Share

Bab 4. Yanti Atau Sari?

Segala keperluan sekolah baru Yanti, telah aku selesaikan. Semua biaya pun sudah kubayarkan tunai. Tinggal membeli perlengkapan saja. Tak jadi masalah buatku.

Pagi ini rencananya aku mau ketemuan lagi ama Ibu panti. Sekalian mengambil persyaratan keperluan sekolah baru Yanti yang masih tertinggal. Karena dipergunakan untuk ujian negara nantinya.

Lalu-lintas tak begitu padat siang ini. Ditemani sopirku, melaju ke rumah beliau. Sekedar buah tangan, kubeli pisang secengkeh dan jeruk mandarin buat oleh-oleh.

"Assalamu'alaikum ...." ucapku.

"W*'alaikumsalam Jeng, kita langsung saja ya. Lha ini apa kok pakai repot segala?" tanya beliau ketika kuulurkan bawaanku tadi.

"Buat teman nonton tivi, Bunda." 

"Ibu jadi merepotkan ini."

"Tidak kok, mari kita jalan," ajakku.

"Langsung ke sekolah dulu ya, Jeng."

Mobil pun melaju ke sekolah Yanti sebelumnya. Disambut Kepala Sekolah dan Wali kelasnya, kami berbasa basi sebentar.

"Padahal setahu saya, Yanti bilang tidak ada saudara lho Bu. Jadi saya sempat meminta dia tinggal bersama saya," kata Wali kelasnya.

"Semua memang kesalahan kami sekeluarga, karena kurangnya komunikasi," belaku.

"Yang penting, sekarang Yanti sudah berkumpul bersama keluarganya." Kepala Sekolah turut menimpali.

"Mari kami permisi dulu," pamit Ibu panti bersamaku.

"Jadi sudah beres semua ya Jeng urusan Yanti."

Aku hanya tersenyum lalu kembali melihat ke luar jendela mobil, melintasi arus lalu lintas yang mulai padat merayap.

"Oh ya Jeng, saya tidak meminta biaya yang saya keluarkan selama Yanti tinggal bersama saya. Tetapi, paling tidak saya diberikan kompensasi uang pangkal dulu yang saya keluarkan buat dia. Itu saja," pinta Ibu panti.

Aku mengernyitkan dahi. Bukankah dia bilang, semua pengeluaran panti berasal dari para donatur? Kenapa pula harus aku menggantinya? 

"Nanti akan saya bicarakan dengan suami saya, Bu," balasku kemudian karena beliau masih terlihat menatapku.

Kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke panti. Setelah menurunkan beliau, aku pun bergegas pamit.

~~~~~

Pagi ini Yanti sudah bersekolah di tempat yang baru. Berangkat naik ojek tetangga karena tak mungkin aku yang mengantarkan lagi. Untung saja sekolahnya searah dengan Firda anakku. Jadi, mereka berdua diantar bersama.

Tentu saja pengeluaran juga bertambah. Namun, aku tidak mempermasahkan hal itu. Sebab masih punya penghasilan sendiri dari hasil jualanku sendiri.

Suamiku baru saja datang dari gudang, dia membawa dua bungkus nasi pecel. Kami pun sarapan berdua. Setelah itu lanjut rutinitas ke toko.

[Bolehkah aku juga tinggal di rumah Tante?] Sari

Sebuah pesan masuk ke layar pintarku. Aku menarik napas panjang setelah membacanya. Bagaimana mungkin menolaknya, sementara dia juga yatim piatu. 

"Pesan dari siapa?" tanya suamiku.

"Dari Sari."

"Pesan apa emang? Kok kelihatan begitu mukanya?"

 Diambilnya hapeku, lalu dia ikut membaca pesan dari Sari.

"Kalau keberatan ya gak usah diterima. Aku terserah kamu saja." 

"Gak pa pa, biarin saja dia tinggal bersama kita. Insya Allah rejeki kita gak akan berkurang."

Kukirim balasan untuk Sari. Supaya nanti malam datang ke rumah. Aku juga berpesan padanya, agar pamit baik-baik pada orang tua yang diikutinya selama ini.

Malamnya Sari pun datang. Agar tidak timbul kesalah pahaman, maka kuminta dia pamit baik-baik sekali lagi dihadapan kami.

Setidaknya aku memastikan pada keluarga angkatnya, jika kami tidak pernah menyuruh Sari, apalagi sampai memaksa dia untuk tinggal bersama kami. Semua murni karena keinginan Sari.

"Assalamualaikum ...."

"W*'alaikumsalam ...." jawab kami bersamaan dari dalam rumah.

"Ma ... ada Pakdhe Harun datang," kata Firda.

"Lho ... Sari kok juga ada di sini?" sela Bang Harun begitu masuk.

"Ya, sekalian mau tinggal di sini juga," kata suamiku.

"Wah, banyak betul tanggunganmu Lif."

"Gak pa pa Bang, Insya Allah akan memperbanyak rejeki kami," kata suamiku.

"Untung Aira juga kerja, jadi ada yang membantumu setidaknya. Kalau aku, ya wassalam, Lif."

Kami semua tertawa bersamaan mendengar penuturan Bang Harun. Kakak suamiku itu, orangnya memang ceplas-ceplos saja kalau bicara. 

"Yang penting kalian juga harus ingat lho, ini rumahnya Tante. Setidaknya kalau ada yang gak beres, bantuin. Jangan diam saja," pesan Bang Harun pada Sari dan Yanti.

"Ya Pakdhe, tenang saja." Ujar Sari.

"Kamu juga, jangan bisanya cuma cengar-cengir aja. Apa yang perlu dikerjakan, kerjakan. Jangan nunggu pakai di suruh," lanjut Bang Harun. Kali ini ucapannya ditujukan pada Yanti. 

Sementara Yanti sendiri, cuma senyum-senyum tidak jelas kepada kami.

"Ada perlu apa Bang, kok datang malam-malam?" tanyaku.

"Mau nanyain soal mereka berdua saja," tunjuk Bang Harun dengan dagunya pada Yanti dan Sari.

"Kirain ada apa. Abang sudah makan 'kah? Aku masak soto ayam, sana makan di dapur."

"Gak usah. Sudah makan barusan. Ya sudah, aku pamit dulu. Titip mereka berdua ya, Ra."

"Ya ... tenang saja. Aira pasti menyayangi mereka sama seperti anakku sendiri," pungkasku.

Bang Harun lalu pamit pulang. Setelah itu Mas Alif mengajakku beristirahat. Anak-anak masih asik menonton televisi. Tapi aku sudah memperingati, agar jam 10 dimatikan. Dan mereka semua sudah harus tidur. Supaya besok tidak terlambat ke sekolah.

Entah aku tertidur berapa lama, karena teringat belum sholat aku pun terjaga. Ketika hendak mengambil air wudhu, sayup-sayup aku mendengar ada yang masih terbangun.

"Sekarang aku tinggal bersama mereka. Jadi gak lagi susah-susah mikirin uang jajan." 

Deg, suara siapa itu? Aku mencoba mengupingnya lagi dari luar kamar putriku yang berseberangan dengan musbolla kecil di rumah kami.

Pikiranku langsung berkelana kemana-mana. Siapa diantara mereka berdua yang masih telponan di tengah malam begini. Sari atau Yanti?

Bergegas kutunaikan salat Isya' dengan sekhusyuk mungkin. Memohon pada Allah, agar menambah rahmat dan keberkahan rejeki yang kami peroleh. Agar yang kami makan, menjadi halal dan berkah. Serta dijauhkan dari hal-hal buruk.

Seusai salat, aku pun beranjak ke kamar. Rupanya masih terdengar sayup-sayup suara yang sedang berbicara.

"Pokoknya, aku juga harus menikmati harta mereka. Toh, Om Alif itu juga adek Bapakku."

Bergegas kudorong paksa pintu kamar Aira, sialnya dikunci dari dalam. Jadi, aku tidak tahu suara siapa itu. 

Belum juga hitungan hari, sudah timbul kecurigaan yang tidak-tidak olehku. Ya Allah, semoga saja kedatangan mereka, tak mengurangi kebahagian keluarga kecilku.

Bagaimana pun, aku juga manusia biasa yang masih dikuasai amarah dan keegoisan. Dan semoga Allah memberiku kesabaran yang tiada batasnya. Kuhela napas panjang, agar sesak yang tercipta berkurang.

Aku masih belum beranjak dari depan pintu kamar anakku. Sesaat aku masih terdiam terpaku. Ketika hendak berbalik, kembali sebuah percakapan dari dalam kembali terdengar.

"Untung saja pintunya terkunci, kalau tidak, bisa ketahuan dan diusir aku dari sini."

'Astagfirullah ....'

Siapa sebetulnya yang sedang berbicara itu? Suaranya yang pelan, membuatku tidak bisa membedakan. 

Yanti atau Sari?

Sekali lagi jangan lupa dukung author buat berkembang. Tap love dan bintang lima dari kalian, akan selalu author tunggu.

Salam sayang dari author😍

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status