Share

2. curiga

"Apa, apa kau dengar itu, Mas?" tanyaku pelan, sampai di sini aku masih tetap berusaha tenang dan berusaha berpikir dengan nalar.

"Eh, itu pasti salah dengar dari tv," ujar suamiku yang semakin gugup, dia nampak gelisah dan wajahnya kebingungan.

Burung itu semakin berkicau dan setiap kali dia berkicau itu semakin menjelaskan segalanya. Semakin berkicau semakin berang suamiku, tapi seharusnya dia tidak perlu bereaksi seekstrem itu. Pada siapa dia akan marah? apa dia akan balas dendam pada burung itu karena sudah membuatku curiga.

Apa setelah ini dia akan berniat menyembelih dan memanggangnya? Tidak!

Kalau apa yang dikatakan burung itu adalah kebenaran, maka aku harus melindunginya agar dia bisa membongkar perbuatan siapapun yang ada di rumah ini, meski sebenarnya aku sendiri ragu apakah burung itu benar-benar mengerti apa yang dia ucapkan atau tidak.

"Kau tahu kan... dia cuman hewan yang tidak punya akal, dia hanya mengucapkan apa yang dia dengarkan."

"Kalau begitu, dari siapa kira-kira dia meniru perkataan itu. Apakah wajar, seekor burung beo kecil bermaksud ingin mencium wanita 20 tahun, ini sudah di luar nalar Mas."

Mau tidak mau aku berdebat dengan lelaki itu karena reaksinya demikian santai sementara aku mau mati oleh rasa penasaran.

"Fani cantik, Fani cantik, ibu jelek, ibu jelek, ayo main Fani, Mas Kangen...."

"Hah, Siapa yang kangen dengannya dan berani menyebut diriku jelek!" Aku membatin dalam hatiku sendiri.

Lagi pula berani sekali seekor burung membully diriku.

Burung itu melompat-lompat sambil mengepakkan sayapnya dan berulang kali mengatakan kalimat yang membuat Fahri langsung menendang kandangnya.

"Dasar burung sialan!"

Burung itu terpental dari posisinya untungnya dia yang lincah bisa melindungi dirinya sendiri dari kandangnya yang nyaris terjatuh.

"Hei, apa yang kau lakukan Mas? Apa pantas perbuatan itu kau lakukan pada hewan."

Jujur saja, tindakan Mas Fahri membuatku terkejut. Apa pantas seseorang menggila dan kami berkonflik hanya karena kicauan hewan peliharaan itu.

"Gara-gara dia dan kicauannya, akan terjadi badai besar dalam rumah tangga kita dan itu juga memfitnah pembantu kita. Coba lihat dia....," Ujar Mas Fahri sambil menunjuk pembantuku yang menundukkan kepala.

"... apa mungkin asisten yang kau percayai selama bertahun-tahun akan berbuat semacam itu?"

"Entahlah," jawabku sambil mengangkat bahu.

"... Lalu dari siapa dia meniru? "Mas' yang mana yang dimaksud oleh burung itu. Siapa lagi yang akan datang ke rumah ini lalu ujug-ujug merayu pembantu, jangan bilang kalau aku sedang tidak di rumah jadi dia berkesempatan untuk bercinta dengan Fani."

"Aku tidak tahun!" Jawab suamiku sambil meremas kepalanya sendiri lelaki itu nampak frustasi dengan pertanyaan dan kecurigaanku.

"Haruskah aku mencurigai asisten kita kalau dia mengundang kekasihnya datang ke rumah ini di saat aku dan kamu tidak di rumah!"

"Tidak Bu, saya tidak pernah beg...."

Ucapan Fanny langsung terhenti Karena Mas Fahri menatapnya dengan tajam. Entah Apa maksud tatapan tajam itu. Apakah dia sengaja mencegah Fani untuk buka mulut karena itu akan membahayakan.

Analisanya seperti ini... Jika Fanny mengaku bahwa dia tidak pernah mengundang kekasihnya ke rumah ini maka itu sudah menjelaskan bahwa satu-satunya pelaku adalah, suamiku! Tapi dilemanya, jika wanita itu berbohong padaku, maka dia akan mendapatkan konsekuensi pemecatan serta fitnah.

"Aku hanya butuh kejujuran sekarang...."

"Kejujuran macam apa yang kau tuntut dariku? hanya karena burung itu berceloteh jadi kau lebih mempercayai dia dibandingkan dengan suamimu dan ayah anak-anakmu. Burung itu akan kuracun dan mati, tapi hubungan kita akan layu bersama kematiannya, apa kau puas!" Suamiku berteriak sambil membanting semua asbak.

Prang!

Benda itu pecah ke lantai berkeping-keping dan membuat putraku yang digendong Fani terkasih. Erwin menangis panik, sementara Fani berusaha menenangkannya dengan mengajaknya ke kolam ikan.

"Fani, aku sayang kamu, kamu cantik, bokongmu seksi, aku suka!" Burung itu mengucapnya berulang-ulang kali sampai melompat-lompat sementara wajah Fani sudah memerah menahan kekesalan sekaligus rasa malu.

"Astaghfirullah."

Aku bisa kehilangan akal mendengar burung peliharaan suamiku. Mungkin, beberapa saat yang lalu dia sudah berkicau tapi aku tidak pernah memperhatikannya, kecuali hari ini. Aku tercengang melihat sejauh apa yang sudah direkam oleh burung beo itu.

"Siapa yang bicara seperti itu!" Refleks dan tanpa sadar aku bertanya kepada burung itu.

"Jack, Siapa yang ajari kamu berkata seperti itu!" ulangku.

Burung itu dinamai oleh Davin anakku dengan nama Jack jadi kami sekeluarga memanggilnya dengan sebutan Jack.

"Apa kau sudah kehilangan akal sampai menanyai burung seperti itu!" Suamiku makin emosi dan mencengkeram kedua telapak tangan yang sambil berusaha meredakan diriku.

"Kalau begitu aku akan bertanya kepada Fani!"

"Saya tidak tahu apa-apa Bu ... sepanjang hari saya hanya mengurus rumah dan anak anak, Saya tidak mengerti kenapa burung itu bilang begitu." Fani segera membela diri.

Sepertinya dua sejoli itu benar-benar kompak ingin mempermainkan akalku, sudah jelas-jelas hewan kecil itu mengatakan apa yang dia dengarkan, jadi mana mungkin seekor burung bisa membuat kosakata sendiri dan mengada-ngada.

Ya Tuhan, aku yang gila atau burungnya yang terlalu pintar. Mana yang harus aku percaya, pembantuku? suamiku? atau burungku.

Astaga, kenapa kami semua terlibat konflik hanya karena burung.

Ah, Tuhan, mungkin aku terlalu lelah seharian ini sehingga pikiranku jadi begitu sensitif. Aku juga kelaparan dan gerah kemacetan di Jalan Raya membuat moodku semakin hancur. Ditambah kicauan burung yang membuatku emosi, rasanya aku ingin berteriak saja.

"Fani, pindahkan burung itu ke lantai atas biarkan dia ada di balkon atap, keberadaannya d sini meresahkan semua orang."

"Tidak, burung itu tidak akan kemana-mana! Tidak bisa!" tegasku dengan tetapan tajam kepada suamiku.

"Kalau kau nekat memindahkannya sama artinya dengan kau mengakui apa yang dikatakan burung itu."

"Apa? Aku tidak paham dengan perkataanmu Apa kau mulai menarik kesimpulan hanya karena perkataan hewan kecil?"

"Asumsiku hanya satu... tapi aku tidak ingin menyebutnya di bibirku karena itu adalah sesuatu yang sangat kubenci di dunia ini. Ingat Mas...."

"Ingat apa? Aku Apakah aku memelihara burung itu untuk menghancurkan kehidupanku sendiri. Aku yakin Fanny telah mengundang pacarnya datang kemari," ujar Mas Fahri menuduh, nampaknya, kegugupan dan bagaimana ia terbata-bata saat bicara membuatku makin yakin bahwa yang bersalah adalah dirinya.

Kenapa sekarang ia memanggil asisten rumah tangga kami dan memaksanya untuk mengaku kalau wanita muda itu membawa kekasihnya dan bercinta di hadapan burung.

Apa itu masuk akal? Kedengarannya memang pantas dipercaya, tapi instingku menyebutkan bahwa ada rahasia besar di balik Ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status