Share

Bab 2

"Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?" 

"Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala. 

"Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela. 

"Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil. 

Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka. 

"Mas?" 

"Ya!"

"Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus pamungkas yang tak mungkin bisa Kala tolak. Matanya mulai berkaca-kaca dengan bibir gemetar, seperti anak kecil yang akan menangis karena tak boleh membeli jajan.

"Baiklah," balas Kala putus asa. Sementara Gawitra langsung meloncat kegirangan. Andai bisa, mungkin harapannya pun ikut loncat setinggi-tingginya sampai menyentuh awan. 

Sudut bibir Kala tertarik, membentuk senyuman tipis. Dia makin bingung, bagaimana bisa tetap tersenyum melihat kebahagiaan Garwita sesaat ini, sementara kebahagiaan itu bukan karenanya. Tapi, begitulah perasaan. Kadang kita bisa jadi bodoh mengesampingkan kepedihan sendiri, demi menukarnya dengan senyuman seseorang yang kita anggap sebagai sumber semua rasa. 

Garwita terududuk lagi, dengan wajah  semringah dan rencana yang mulai tersusun jelas di benaknya. Sementara Kala pamit untuk menemui Gandra. Dia tak ingin menyiakan bertemu dengan jagoan kecil yang senyumnya laksana obat dari penawar segala rasa sakit. 

***

Tengah hari, tepat ketika azan Zuhur mulai berkumandang Garwita menghentikan pekerjaannya. Dia menunggu azan selesai lalu bergegas membereskan pekerjaannya agar bisa cepat pulang. 

Kebun juragan Jarwo lumayan berjarak dari rumah Garwita. Mengayuh sepeda menjadi pilihannya ketika berjalan kaki terasa pegal.  Suara decit sepeda usang milik bapak yang dipakainya mengiring setiap kayuhan yang mampu kakinya gerakkan. 

"Ibuuu!" panggil Gandra antusias dari ambang pintu ketika melihat ibunya pulang.

Sepeda usang berwarna merah yang sudah terkelupas itu di senderkan pada bilik samping rumah. Garwita menghampiri Gandra yang juga menyongsong kedatangannya. 

Bocah cilik berambut hitam tebal dengan poni yang membentuk seperti mangkuk tersenyum riang. "Bu, tadi Om Kala jemput  Gandra di sekolah!" ujar Gandra antusias dia langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi. 

Garwita tersenyum menanggapi, diusapnya rambut Gandra dan menuntunnya masuk rumah. "Oiya, seneng dong bisa ketemu Om Kala?" 

Gandra mengangguk. "Iya, apalagi dikasih hadiah!" tunjuk si anak pada kresek hitam di atas dipan yang langsung menarik perhatian Garwita. 

Dibukanya bungkusan itu, Gandra duduk di sebelah ibunya. 

Garwita mengernyit ketika mendapati baju kecil untuk Gandra juga pakaian wanita dewasa beserta kerudungnya. 

"Itu dari Kala, katanya buat kamu sama anakmu biar bisa--" Ijah yang baru keluar dari dapur langsung memberi tahu Garwita. Dia berpikir sejenak karena lupa apa yang Kala katakan. "Biar apa ya? Emak lupa, pokoknya dia bilang ada co-- co-- apel gitu!"

Sontak Garwita tertawa pelan, dia mengerti dengan maskud yang dibingungkan emaknya. "Couple?" 

"Nah, itu!" Ijah ikut tersenyum dan duduk di risban sambil menyeruput teh manis. 

Senyum Garwita terpancar ketika menjembreng lagi baju pemberian Kala yang terlihat bagus dan pas di badannya. Baju model tunik yang panjangnya selutut berwarna marun. Sementara untuk Gandra, kaus dengan gambar dinosaurus setelan dengan celanannya.

*** 

"Aku tak akan lama, Mak, mungkin dua minggu atau lebih. Sampai tahu kabar pasti tentang Mas Ray, setelah itu janji akan langsung pulang," terang Garwita sebelum pamit pergi. 

"Hati-hati ya, Nduk. Ini bawa buat bekel siang nanti. Bisa dimakan di bus sama Kala." Ijah menyodorkan kantong kresek berisi nasi ketan yang baru ditanak beserta parutan kelapanya. 

"Makasih, Mak!" Garwita memeluk ibunya sebagai salam perpisahan. "Aku titip Gandra ...," lanjutnya. 

Sebelum melangkah pergi, Garwita kembali masuk ke dalam bilik kamar, dici umnya kening anaknya yang masih tertidur pulas. Garwita sengaja berangkat di pagi buta saat Gandra masih tertidur dan dia tak akan melihat tangis anaknya yang akan menolak untuk berpisah. Itu bisa membuat Garwita tak tega, dan mengurungkan niatnya lagi. 

Garwita kembali mengecek selembar kertas lecek bertuliskan alamat yang dulu pernah Ray beri. Entah alamat asli atau bukan, tapi Garwita ingin memastikannya nanti. Bukan hanya itu, Garwita juga membawa jas putih khas dokter milik Ray yang terdapat bercak darah. Bercak itu di dapat ketika dia membantu menangani pasien kecelakaan. Garwita masih menyimpannya, jika rindu jas itulah yang akan Garwita peluk dan ci umi. Setelahnya dia masukkan ke dalam tas dan membawanya pergi.

Suasana kampung masih berkabut, bahkan jalanan masih sedikit gelap. Garwita berjalan sambil bersedekap karena merasa dingin, dia menuju ke nambangan--tempat untuk menyeberang sungai. Disebut begitu karena orang jaman dulu menyebut penyeberang sebagai penambang.

 Kala sudah berdiri menunggu di bantaran sungai dengan ransel besar di punggungnya. 

"Mas!" tegur Garwita ketika melihat sosok jangkung yang sudah bersiap di sana. 

Senyum Kala tersungging tatkala melihat wanita yang ditunggu datang memakai baju pemberiannya. Terlihat sangat cocok dan menambah cantik pada Garwita, sayangnya baju baru itu masih kontras dengan celana jin buluk yang dipakainya. Melihat itu ada yang terasa miris dan sesak di dada Kala, dia merutuki kebodohannya kenapa tak sekalian membeli yang satu paket? 

"Sudah lama, Mas?" 

"Ish, melamun!" Garwita menepuk pundak Kala karena tak menyahut dengan pertanyaannya. 

"Ah ya?" Kala gelagapan, merasa terpergok memandangin Garwita terlalu dalam. 

"Itu perahunya sudah hampir penuh. Ayo, ikut giliran yang sekarang!" tuduh Garwita menarik lengan baju Kala agar cepat melangkah. 

Mereka menyeberang dengan perahu compreng, biasanya muat sampai tujuh motor. Bentuknya dua perahu besar yang disatukan lalu di atasnya di beri anyaman dari bambu sebagai alas pijakan para penyeberang. Sementara atapnya memakai seng. 

Sampai di hulu, sudah ada dua ojek yang Kala sewa untuk mengantar mereka ke terminal.

***

Garwita duduk di pinggir, dekat jendela sementata Kala setia di sebelahnya. Sejak baru menginjakkan kaki di dalam bus, Garwita sudah mengeluh pusing dan mual. Rupanya dia mabuk kendaraan. 

"Pake minyak kayu putih, ya?" Kala mengeluarkan botol kecil dan ingin membantu Garwita.

"Aku sendiri saja, Mas," pinta Garwita, meraih botol minyak kayu putih lalu mengoleskannya ke kepala dan leher. 

"Tidur dulu biar enggak pusing," titah Kala. Dia melepas jaketnya lalu melipat dan meletakannya sebagai bantal di belakang punggung Garwita. 

Sepanjang jalan Garwita memejam, wajahnya tampak kusut dan kelelahan. Kala membiarkannya untuk istirahat dan dia memilih bermain ponsel sambil mendengarkan lagu. 

"Aw!" pekik Garwita ketika keningnya terbentur kaca jendela. Dia mengusap-usapnya sebentar dengan mata masih memejam, lalu menyenderkan kepalanya ke tempat duduk.

Kala tersenyum geli melihatnya, dia beranikan diri untuk menarik kepala Garwita dan membuatnya bersender di lengannya. Dada Kala semakin berdetak kencang, ketika berada dengan jarak sedekat ini dan bisa mengamati setiap detail wajah Garwita. 

"Dia semakin terlihat manis ketika tertidur dengan wajah sepolos ini," gumam Kala dalam hati. Tangannya ingin mengusap pipi Garwita, merasakan kehangatan dari sana. 

"Ada apa, Mas?" Garwita mengerjap-ngerjap setalah merasa tidurnya sangat puas dan mendapati Kala sedang mengulurkan tangan. 

"Kamu ngiler!" celetuk Kala dengan ekspresi datar yang dibuat-buat, dia segera menarik tangannya dan digaruknya kepala yang tak gatal. Garwita langsung bergerak membenarkan posisi duduknya lalu mengusap wajah dengan ujung kerudung. 

"Mana ada iler?" ujar Garwita merasa kerudungnya tak basah setelah digunakan untuk mengelap. 

"Jorok!" tegur Kala. "Pake ini!" Dia menyodorkan kotak tisu. Garwita menurut saja dan mengelap kembali wajahnya. 

Jarak yang ditempuh bus antar kota itu semakin jauh, dan mendekatkan mereka berdua ke tempat tujuan. Hari beranjak sore, sinar mentari mulai tenggelam di ujung barat.

Mereka berdua kembali hening, Garwita tak lagi memejamkan mata. Dia bersedekap dengan melihat keluar, di mana hari mulai gelap. 

"Wit, kamu yakin akan keputusanmu mencari Ray?" tanya Kala lagi untuk memastikan keinginan Garwita memang sudah bulat. Garwita menoleh dengan raut serius.

"Ya, aku ingin mencarinya dan katakan kita punya anak. Anak yang selalu merindukkan dan bertanya seperti apa sosok ayahnya!" tegas Garwita. 

Kala membalas tatapan Garwita tak kalah serius. "Kamu yakin bisa bertemu dengannya?" 

"Ya!" 

"Bagaimana jika beneran bertemu tapi dia tak mengakuimu?" 

Garwita menggeleng dengan mata mulai berkaca-kaca. 

"Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk seseorang pergi tanpa alasan." Kala mengungkapkan yang ada di pikirannya. "Dan di waktu panjang itu, bukankah dia seakan-akan membuangmu tanpa peduli?" 

Air mata Garwita jatuh, ketika Kala seseorang yang paling dekat dengannya juga tak mendukung keinginan Garwita untuk mempertahankan hubungannya dengan Ray.

"Apa pun itu, bagaimana keadaanya saat kami bertemu nanti ... aku akan tetap menerimanya. Dan jika sebaliknya, dia sengaja meninggalkanku dan Gandra ... aku akan terus mencari tahu, apa alasannya!" 

Mata Garwita berapi-api, keyakinannya begitu kuat. Kala tak mampu berkata apa pun lagi, saat melihat air mata yang mengalir di pipi Garwita membuatnya tak tega dan kembali bungkam.

***

"Sudah senja!" Bibir Garwita melengkung tipis, menatap langit kemerahan di balik jendela bus. Dia melupakan kesedihannya sesaat tadi, dan kembali menata hati agar bisa tenang.

"Lihat itu, Mas, indah sekali!" tunjuk Garwita ke arah barat. Dia juga bersikap biasa pada Kala dan tak menyimpan marah pada lelaki yang tadi membuat pikirannya bimbang dan semrawut.

"Apa?" Kala menuruti, dia mendekatkan wajah ke arah Garwita untuk mengintip dari jendela yang berada di sebelah Garwita.

Tepat ketika bus melaju di tikungan dan membuat tubuh Kala condong ke arah Garwita. Posisi tak siap, Kala justru terdorong maju ke arah wanita itu.

Plak!

Reflek Garwita menepis wajah Kala, lalu men jam baki rambut pendek lelaki itu. "Kesempatan!" tuduhnya ketus. 

Kala yang tadi pasrah dengan amukkan Garwita mencoba melepaskan rambutnya. "Astaga, aku tak sengaja!" ucap Kala dengan raut mengiba. 

Garwita memonyongkan bibir dan mengalihkan pandangan ke samping. 

"Salahin sopirnya juga, dong! Kan dia yang buat aku maju-maju. Lagian enggak sampe nyium pipi kan? Apalagi bibir, cuma kena kerudung doang," bela Kala tak terima. Dalam hati dia bersorak kegirangan.

"Tapi yang untung tuh kamu!" 

"Heh? Mana bisa dibilang untung? Sini ulangi! Biar kukecup sekalian!" goda Kala semakin menjadi. Sekali lagi Garwita mencubit lengan Kala. 

Kala mengaduh kesakitan, lalu terkekeh-kekeh pelan sambil melihat wajah cemburut Garwita, sebenarnya dia juga merasa sedikit bersalah karena bibirnya menyentuh tanpa permisi. Tapi, kadung tak sengaja, jadi bukan salahnya kan? Pikir Kala. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status