Aku beranjak Pergi ke kamarku untuk ganti baju dan mandi, sementara suamiku keluar dari rumah demi meredakan kemarahannya.
Sampai malam bergulir aku terus terpikirkan tentang ucapan burung itu. Apakah dia hanya berkicau untuk main-main saja dan meniru apa yang orang sekitar ucapkan?Kalau ditimbang dari posisi rumahku, rumah kami berlantai dua yang dekat dengan tetangga, tapi karena dibatasi oleh tembok yang tinggi jadi suara-suara dari sekitar tidak masuk ke rumah kami. Meski berada di komplek, tapi tempat ini cukup tenang, di rumah juga jarang sekali ada tamu. Yang paling sering bicara hanya aku dan Mas Fahri, juga Fanni asisten kami.**Setelah salat isya aku turun ke dapur untuk membuat makan malam, kebetulan di dapur pembantuku sedang menyuapi putra kami makan buah. Gadis cantik dengan hidung mancung dan mata lebar serta berhijab itu, nampak terintimidasi dengan kedatanganku. Dia nampak cemas dan sedikit takut.Aku tidak mengatakan apa-apa saat mengeluarkan ayam dan bumbu-bumbu dari kulkas. Sementara Ia segera mungkin menyuapi anakku lalu mengajaknya untuk pindah ke kamarnya."Fani, tunggu!""A-ada apa Bu?""Jawablah aku dengan jujur, apakah kau pernah mengajak seseorang datang ke rumah ini dan menghabiskan waktu?""Tidak Bu." Gadis muda itu menjawab pelan, bola matanya berkaca-kaca tapi ia menahannya. Apakah dia bersandiwara polos di hadapanku ataukah aku memang terlampau mudah curiga kepada seseorang? Aku tak tahu."Apakah suamiku pernah menggodamu!"Wanita itu terkejut dan langsung mendongak mulutnya terbuka, dia menganga terperangah."Apa suamiku merayumu di saat aku tidak di rumah?" Gadis itu menggeleng cepat sambil meneteskan air mata tubuhnya nampak gemetar dan itu terlihat sekali di bahunya. Sepertinya dia benar-benar takut."Tidak Bu?""Lalu ucapan siapa yang ditiru burungmu itu?""Saya tidak mengerti, saya cemas Ibu Jadi curiga karena yang paling sering ada di rumah hanya saya. Saya takut kehilangan pekerjaan. Bagaimana saya akan mengirimkan uang untuk emak di desa, dia sudah tua." Gadis itu menangis tersedu sambil mengusap matanya dengan ujung jilbabnya. Anakku yang ada di gendongan yang nampak bingung memperhatikan pengasuh kesayangan yang menangis."Kalau ibu mencurigai saya mencuri, mungkin saya lebih bisa menerimanya dibandingkan saya dituduh berselingkuh dengan Bapak, itu jelas fitnah yang mengerikan, Bu.""Kalau begitu jujurlah padaku....""Sebenarnya tempo hari ... sepupu saya berkunjung, dia datang dari desa dan hendak mencari pekerjaan ke kota, jadi dia mampir. Saya berusaha cepat-cepat menyuruhnya pergi, tapi dia malah bersantai dan main dengan burung itu, lalu dia berceloteh mengajak saya sesekali keluar jalan-jalan dan main. Mungkin itulah yang membuat burung itu menirukan perkataannya.""Tapi kenapa harus ada kalimat kalian bermain di saat Ibu tidak ada?""Maafkan saya Bu.... saya lupa untuk bercerita kalau saudara saya datang. Saya takut karena Ibu terlihat begitu lelah jadi Minggu lalu saya tidak bercerita. Sepupu saya bilang mumpung tidak ada majikan, ayo kita main saja.""Oh ya?" Aku berusaha mencerna perkataannya sambil menatap dan memperhatikan wajahnya. Dia menangis sambil mengelak semua tuduhan itu, bahunya berguncang, nada suaranya gemetar oleh kecemasan bahwa aku akan memecatnya."Saudara saya bilang begini: kalau Ibu lagi nggak ada di rumah kita main yuk' maksudnya, dia hendak mengajak saya jalan dan makan-makan. Tapi saya menolak karena saya harus menjaga Erwin dan tidak berani keluar rumah tanpa izin majikan," jawabnya dengan mata basahAku segera meraih tisu dan menyodorkan kepadanya."Maafkan aku karena aku tidak tahu cerita yang sebenarnya. Tolong hapus air matamu.""Iya, Bu, sekali lagi maafkan saya ya Bu. Saya tidak teliti dan bekerja dengan baik.""Tidak, jangan salahkan dirimu.""Gara-gara saya juga, Bapak dan ibu harus bertengkar.""Aku akan segera minta maaf dan berdamai dengan suamiku, terima kasih karena kau sudah jujur.""Tolong percayalah kepada saya Bu... Dua tahun saya ikut ibu, saya tidak pernah berani berbuat macam-macam. Tolong jangan pecat saya....""Iya, saya mengerti, pergilah ke kamar anakku dan menonton TV lah dengannya, aku akan masak makan malam.""Baik Bu, terima kasih," jawab gadis itu sambil mengusap air mata lalu beranjak ke lantai dua.Aku melanjutkan pekerjaanku sambil menepuk keningku sendiri dan tertawa konyol karena sudah begitu percaya dengan perkataan burung."Astaghfirullah Ya Tuhan, ternyata diriku yang mudah curiga dan berasumsi. Mungkin karena aku terlalu lelah jadi aku langsung sensitif dan terpengaruh oleh perkataan burung beo. Ya Tuhan, aku sudah bertengkar dengan suamiku sepanjang hari gara-gara hewan itu. Aku yakin Mas Fahri sangat pusing dan bad mood. Aku harus menelponnya dan minta maaf," gumamku.Usai menyiapkan ayam dan cuci tangan aku segera meraih ponsel, kugeser layar iPhone dan mencari kontak suamiku lalu kuhubungi dirinya."Halo.""Di mana kamu Mas?""Di tempat ibu," jawab lelaki itu dengan tarikan napas berat."Pulanglah karena aku sudah menyiapkan makan malam, aku juga harus minta maaf padamu karena sudah salah paham.""Jadi, kau sudah mereda dan mengerti sekarang?""Iya, aku paham. Aku minta maaf, Mas.""Baiklah, aku memaafkanmu, Tapi tolong jangan ulangi lagi hal itu, karena itu menyakitiku. Aku mencintaimu dan bersumpah akan hidup serta mencari nafkah demi istri dan anak-anakku, jangan curigai aku dengan tuduhan yang rendah.""Iya, Mas, maafkan aku.""Baiklah, sayang, aku akan pulang."Ah, syukurlah, akhirnya masalah mencurigakan sudah menemukan jawaban. Aku lega dan tersenyum bahagiaTapi ... baru saja akan kuletakkan ponsel saat tiba-tiba burung itu kembali berkicau lagi."Aku melihatmu, aku melihatmu ... kau buka baju, buka baju...."Astaga! Mataku terbelalak. Siapa yang dilihat buka baju? Sontak emosi yang tadinya mereda di kepalaku tiba-tiba naik dan menyengat setiap saraf dan ubun-ubun ini.Ingin sekali aku bertanya kepada hewan itu apa saja yang sudah dia saksikan di rumah ini. Siapa yang harus aku yakini perkataannya pembantuku yang baru saja menangis, suamiku yang bersumpah akan mencintai keluarganya dan setia, ataukah hewan peliharaan yang terus saja berkicau dan mengucapkan kalimat-kalimat yang mencurigakan.Sekali lagi Aku berusaha berpikir dengan logika. Meski burung itu terus berkicau dengan ucapan cabul,aku harus mengendalikan diriku dan bersabar.Lantas aku pergi ke dapur untuk membuka kabinet dan mencari kuaci makanan burung. Ku bawa benda itu dan kubuka pintu kandangnya lalu kumasukkan kuaci ke dalamnya."Makasih ibu, makasih ibu." Burung itu melompat-lompat bersemangat melihatku meletakkan makan ke dalam wadah makanannya."Siapa yang kau lihat buka baju? Apa suamiku ada main dengan pembantu?" Tanpa sadar aku bertanya kepada hewan itu. Dengan nada berbisik Aku bertanya kepadanya. Mungkin karena dia tidak mengerti ditambah nampak kelaparan, hewan itu mengabaikanku dan mulai sibuk membuka kuaci dengan paruhnya."Siapa yang kau ajak bercinta? Siapa yang cantik?""Fani cantik, fani cantik." Burung itu hanya bereaksi pada pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya."Siapa yang merayu Fani saat Ibu tidak di rumah? Siapa yang ajak fani main?""Ibu jelek, Fani cantik."Ah, bicara sepert
Sebelum pergi ke kantor tidak lupa aku memeriksa dan menyalakan rekaman di ponsel yang kutinggalkan di dalam guci pajangan. Akan kuandalkan benda itu sebelum aku benar-benar memasang CCTV kecil. Aku butuh waktu dan kesempatan untuk meminta teknisi memasang benda itu di rumah. Mungkin akan ku manfaatkan waktu selagi mas Fahri ada di luar kantornya dan akan ku suruh pengasuh untuk mengajak putraku bermain ke taman."Apa yang kau lakukan di situ?"suamiku berdiri di belakangku sesaat setelah aku menutup pajangan itu. Hampir saja aku ketahuan olehnya."Oh, a-aku sedang melihat rambutku di kaca.""Kau sudah cantik," balasnya."Ayo kita berangkat Mas, kita bisa telat.""Oke, ayo," ujar suami, "pergi dulu ya Fanni, jangan lupa kunci pintu dan mandikan da Erwin tepat waktu.""Iya, Pak.""Sip, kami mengandalkanmu," jawab suamiku berkedip. Aku melihatnya saat wanita itu diam-diam mengulum senyum dan tersipu. Aku yakin ada sesuatu di antara mereka dan aku harus mengetahuinya, entah kenapa, sete
Usai mengganti pakaian aku berniat untuk turun ke dapur dan membuatkan makan untuk diriku sendiri. Biasanya Fani sudah menumis sayur dan menggoreng ayam, tapi kali ini aku ingin bikin sambal bawang dan makan dengan rebusan daun singkong yang kubeli tempo hari.Sebelum pergi ke dapur, aku sengaja mematikan AC dan pintu dorong yang difungsikan sebagai dinding sekaligus pintu, panel kaca yang terhubung antara taman samping dan ruang keluarga. Aku ingin membiarkan udara segar dan suara gemericik air kolam masuk ke rumah. Tapi, betapa terkejutnya aku beberapa detik setelah itu, saat ku sapu pandanganku ke kandang burung beo, aku menyaksikan hewan itu sudah terkapar dan jatuh ke dasar kandangnya.Aku berlari mendekat setengah panik karena itu adalah burung kesayangan suamiku."Jack!"Tidak ada respon di sana sampai aku akhirnya membuka pintu dan menyentuh hewan itu. Dia sudah kaku, semut mulai menggerogoti bagian mata dan wajahnya."Astaghfirullah..." Aku mengangkat burung itu lalu meng
Sepanjang malam, aku tidak bicara sama sekali dengan mas Fahri, kumasak sosis pesanannya lalu kutinggalkan dia ke lantai 2. Hatiku dongkol dan dipenuhi banyak pertanyaan mengapa dia sampai berbuat senekat Itu.Pada akhirnya, saat keadaan mendesak dia mengaku membunuh hewan tidak bersalah itu.Demi apa? Apa melenyapkannya akan membuat keadaan jadi aman dan aku tidak akan curiga. Justru dengan membunuh burung itu, aku semakin yakin bahwa dia memang punya rahasia terkelam di dalam rumah ini.Aku hendak mencari cara di dalam kepalaku agar bisa mengungkap segalanya dengan tegas, aku tidak mau jadi istri yang terus dibodohi dan hanya percaya pada dusta suamiku.Terakhir kali burung itu berkicau dan bersaksi kalau dia melihat seseorang buka baju. Siapa yang buka baju? Dan siapa yang lancang melakukan itu di dalam rumahku? Jika seseorang jelas dilihat oleh burung itu, artinya, mereka melakukannya di sekitar taman samping atau ruang keluarga.Siapa yang akan buka baju di sana dan kenapa?P
Tak berhenti sampai di sana karena aku juga terkejut mendapati ada sebuah tabung kecil yang berisi pil. Tidak ada keterangan apapun di sana.Kurasa pembantuku sehat-sehat saja, dia tidak sakit atau membutuhkan obat yang harus membuat dia meneguknya sepanjang waktu. "Apa mungkin pembantuku ini punya kerjaan sampingan selain jadi asisten rumah tangga, jangan jangan ini pil kontrasepsi." Aku mulai membayangkan sesuatu yang tidak tidak tentang pembantuku. Apakah dia berpacaran sejauh itu dengan kekasihnya, lalu menyimpan pil kontrasepsi di kamarnya demi mencegah kehamilan. Ataukah, dia juga melayani lelaki hidung belang di waktu liburannya demi tambahan uang agar dia bisa mengirimkan pada ibunya di kampung sana.Astaga, ya Allah, ada apa ini.Tiin....Suara klakson panjang mobil di depan rumah, sepertinya itu adalah suara mobil teknisi yang akan memasang CCTV. Demi tidak terlihat mencolok bahwa aku memeriksa kamarnya segera kuambil beberapa sampel pil itu lalu kukantongi kemudian mengem
"Erwin!" Aku mengguncang anakku dengan kepanikan yang luar biasa, aku nyaris menangis karena merasa bersalah terlalu sibuk bekerja dan mengurusi hal-hal lain sementara aku lupa memberinya kasih sayang dan perhatian yang cukup."Ada apa Bu? Adik Erwin sedang tidur dengan pulas, dia kelelahan karena ikut dengan saya ke supermarket dan ke rumah neneknya.""Kau yakin!" Aku ingin langsung menamparnya dan melampiaskan emosiku tapi aku tidak punya bukti kalau dia meletakkan obat tidur itu ke dalam botol susu anakku."Iya Bu, kalau sudah ngantuk sekali Erwin biasanya akan tertidur dengan pulas. Dengan santainya wanita itu datang ke pinggiran yang anakku kemudian menekan sedikit ujung telinganya dan membisikkannya kata-kata yang lembut."Dek, adek bangun dong!""Hmmm ...." Anakku menggeliat dan menggumam panjang, pelan pelan ia mengerjab dan buka mata, lalu menangis kesal karena aku membangunkan tidurnya."Maaf sayang, maaf." Aku meraihnya dari tangan Fani lalu memeluknya dengan penuh kasih.
Dari sekian banyak hari yang kulalui di dalam hidupku. Baru pagi ini aku merasa tidak bersemangat untuk pergi bekerja. Ada kekhawatiran dan firasat tak nyaman begitu aku naik ke mobil dan meninggalkan rumah. Seakan akan, ada kejadian yang mungkin tidak mengenakkan yang bisa saja terjadi saat aku tidak ada di rumah.Seperti biasa aku naik mobil dengan suamiku, dia yang sudah tampan dengan baju dinas berwarna coklat muda mengendarai mobil sambil mengikuti alunan lagu yang terputar di radio. Aku sendiri, sibuk dalam kegamangan perasaanku. Aku takut, terjadi sesuatu yang tidak ku inginkan pada putraku, aku takut, funny memberinya obat tidur dan membiarkan dia tertidur sepanjang hari agar tidak rewel. Aku cemas pengaruh obat tidur itu akan merusak otak anakku. Aku benar benar khawatir.Sudah ku pikirkan apa yang akan kulakukan Andai Gadis itu terbukti meletakkan obat tidur pada anakku, Mungkin aku akan langsung membawanya ke kantor polisi atau aku akan memukulnya sampai dia babak belur. Ak
"Apakah kau sungguh melakukan itu!" Tanya suamiku kepada Fani sekali lagi. Wanita itu menangis tersedu-sedu dan minta ampun."Maafkan saya Pak, saya pikir membuat dia tertidur dengan pulas akan memulihkan energi dan membuat dia semakin nyaman," ujarnya sambil mendongak dan menatap wajah suamiku dengan lekat.Biasanya seorang pembantu yang melakukan kesalahan besar tidak akan berani menatap wajah majikannya dengan tatapan seberani itu."Saya melakukannya tanpa niat buruk Pak. Itu memang obat saya jadi saya memberi seperempat dosisnya untuk membuat Erwin tertidur lebih pulas, karena selama ini dia mudah sekali terbangun dan rewel.""Meski dia memang rewel dan tidak pernah tidur dengan baik, kau tidak berhak memberikan anakku obat tanpa izin orang tuanya. Ini adalah sebuah kejahatan yang bisa diseret ke kantor polisi!" teriakku dengan emosi."Ampuni saya Bu, maafkan saya Pak, Saya sungguh menyayangi Davin dan Erwin sepenuh hati saya. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk mereka dan me