Share

Bab 8

Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. 

Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. 

"Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. 

"Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. 

Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. 

Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. 

"Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap Kala kemudian seperti sedang menenangkan adiknya yang sedang menangis.

Garwita langsung mendongak mendengarnya. Matanya membulat melihat Kala yang tersenyum geli padanya. 

"Mas, sudah sadar? Ya Allah ... alhamdulilllaaah!" ucap Garwita kegirangan. Wajah polosnya selalu membuat Kala gemas. 

"Mana yang sakit, Mas?" tanya Garwita perhatian. Dia berdiri sambil mengamati Kala. 

"Semuanya sakit, Wit! Ini ... apalagi!" tunjuk Kala pada kepalanya yang diperban. 

"Tapi kamu ndak hilang ingatan kan, Mas?" Garwita masih saja melontarkan pertanyaan-pertanyaan polosnya. Dia memang begitu, sikap tulus dan polosnya justru membuat Kala selalu rindu dan candu. 

"Aw sakit," pekik Kala dengan nada yang dibuat-buat. "Ka--kamu siapa!" canda Kala sembari melihat ke arah Garwita. 

"Ish, bohong!" Garwita cemberut, merasa keseriusannya ditanggapi lelucon oleh Kala.

"Mas, tangan dan kakimu masih utuh kan, Mas?" Lagi-lagi pertanyaan aneh itu Garwita ucapkan dia bahkan sampai membuka selimut yang menutupi kaki Kala. 

Baru juga sadar, Kala sudah dibuat tertawa sampai ingin terkencing-kencing. Kelakuan Garwita memang tak ada duanya, bisa jadi tukang lawak hanya bermodalkan wajah dan ucapan yang polos.

"Apaan sih, Wit, kamu lihat masih utuhkan? Ngeri kali kalau sampai ilang!" balas Kala dengan kekehan. 

"Hem, Gendon bilang kamu kecelakaannya parah sampe tangannya patah. Kukira terlepas juga!" 

Kala menggeleng-gelengkan kepalanya merasa kadang dia heran, Garwita ini tulalit atau emang polos, beda dikit kali ya? 

"Enggaklah, cuma cidera ajah. Enggak sampe putus, tapi susah juga kalau digerakkin masih sakit. Aku enggak bisa antar kamu ke terminal hari ini,"  ucap Kala dengan raut yang berubah sedih. 

"Ndak papa, Mas." 

Kala menatap Garwita dalam, tak bisa dijelaskan bagaimana perasaannya sekarang. Di saat sakit seperti ini dia ingin sekali merengek agar Garwita tetap tinggal dan menemaninya sementara. Namun, Kala tak punya keberanian untuk meminta itu.

***

Di lain tempat, Mega berdiri di dekat pintu kamar anaknya yang terbuka sedikit. Dari situ dia bisa mengintip apa yang dilakukan anaknya Ray, tidak ada, lelaki muda itu hanya duduk dengan tatapan kosong ke arah jendela. Cukup lama, sampai sepuluh menit berlalu dan tak ada perubahaan yang dilakukan Ray. Dia tetap duduk dan memandang lurus. 

Mega memutuskan untuk masuk dan menghampirinya. "Sayang, ayo makan siang dulu. Sore nanti ada jadwal chek up, kan?" 

Ray tak merespon, dia membiarkan mamahnya berceloteh sendirian. Mega merunduk, dia merangkul Ray dari belakang lalu mengaitkan kedua tangannya ke depan.  

Semenjak Garwita datang ke rumah itu, belum ada satu pun cerita tentangnya yang Mega beri tahu pada Ray. Dia masih takut kalau Ray akan drop mendengarnya, atau justru berontak dan mengamuk. 

"Ray? Kamu kangen Ayah tidak?" tanya Mega memulai percakapan. 

"Ayah seminggu lagi akan pulang." 

"Kamu ingin dibawakan apa?" 

Setelah hening cukup lama, bibir Ray terbuka. "Ray bukan anak kecil, Mah. Tak perlu dibawakan apa-apa," balas Ray tanpa ekspresi.

Mega menghela napas. Dia tak tahu lagi bagaimana cara membuat anaknya kembali seperti dulu, seorang lelaki yang mempunyai semangat dan jiwa kemanusiaan tinggi. Sekarang tak ubahnya seperti mayat hidup. 

***

Hampir sore, Garwita masih duduk setia menemani Kala di ruang rawat. Garwita berbaring di sofa sembari memandangi  Kala yang juga sedang berisitirahat. 

"Sudah jam empat, aku kasian kalau meninggalkan Mas Kala dalam keadaan begini. Mungkin baiknya nunggu dia sampai mendingan dulu kali ya? Toh, di sini juga belum ada seminggu," batin Garwita merasa cemas dengan kadaan Kala. 

"Permisi!" Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatian Garwita. Dia yang tadi sedang berbaring langsung beranjak membukakan pintu. Dikiranya seorang perawat yang datang.

Saat pintu terbuka, seorang gadis berambut sebahu berdiri dengan membawa parcel buah-buahan. Mereka berdua saling tatap dan sedikit kaget, tetapi sesaat kemudian gadis di depan Garwita tersenyum ramah. 

"Permisi, Mbak, ini ruang rawat Kala kan?" tanyanya memastikan. Garwita mengangguk lalu mempersilahkan dia untuk masuk. 

Kala yang tadi sedang tertidur langsung bangun mendengar suara seseorang berbicara. 

"Kalaaa, kamu baik-baik saja, Beb?"  Gsdis bernama Hana itu langsung mendekat dan memeluk Kala yang masih berbaring. Kala kaget, apalagi Garwita. Di kampungnya adegan peluk cium seperti itu masih belum lazim. 

"Hana? Kok, tahu kalau aku di sini?" tanya Kala, dia merasa tak mengabari siapa pun dengan sakitnya.

"Kamu mah gitu, tentu saja aku dapet kabar dari Gendon. Lagian, sakit gini kenapa enggak bilang? Aku khawatir banget tahu!" ucap Hana dengan nada manja. Dia langsung duduk di kursi dekat ranjang pasien. 

"Oh. Aku baik-baik saja, Han. Hanya cedera sedikit saja,"  ujar Kala. 

"Aku bawakkan buah. Makan dulu ya, biar cepet pulih!" Tanpa diminta Hana langsung mengupas buah jeruk. 

"Ayo, aaaaaa!" titah Gadis itu sambil mengacungkan jeruk yang sudah dikupas. Mau tak mau Kala membuka mulut. Merasa tak enak hati, Kala melirik Garwita yang masih berdiri canggung di dekat pintu. 

Biji mata Garwita melebar melihat adegan  itu. Entah mengapa dia jadi merasa tak nyaman berada di sini, seakan-akan mengganggu suasana romantis yang sedang berlangsung. Akhirnya dia pamit untuk ke kamar mandi. 

Setelah Garwita berlalu, Kala langsung menahan tangan Hana. "Aku bisa melakukan sendiri Han. Mmm, sebenarnya ku ingin istirahat. Bisa tidak kamu pergi dulu?" Kala ingin mengusir Hana secara halus. Tapi dia tahu gadis keras kepala itu pasti tak akan mau, jadi Kala langsung jujur dengan keinginannya. 

"Yah, aku kan baru sampe!" Hana memanyunkan bibirnya. 

"Besok kan masih bisa ke sini. Aku baru kecelakaan tadi, jadi butuh banyak istirahat. Please, mengerti ya?" pinta Kala memohon. Hana menatap kesal pada Kala, namun tetap menuruti keinginan lelaki yang dia taksir itu. 

Hana pergi, Kala sedikit lega. Pandangannya terus ke arah pintu, berharap Garwita segera datang. 

***

Garwita sengaja mengulur waktu setelah selesai dari toilet, dia tak ingin kembali ke ruang rawat dan melihat adegan dua sejoli tadi. Dia duduk sebentar di taman rumah sakit, dilihatnya bunga-bunga kertas yang mulai bermekaran. Garwati jadi rindu suasana kampungnya yang asri dan dipenuhi dengan tanaman hijau juga bunga-bunga yang tak berhenti bergantian menguncup lalu gugur.

Matahari semakin meredup, setelah dirasa cukup lama termenung Garwita memutuskan untuk kembali. Dia berjalan dengan pandangan mengamati apa saja yang dia lewati, ini pertama kalinya dia bisa masuk ke rumah sakit besar. Di kampungnya tak ada yang begini. Bau-bau  khas dari desinfektan menusuk indra penciuman Garwita, sejanak dia merasa rindu. Dulu, acap kali menemui Ray di puskesmas kampung dia begitu betah mengamati apa saja yang dilakukan suaminya. 

Garwita menghela napas, mencoba membumbungkan rasa sesak bersama udara yang keluar.  

Langkah Garwita terhuyung ketika tak sengaja menabrak kursi roda yang sedang di dorong bersamaan dengan seseorang yang mendudukinya. 

"Maaf-maaf, aku tak sengaja!" ucap Garwita kembali bangkit dan berdiri tegap. Dia menangkupkan tangan juga menunduk sebagai bentuk meminta maaf. 

Seseorang yang ditabraknya di kursi roda  hanya diam, sementara pengawal yang menjaga dan mendorong kursi rodanya merunduk. "Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanya lelaki berkepala botak. 

Tak ada respon, lelaki di kursi roda yang memakai sweter juga syal di leher dan kacamata hitam lengkap dengan kain yang menutup kepala masih terdiam. Dia kaget juga tak menyangka. Matanya memincing dari balik kacamata hitam. Bibirnya mulai bergetar menggumamkan sesuatu. 

"Sekali lagi, maaf aku tak sengaja!" ucap Garwita merundukkan badan lalu permisi untuk  pergi. 

"Ikuti dia!" titah lelaki di kursi roda. 

"Tapi, Tuan Ray ...."

"Sebentar saja!" 

Tak ada pilihan lain, lelaki botak itu mendorong kursi roda tuannya dan membuntuti Garwita yang masuk ke ruang rawat Kala. Beruntung bagi lelaki itu karena Garwita tak menutup pintu dengan rapat, dari celah sempit Ray bisa meilhat Garwita yang terduduk lalu dengan perhatian menyuapi seseorang yang terbaring di ranjang pasien. 

Ray mengerjapkan mata, berpikir ini hanya halusinasi. Namun, matanya masih bisa melihat dengan jelas kalau itu Garwita, wanita yang dia nikahi beberapa tahun lalu. 

"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status