Share

Bab 6

Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir.

"Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat.

"Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri.

Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu.

***

Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam.

Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak menebak, kenapa Ray bisa menghianatinya? Sepanjang bersama, Ray tak pernah berbuat jahat, bahkan dia orang yang selalu terlihat tulus dan begitu menyayangi Garwita.

"Wit, Wita!" panggil Kala ketika dia lihat wanita yang dicarinya berlari keluar dari rumah paling mewah yang ada di komplek itu.

Kala yang tadi berhenti dan duduk di jok motor langsung berlari mengejar Garwita yang sepertinya tak melihat keberadaanya. Cekatan Kala meraih tangan Garwita dan menahannya. Wanita itu terhenti lalu mendongak, dia palingkan wajah dari Kala karena tak ingin dilihat sedang menangis.

"Jangan terus berlari, jika lelah istirahat dulu, jika sakit ... ayo menepi, kita obati bersama!" kata Kala perhatian. Dia melihat Garwita dari ujung kepala sampai kaki, bukan hanya terlihat semrawut tapi sangat kacau. Apalagi luka di kaki yang semakin menganga.

Reflek Garwita memeluk Kala, dia tumpahkan tangisnya di dada Kala. Kala tak tahu apa yang terjadi, tapi dari tingkah dan tangis Garwita bisa menjelaskan semuanya kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Kala membiarkan Garwita menangis sampai tenang, yang dia lakukan hanya diam sembari menepuk-nepuk pelan pundak Garwita.

"Mas, sakiiit," lirih Garwita. Dia ingin mencurahkan semua rasa sedihnya pada lelaki yang selalu ada untuknya dan Garwita anggap seperti kakak sendiri.

Suaranya parau dan tersendat-sendat, semakin membuat Kala merasa sesak mendengarnya.

"Sebelah mana yang sakit?" Kala menahan pundak Garwita yang sudah lumayan tenang dan melepas pelukkannya.

"Di sini!" Garwita menunjuk ke arah dada, tapi pandangannya jatuh ke bawah. Melihat kaki-kaki yang luka karena bergesekan dengan aspal.

"Semua akan kembali membaik. Ayo kita obati bersama!" Bagi Kala ucapannya bukan hanya sekadar tentang mengobati kaki yang luka itu, tapi jauh harapannya juga bisa menyembuhkan hati Garwita yang sekarat karena menahan pedih.

Kala menuntun Garwita berjalan ke arah trotoar lalu duduk di bawah pohon trembesi yang ada di tepi jalan. Dia juga mengambil kotak P3K yang selalu ada di jok motornya.

Garwita duduk sambil menekuk kakiknya, sementara Kala duduk berhadapan dan membersihkan kaki Garwita dari debu jalan dengan air. Satu per satu kejadian yang Garwita alami semenjak keluar dari kontrakan Kala dia ceritakan. Mulai dari tasnya yang dijambret, sandal jepit yang putus, kaki yang terluka, sampai pada titik di mana Garwita datang ke rumah megah itu dan air matanya kembali mengalir, meski tanpa sesenggukan.

Sudut mata Kala ikut berair, andai tak dia tahan mungkin juga tetes bening sudah mengalir. Namun, dia tak ingin terlihat cengeng di depan Garwita, hanya saja perjalanan Garwita terdengar begitu menyakitkan baginya, hatinya ikut terluka dengan apa yang di alami oleh wanita yang dicintai. Kala terus mengobati luka-luka di kaki Garwita dengan diam. Tiba saat Garwita menceritakan tentang Ray yang mengkhianatinya. Bibir Kala gemetar, dia menarik tangannya dan mengepal sekuat tenaga menahan emosi yang ikut meluap.

"Cukup! Tak ada lagi yang perlu kamu harapkan dari lelaki itu. Sudahi menunggumu, sudahi rasa sakitmu, sudahi semua yang kamu gantungkan dan berakhir dengan jalan buntu," ucap Kala penuh penekanan.

"Lepaskan dia, Garwita. Sudahi semuanya, aku tak terima!" lanjutnya dengan mata memerah dan napas yang memburu. Tatapan Kala membuat Garwita membisu, dia tak menyangka jika Kala akan membelanya seperti itu.

Andai ada Ray di hadapan Kala sekarang, dia tak segan-segan untuk menghabisnya. Sayangnya, semua percuma ketika mereka tahu jika Ray berada di luar negri.

"Wit! Pulang!" Kala meraih pundak Garwita dan menariknya agar berdiri. Tak sempat Garwita mengucapkan apa pun lagi, dia tahu jika Kala ikut emosi pada apa yang di alaminya.

Garwita langsung naik ke jok belakang. Kala mengemudi dengan pelan sambil menenangkan dada yang sesaat tadi gemuruh tak karuan. Mereka berdua sama-sama diam dengan pikiran masing-masing, yang terdengar hanya suara kendaraan yang hilir mudik menyalip atau berpapasan.

***

"Ternyata emosi sangat menguras tenaga. Ayo kita makan dulu, aku yakin sejak tadi kamu tak sempat minum apalagi makan kan?" Kala berbelok ke tempat makan lesehan. Garwita belum menjawab, tapi Kala lebih dulu berhenti lalu mencopot sepatunya. "Pake ini!" Kala meletakan sepatu putih berukuran 42 itu di bawah kaki Garwita. Sementara dia jadi nyeker sekarang.

"Kamu nyeker dong, Mas? Udah pake kamu saja," tolak Garwita ingin turun dari motor tanpa memakainya. Kala menahan.

"Enggak mau pake? Ya udah, aku yang pake tapi kamu kugendong, mau?" tawar Kala memberi pilihan. Tentu saja Garwita langsung menggeleng, membuat Kala jalan tanpa sepatu saja sudah membuatnya sungkan apalagi jika harus di gendong di tempat umum.

Karena diancam, Garwita langsung menurut. Kala berjongkok lalu memakaikan sepatunya di kaki Garwita, sangat kedodoran karena ukuran sepatu Garwita biasa di angka 38.

Mereka menuju ke tempat paling ujung yang di sediakan di mana ada sebuah saung dari kayu dan anyaman bambu yang berdiri di atas kolam ikan. Suasana yang sejuk dan asri membuat rasa lelah sedikit pudar. Garwita langsung duduk lalu selonjoran, semenatara Kala memilih duduk di tepi saung dengan kaki mencelup ke air.

Banyak ikan-ikan kecil yang mengerubuti kaki Kala. Garwita tertarik melihat itu tapi tak ingin ikutan karena takut lukanya terasa perih. Sambil menunggu pesanan, Kala mengeluarkan ponselnya lalu memanggil Garwita agar mendekat.

"Sini, kita foto dulu!"

"Enggak ah, Mas, aku malu!" tolak Garwita.

Kala berdecak, karena si wanita tak kunjung mendekat akhirnya Kala mengalah menghampiri Garwita lalu mengambil gambar berdua dengan tiba-tiba. Posisi tak siap membuat ekspresi Garwita begitu alami dan lucu.

"Iiih jelek!" protes Garwita ketika melihat hasil fotonya. Kala terkekeh-kekeh melihat Garwita kembali manyun, tapi wajah sedihnya sesaat tadi mulai luntur.

"Makanya pose, dong!" titah Kala memberi aba-aba dengan hitungan satu sampe tiga.

Kali ini Garwita merasa puas, karena senyum di dalam foto itu terlihat manis dan tidak sekonyol tadi.

"Iya-iya deh, si paling cantik," balas Kala sewot ketika Garwita membanggakan fotonya. Garwita jadi tertawa dan mencubit pundak Kala karena merasa gemas.

Mereka berdua kembali ceria dengan pertengkaran yang justru membuatnya makin tertawa terpingkal.

Pesanan siap, dua porsi ikan bakar beserta dengan nasi liwet dan lalapanya terhidang di meja. Untuk sambelnya ada tiga macam, sambal terasi, sambal kecap, dan sambal tomat, semua tampak menggiurkan.

Garwita menelan ludah, baru kali ini dia bisa makan ikan bakar dengan ukuran lumayan besar sendirian. Dia jadi teringat Gandra.

"Kalau ada Gandra pasti sangat senang. Dia jarang sekali makan seperti ini," gumam Gawita menatap makanannya.

"Aku janji kalau pulang nanti akan ajak kalian makan enak. Apa saja yang Gandra minta," balas Kala lalu menyuruh Garwita untuk makan dulu.

Garwita tersenyum haru mendengarnya. Matanya berbinar-binar menatap lelaki yang sekarang ada di hadapannya dan sedang fokus dengan makanan.

"Hati-hati, ada banyak durinya!" Kala mengambil alih piring berisi ikan milik Garwita lalu menyuir-nyuir daging, memisahkannya dari duri, lalu meletakkan di atas nasi milik Garwita. Perhatian Kala saat ini terekam jelas di benak Garwita, membuat senyum wanita itu terlukis lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status