Share

Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami
Ketika Keponakan Suamiku yang Sok Kaya Tinggal Di Rumah Kami
Author: Noeroel Arifin

Bab 1. Kabar Kematian Bang Hendro

Suara ring tone kedua kali dari hpku, aku pun menerima dengan tergesanya. Tertera sebaris nomer tidak di kenal menghubungi nomerku.

"Assalamu'alaikum...."

"W*'alaikumsalam...." jawabku, lalu terdengar suara tangis, yang tergugu dari seberang sana. Sejenak terjeda, lalu si penelepon terdengar berbicara.

"Bang Hendro meninggal barusan Dek, ini kami nunggu kamu dan suamimu datang," lalu terdengar tangis lagi. Namun, aku seperti dibuat-buat, bukan layaknya orang yang meratapi sebuah kematian.

"Innalillahi wainna illaihi rojiun, bagaimana bisa begitu, Mbak? Berada di mana kamu sekarang?" bertanya-tanya dengan bertanya-tanya.

"Aku sudah pulang ke desaku, Bang Hendro pesan untuk di makamkan di sini."

"Kapan Bang Hendro yang meninggal?"

"Baru saja, terus aku menghubungimu."

"Katamu kemarin sedang di rawat di rumah sakit? Kenapa tiba-tiba sudah kamu bawa pulang?" bertanya mencecar Bariyah, istri Bang Hendro kakak suamiku.

"A-anu, tadi aku bawa pulang pakai ambulan. Karena kata dokter, sakit Bang Hendro sudah tidak bisa disembuhkan."

Aku menangkap sebuah makna dari ucapan istri Bang Hendro, sebab baru sebulan yang lalu aku mengeluarkan dari rumah sakit. Dan seminggu yang lalu Bang Hendro meneleponku, meminta masuk lagi karena livernya kambuh.

Tapi di tengah-tengah aku mengurusi untuk berobat lagi, tiba-tiba istrinya menolak dengan alasan Bang Hendro tidak mau. Aku sempat memberi ancaman kepadanya, jika sewaktu-waktu terjadi apa-apa, maka aku akan mengejarnya sampai ke ujung langit.

Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku, karena aku tahu betul watak iparku yang satu itu. Dia sangat mendewakan hartanya, sampai tentang kesehatan Bang Hendro suaminya.

"Kasih alamat desamu. Awas! Jangan sampai aku menemukan kejanggalan, atas kematian Bang Hendro!" gertakku.

"Kamu tentu masih ingat kata-kataku! Suamimu bukan dari keluarga miskin, kami keluarganya masih sanggup untuk membawanya berobat. Tapi, kamu selalu menahan niat baik kami. Kalau sudah begini bagaimana, hah?" permintaan dengan yang membuncah.

"Tapi, Bang Hendro sendiri yang tidak mau di bawa berobat Dek, aku...."

"Halah! Itu hanya akal-akalanmu saja! Kamu takut keluar uang 'kan?" kataku dengan tajam.

"Aku kirim alamat desaku ya, assalamu'alaikum," katanya dengan menutup sepihak teleponku.

Suamiku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan kami, terlihat sedih dan marah. Semenit kemudian sebuah notifikasi alamat masuk di W* ku. Tertulis sebaris alamat yang baru aku tahu hari ini. Alamat orang tua kakak iparku Bariyah yang di desa. 

Akupun menghubungi adek-adek suamiku yang berada di luar pulau. Mereka semua merantau disertai dengan keluarganya masing-masing. Hanya setahun sekali saling melepas rindu, dan semuanya berkumpul di rumahku. 

Setelah memberi kabar kepada mereka, aku bersiap bersiap bersama suamiku. Anak-anak aku tinggal semua di rumah. Aku hanya mengajak kakak iparku yang masih tinggal satu kota denganku. Karena perjalanan yang memakan waktu hampir tiga jam, sekitar mau dhuhur kami baru tiba di sana.

Semua mata tertuju ke arah kami, ketika tiba di rumah duka. Jenazah sendiri sudah dimandikan dan dikafani. Suamiku beserta kakak tertuanya segera melakukan sholat jenazah. Aku sendiri bersama ipar perempuanku yang turut duduk mengambil kursi di bagian samping surau tempat jenazah di semayamkan.

Di desa ini sudah menjadi tradisi, di setiap bagian rumah yang mereka, terdapat satu surau kecil yang mereka miliki.

Bariyah terlihat menghampiri kami dengan wajah yang masih sembab. Seorang perempuan setengah baya ikut menemaninya. Tanpa kuminta dia sudah bercerita.

"Dari tadi kakak iparmu ini menangis terus sampai pingsan. Kami sampai bingung harus bagaimana, Pak Kyaipun sudah kami datangi untuk meminta air agar sedikit tenang," terangnya tanpa meminta penjelasan.

Suamiku terlihat sudah duduk di antara para pelayat lelaki, sedang Bang Harun melihatku. Dia kakak suamiku tertua yang tinggal dekat denganku. Masih satu kota hanya beda kelurahan saja denganku.

"Kamu dari tadi nangis, ya?" tanyanya pada Bariyah istri dari Bang Hendro. Bang Hendro adalah anak nomer dua, suamiku sendiri nomer empat. Mereka semua tujuh bersaudara.

"Iya, bahkan sampai pingsan," jawab orang yang berada di Mbak Bariyah.

Suara tertawa dari Bang Harun terdengar jelas di rungu kami.

"Tak lama pun, kamu pasti kawin lagi," katanya kepada Mbak Bariyah.

Sementara orang yang dikatainya melengos, mendengar ucapan Bang Harun. Aku sendiri turut tersenyum masam are.

Ada sebagian mitos yang aku dengar, jika perempuan ditinggal mati suaminya sampai nangis gulung-gulung. Insya Allah tak lama pun, wanita tersebut akan cepat nikah lagi. Entah benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu.

Sedang perempuan yang turut menemani Mbak Bariyah, seolah tidak menerima ucapan Bang Harun. Tapi, Bang Harun tidak terpengaruh dengan sikap orang tersebut.

"Lihat saja nanti ucapanku, tanah kuburan suamimu belum kering. Aku jamin, kamu sudah nikah lagi." tekan Bang Harun lagi, kepada mantan ipar yang tersedia.

Seolah-olah ucapan tersebut keluar dari mulut seorang paranormal yang menerawang masa depan seseorang.

Aku sendiri hendak menyoraki perbuatan Bang Harun, hanya saja tidak terasa rasanya bergelut di desa orang. Tapi kematian Bang hendro yang tiba-tiba, seolah-olah kami tidak terima atas semua ini.

Bahkan kini bibi yang baru kutahu ikut menemani Mbak Bariyah ikut memberitahu kami. Kalau rumah besar yang tinggal di kucing di seberang kiri kami adalah peninggalan dari Bang Hendro. Dia juga bercerita kalau Mbak Bariyah juga sudah habis uang banyak untuk membawa Bang Hendro pergi berobat. Sayangnya, aku sama sekali tidak percaya hal ke-dua yang perempuan tua itu katakan.

"Bang Hendro ada sangkutan utangkah, Mbak?" bertanya, membuka percakapan. Karena saya tidak ingin, terbebani hutang.

"Cicilan motor masih kurang lima, terus bulan depan aku dapat arisan 50 juta. Rencananya mau buat beli pagar dan cat rumah ini." 

"Sebetulnya aku masih ada uang di galangan 10jt, buat beli cat. Tapi, Bang Hendro keburu meninggal." Terangnya.

"Jika kamu ada simpanan, kenapa sampai suamimu tidak kamu berobatkan? Malah di bawa pulang ke desa," degusku kesal.

"Bang Hendro sendiri yang tidak mau di rawat di rumah sakit, takut habis banyak katanya," tutur Mbak Bariyah dengan tersendat.

"Berati Bang Hendro tidak meninggal di rumah sakitkan? Kamu sama sekali tidak membawanya berobat. Kamu hanya membawanya ke puskesmas seminggu lalu!" kataku dengan tajam.

"I-iya." Jawabnya dengan jaringan.

Sebelum aku tadi masuk ke sini, selentingan dari warga yang aku lalui mengatakan. Kalau Bang Hendro hanya di bawa puskesmas. Tidak di bawa ke rumah sakit sama sekali. Bahkan dari omongan warga itu juga, istrinya hanya memberikan obat warung. Supaya, Bang Hendro tidak mengeluh lagi dengan rasa sakitnya.

Omong kosong semua dengan penuturan dari saudara-saudara istrinya, yang mengatakan Bang Hendro berobat ke sana kemari. Jika tidak mengingat jenazah, sudah kumaki-maki lebih brutal lagi Mbak Bariyah. Sayangnya kesabaran ini masih mengiringi kesadaran diri, sehingga saya masih mengontrol semua ucapan yang saya keluarkan.

"Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.

*Jangan lupa komentar dan subcribe bintang limanya ya, buat penyemangat Author ngelanjutin cerita ini. Terima kasih

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status