공유

6. burung mati

Usai mengganti pakaian aku berniat untuk turun ke dapur dan membuatkan makan untuk diriku sendiri. Biasanya Fani sudah menumis sayur dan menggoreng ayam, tapi kali ini aku ingin bikin sambal bawang dan makan dengan rebusan daun singkong yang kubeli tempo hari.

Sebelum pergi ke dapur, aku sengaja mematikan AC dan pintu dorong yang difungsikan sebagai dinding sekaligus pintu, panel kaca yang terhubung antara taman samping dan ruang keluarga. Aku ingin membiarkan udara segar dan suara gemericik air kolam masuk ke rumah.

Tapi, betapa terkejutnya aku beberapa detik setelah itu, saat ku sapu pandanganku ke kandang burung beo, aku menyaksikan hewan itu sudah terkapar dan jatuh ke dasar kandangnya.

Aku berlari mendekat setengah panik karena itu adalah burung kesayangan suamiku.

"Jack!"

Tidak ada respon di sana sampai aku akhirnya membuka pintu dan menyentuh hewan itu. Dia sudah kaku, semut mulai menggerogoti bagian mata dan wajahnya.

"Astaghfirullah..." Aku mengangkat burung itu lalu mengeluarkannya kemudian meletakkannya di sisi kolam.

Aku segera menelpon suamiku untuk mengabarkan apa yang terjadi pada burung beo pintar kami.

"Mas, tiba-tiba burungnya mati?"

"Oh ya? Kok bisa?"

"Aku ga tahu Mas, tiba-tiba dia sudah mati di dalam kandangnya."

"Oh baiklah, ini aku sudah mau pulang."

"Iya baiklah, segeralah pulang."

Aku heran bukan main kenapa tiba-tiba burung itu mati begitu saja. Setelah berkicau riang gembira dengan berbagai celotehan, tiba-tiba hewan itu mati tanpa sebab. Apa ada yang sengaja membunuh atau meracuninya. Jika seseorang hendak menyakitinya hewan itu pasti akan melawan dan mematuknya, aku rasa, ini semakin tidak beres saja.

*

Sekitar 10 menit kemudian suamiku sampai di rumah, aku tidak jadi membuat sambal bawang dan makan seperti seleraku tadi. Aku terdiam di sofa ruang keluarga sambil menatap kandang burung yang sudah hampa.

Apa yang sebenarnya terjadi, Apakah burung itu sengaja dibunuh agar tidak lagi berkicau dan menimbulkan salah paham, kenapa harus dibunuh. Aku yakin bukan suamiku saja yang akan merasa sedih, tapi, Davin putra pertama kami yang sangat menyayangi hewan itu.

Aku bisa bayangkan betapa sedihnya anakku pulang dari mengaji nanti, ketika tahu kalau burung beonya itu sudah mati.

"Mana burungnya?" tanya suamiku.

"Itu." Pria itu mendekat dan hanya berdiri tanpa menyentuhnya sedikitpun. Biasanya suamiku tidak pernah melewatkan waktu untuk menyentuhnya.

"Oh, ya sudah, biar saja," jawabnya sambil mengangkat bahu. Responnya yang datar seperti itu membuatku curiga kalau dialah yang sudah membunuh burung itu.

"Apa kau membunuhnya?"

"Apa Aku membelinya seharga 5 juta dan memeliharanya di kandang mahal, harga pakannya pun maha, hanya untuk kubunuh?"

"Dengan alasan bahwa gara-gara dia aku dan kamu bertengkar."

"Tetap saja itu bukan alasan yang cukup untuk membunuh burung."

"Kenapa tiba tiba mati."

"Yang namanya makhluk hidup pasti mati, sudahlah, aku akan menguburkan bangkainya," ujarnya sambil berlalu dengan santai. Aku terkejut, dia tak sedih sama sekali.

"Hei, jangan terus tercenung dan overthinking gara-gara burung, masaklah sesuatu untukku makan."

"Ada makanan di meja Mas."

"Aku ingin goreng sosis dengan saus pedas," ujarnya.

"Baiklah akan kubuat," balasku sambil bangkit.

Aku beranjak ke dapur lalu mencuci tanganku dengan sabun kemudian mengambil sosis dari dalam lemari es dan hendak memotong-motongnya. Saat akan kubuang kulit sosis itu ke dalam tong sampah, aku terkejut karena mendapati sebuah plastik kecil yang mencurigakan. Diperhatikan lebih rinci, ternyata itu adalah pestisida pembunuh hama.

Hah!

Fix, burung itu benar-benar diracun oleh seseorang. Aku jadi makin curiga kepada salah seorang di antara Fanny dan Mas Fahri. Kenapa mereka tega melakukan itu dan haruskah sekejam itu untuk menyembunyikan sebuah Rahasia. Apakah ini perbuatan fani untuk menyembunyikan kesalahan bahwa dia pernah mengajak seseorang dan melakukan hal yang tidak tidak di dalam rumahku. Ataukah suamiku memang ada main seperti apa yang dikatakan burung beo itu.

Ah ya Tuhan, saksi kunci sudah mati dan tersingkir, aku harus melakukan sesuatu untuk mengetahui segalanya.

Aku melanjutkan masakanku sambil menunggu Mas Fahri turun kembali, tak lama kemudian Fani dan RW yang terlihat turun mereka nampak sudah segar dan ganti baju. Erwin sudah dimandikan setelah ashar.

"Fani kemarilah!"

"Iya, Bu."

"Apa kau tahu kalau burungnya sudah mati?"

"Tidak Bu!" Gadis itu nampak menggeleng cepat dan terkejut. "Kapan matinya?"

"Tadi saat ku buka pintu kaca dan kudapati dia sudah mati."

"Saya sungguh tidak tahu!"

"Apa kau lihat plastik pestisida yang ada di dalam tong sampah itu," tanyaku sambil melirik tong sampah.

"Saya tidak tahu menahu Bu, saya berani bersumpah." Gadis itu mulai nampak ketakutan dan khawatir sekali. Gestur tubuhnya gemetar.

"Saya tidak tahu apa-apa Bu saya hanya membersihkan rumah dan memasak lalu mengajak Erwin naik ke lantai 2 dan bermain sepanjang hari."

"Baiklah kalau begitu," balasku dengan wajah yang tidak lagi sesabar dulu kepada pembantuku. Dia nampak ketakutan denganku.

"Ada apa ribut ribut?" tanya Mas Fahri.

"Apa kau sengaja membunuh burung itu?" tanyaku dengan tatapan tajam, "dengan membunuhnya kau seakan mengungkap kesalahanmu sendiri."

"Apa maksudmu? Baru saja ku katakan kalau aku tidak tahu apa-apa bukannya kau lihat aku sepanjang hari ada di kantor?"

"Bukannya kau tadi pulang ke rumah? Jam sepuluh tadi kau pulang!" Balasku dengan tidak kalah sengitnya. Lelaki itu terkejut tapi ia segera merangkum nafas untuk membuat alasan lagi.

"Ya aku lupa berkah, terus kenapa?"

"Siapa yang membeli pestisida dari toko pertanian, lalu mengosongkan isinya dan membuangnya ke tong sampah dapur?!" Aku menatapnya dengan tajam, "Kenapa kau membunuh hewan itu dengan kejam."

"A-ku tidak mem ...."

"Cukup Mas, Jangan terus-terus berbohong karena aku sudah muak, katakan saja."

"Ya baiklah, aku membunuhnya karena percuma saja memelihara hewan yang akhirnya mendatangkan mudarat dalam hubungan kita."

"Berarti kau memang menyembunyikan sesuatu!"

"Tidak, aku memilih melenyapkannya demi menghilangkan musibah dalam keluarga kita."

"Oh ya? Kenapa tidak dilepas saja atau berikan pada orang lain."

"Aku tidak mau!" Balas suamiku dengan kesal.

Astaga, aku makin tak mengerti, sepertinya dia memang melakukan itu untuk menutupi semua kesalahannya.

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status