meletakkannya di piring Garwita. 

"Aku pake tempe ajah, Mas." Garwita ingin meletakkan kembali ayam gorengnya tapi dicegah oleh Kala. 

"Kenapa?" 

"Aku takut harganya mahal," balas Garwita dengan wajah polos. 

"Halah, kita kan makan di warteg! Harganya murah, enggak kaya di restoran," ujar Kala mengambil apa saja yang terlihat enak ke piring Garwita.

Garwita bengong karena sekarang piringnya sangat penuh dengan tumpukkan lauk. Kala yang melihatnya langsung terkekeh-kekeh, meski batinnya sedikit iba. Dia tahu apa yang dipikirkan Garwita, wanita itu pasti sungkan. 

"Tenanglah, jangan pikirkan soal duit, udik-udik begini, kamu tahu kan aku siapa ... anak juragan Jarwo!" kata Kala dengan congkak sembari membusungkan dada. Garwita terkikik geli melihat ekspresi konyol lelaki di sampingnya. Dia jadi ingat semasa SMP dulu, ketika Kala jadi kakak kelasnya. Diam-diam Garwita mengintip dari jendela saat Kala berada di depan kelas untuk perkenalan.

"Tolong dengarkan baik-baik, kalau perlu dicatat! Sekalian pake tinta merah biar kelihatan! Namaku Kala, panjangnya Kalandra Sujarwo! Anak juragan Jarwo, orang paling ningrat sekampung Karang Mencil." Bayangan Kala saat remaja yang bertubuh bongsor dengan pipi tembem terlintas di benak Garwita.

"Oiya, ini yang paling penting kenapa aku dinamai Kalandra, Bapak Jarwo bilang Kalandra dari bahasa Jawa artinya menerangi masyarakat. Nah, keren kan? Beliau pasti berharap tinggi, mungkin sangat tinggi kalau matang nanti ... ah bukan, maksudnya dewasa nanti aku bisa berperan penting dan memberi banyak manfaat untuk masyarakat. Bagai sang surya menerangi dunia. Woelah, jadi nyanyi!"

"Itu kujadikan motivasi, anggap saja maksud dari harapan Bapak Jarwo adalah agar aku kelak menjadi calon presiden! Begini saja perkenalannya, jadi tak usah panjang lebar, tolong pilih Kalandra Sujarwo jadi presiden!"

Mengingat itu, Garwita jadi senyum-senyum sendiri. Kala itu memiliki jiwa kepedean yang sangat tinggi. Melihat Garwita yang masih mesem-mesem membuat Kalandra mengernyit lalu menyikutnya.

"Ayo, duduk!" ajak Kala ke meja paling depan. Garwita membuntut.

"Kenapa tadi senyum-senyum?" tanya Kala penasaran sambil menyeruput es teh. 

"Aku inget sama anak juragan Jarwo waktu perkenalan di SMP!" 

Uhuuuk! 

Spontan Kalandra menyemburkan minum dan terbatuk, untung saja hanya mengenai tembok. Garwita tertawa keras, dia tahu kenapa ekspresi Kala sangat kaget karena setelah perkenalan itu kejadian tak terduga berlangsung. Kala yang sudah selesai berjalan menuju kursinya, tapi nahas kakinya tersandung dan membuat tubuh tambunnya tersungkur. Teman-teman bukannya membantu justru tertawa menyoraki. Dimulai saat itulah teman-teman Kala selalu memanggilnya presiden gendut! 

"Hah, dasar teman-teman lak nat!" gerutu Kala kesal mengingatnya. 

"Yah, mereka jahat sekali ... tapi memang wajahmu dulu sangat menggemaskan!" celoteh Garwita dengan senyum jahil.

"Ish, coba ada reuni SMP mereka pasti bakal tercengang lihat aku sekarang!" ucap Kala yakin.

"Sebab?" Garwita mengernyit, siap-siap menyemburkan tawa biasanya ucapan ngelantur Kala akan terdengar lebih konyol dan gokil. 

"Sabab ... sekarang ketampananku sebalas,  dua belas dengan Bapak Jarwo!" balas Kala bangga, ekspresi sok ganteng dengan tangan mengusap poninya kesamping membuat Garwita semakin terpingkal dan berasa gila. Sehebat itu memang Kala dalam membuat lelucon. 

Kala tak pernah marah jika ditertawakan oleh Garwita, baginya senyum dan tawa wanita itu selalu tulus sebagai bentuk apresiasi dari lawakkannya.

Puas tertawa, mereka kembali melanjutkan makan. Garwita duduk anteng, langsung menikmati jatahnya. 

"Enak ya? Biasanya aku makan daging kalau lagi kondangan doang!" gumam Garwita masih fokus ke piringnya. Suasana yang tadi penuh gelak tawa sekarang agak hening.

Kala menoleh, dia tersenyum tipis. Melihat itu, ada yang terasa mencubit hatinya. Andai bisa, Kala ingin menikahi lalu menafkahi wanita yang ada di sampingnya dengan penuh cinta dan kasih. Namun, saat dia sadar dari khayalan itu, Kala merasa itu terlalu konyol, Garwita belum menjanda. Dia tak mungkin bisa menerimanya, pun Kala belum berani mengungkapkan apa yang dia rasa karena takut Garwita justru akan menjauhinya. 

*** 

Matahari tepat berada di pucuk singgasana, panas begitu menyengat. Apalagi debu jalan yang semakin membuat gerah. Di belakang, Garwita duduk sembari mengibas-ibaskan tangan. Kala mengegas motornya agar cepat sampai dan bisa berteduh sejenak. 

"Rumah nomor berapa tadi, Wit?" tanya Kala ketika sampai di sekitaran tempat yang di tuju. 

"Nomor 227, Mas!" Kala memelankan laju lalu mengamati setiap nomor yang tertera di depan rumah. 

"Dua-dua lima, dua-dua enam ...." Kala berhenti tepat di hitungan dua-dua tujuh, di depan sebuah rumah megah, berpagar besi. Namun, terlihat seperti tak terawat. 

"Apa ini rumahnya?" Garwita turun lalu mengecek nomor rumah yang kebetulan terpasang di pagar dan di sebelahnya tertulis 'Rumah Ini Dijual!'. 

Mereka berdua saling pandang lalu celingak-celinguk. 

"Permisi, Pak, saya mau tanya rumah nomor 227 atas nama Pak Raykarian di sebelah mana ya?" tanya Kala pada penghuni di sebelah rumah tadi yang kebetulan keluar. 

Garwita berdiri di belakang Kala dengan dada bergemuruh, dia deg-degan dengan jawaban bapak yang ditanya tadi. Terpancar jelas raut penasaran juga penuh harapan dari Garwita. 

"Dokter Ray? Oalah, beliau sudah pindah lama, Mas. Dulu ini memang rumah orang tuanya Dokter Ray, Tuan Abash dan Nyonya Mega. Tapi sekitaran empat atau tiga tahun lalu mereka pindah," terang bapak berbaju biru tua.

Kala menoleh ke arah Garwita yang sekarang mematung. Harapan wanita itu gugur seketika. 

"Bapak tahu mereka pindah di mana?" tanya Kala lagi. 

Bapak tadi berpikir keras, dia mengingat-ingat. "Duh, maaf Mas, saya lupa," jawabnya sambil memijat kepala yang sedikit botak. "Tapi setahu saya dulu Dokter Ray punya klinik di daerah ...," tuduhnya. 

Kala mengingat-ingat alamat klinik pribadi Ray yang dituduhkan. Tanpa pikir panjang mereka kembali melajukan motor dan menyusuri jalanan. 

"Jauh ya, Mas?" tanya Garwita gusar. 

Kala mengangguk dan menyuruh Garwita berpegangan karena dia akan mengebut. "Kita harus cepat biar tidak kesorean!" ujar Kala lalu menarik gas. Garwita yang tanggap langsung memegang baju yang dikenakan Kala. 

Udara sore mulai terasa dingin, sinar mentari pun mulai meredup saat mereka sampai di klinik yang dimaksud. 

"Klinik Andalan," gumam Garwita. Matanya berbinar-binar ketika melihat klinik itu masih buka dan tampak ramai.

Tanpa menunggu Kala memarkirkan motor, Garwita melangkah lebih dulu. Jantungnya berdetak tak karuan, dia sangat berharap kali ini akan menemukan Ray. Tepat ketika dia berdiri di pintu masuk, dilihatnya seorang dokter yang berjalan di koridor ingin menuju ke suatu ruangan. Posturnya tinggi, memakai jas putih dan celana kain hitam. Senyum Garwita tersungging dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

"Mas Ray!" panggil Garwita membuat suasana di meja pendaftaran yang tadinya agak ramai jadi hening dan semua orang menatapnya kaget. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status