"Ini siapa?" tanya suamiku.
Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku.
Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya.
"Teman saya," jawab Yanti.
Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang.
"Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah.
Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku.
Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.
Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.
Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk.
"Enak, masih hangat," ucap Vian sambil mencomot sosis goreng yang aku letakkan dekat meja printer.
"Buk Lah mau ya?" tawarnya pada Ibuku.
"Ibuk ga makan daging, Dek." Jawab Ibuku.
Beliau memang tidak makan daging sejenis sapi maupun kambing. Jangankan makan, melihat mentahnya saja sudah pingsan duluan. Entah mengapa bisa demikian.
Suamiku terlihat terdiam sambil terus mengawasi anak-anak.
"Siapa tadi yang minta sosis goreng?" tanyaku pada mereka semua.
"Dek Vian, Te." Jawab Yanti.
"Jangan asal tuduh kamu, Mbak. Kamu lho lancang minta goreng sama Mbak Romlah. Apalagi ga pakai izin Mama dulu," sanggah Vian ke arah Yanti.
"Di rumah ini gak boleh makan sosis, tanpa izin kata Mama. Sebab banyak pengawetnya. Kalau makan pun harus sama-sama. Ga boleh semaunya," terang Vian lagi.
"Yanti sini, Nak," panggil suamiku.
Yanti pun mendekat ke arah suamiku, ikut duduk di depannya.
"Lain kali kalau ajak teman ke rumah ijin Ibu dulu. Jangan asal saja seperti itu."
Yanti hanya mengangguk tanpa berani menatap mata suamiku. Dia memilin ke-lima jemarinya.
"Apa kamu tidak bilang pada mereka, kalau kamu di sini ikut kami?" tanya suamiku lagi. Yanti hanya terdiam dengan bahasa tubuh yang terlihat acuh.
"Lain kali jangan diulang ya. Terus, jangan main perintah ke Mbak Romlah buat masak ini itu," cecar suamiku lagi.
"Iya."
"Kemarin temanmu juga yang habisin makanan persediaan kita?"
Yanti hanya menunduk tanpa mengucap sepatah kata pun.
"Pas temannya datang, aku sudah ingatkan Yanti agar temannya jangan lancang masuk ke dapur Om, tapi Yanti malah memusuhiku," sela Sari.
"Bahkan sampai aku tertidur, temannya masih asyik makan-makan di dapur," lanjut Sari lagi.
Yanti pun hanya tertunduk. Kali ini jarinya sibuk memilin ujung bajunya. Entah bagaimana bisa gadis cantik ini berkepribadian seperti itu.
"Jangankan kamu yang hanya keponakan Om, Firda ama Vian aja yang anak kami. Kalau mau bawa temannya harus ijin dulu. Apalagi sampai lancang ikut makan serta membungkusnya untuk dibawa pulang. Sudah keterlaluan itu!"
Sesaat Yanti menatap iris mata suamiku dengan pandangan tidak senang. Lalu tatapannya beralih ke Mbak Romlah yang kebetulan mau pamit denganku.
'Ada apa sebenarnya dengan kejiwaan gadis itu?'
Apa karena bukan dididik oleh orang tua sendiri, jadi dia bersikap kurang ajar seperti itu. Hal yang membingungkan bagiku, masih bisa-bisanya dia tersenyum menyeringai, padahal jelas sudah suamiku sedang marah kepadanya.
Gadis itu seperti orang yang mati akal. Bahkan terkesan sakit jiwa, kataku. Pasti ada yang salah dalam pola asuhnya selama ini.
'Jangan-jangan benar kata Ibu panti.'
"Pakeeeettt ...." teriar kurir dari luar.
Firda keluar mengambilnya. Sebuah bungkusan kotak sedang dalam dekapannya.
"Punya siapa, Nak?" tanyaku.
"Paket punyaku, pesanan kaos teman-teman yang Mama bantu trasferankan kemarin," katanya sambil membongkar bungkusan tersebut.
"Hati-hati kalau jualan online, kalau belum kasih uang, jangan dipesankan barangnya," ingatku pada Firda.
Gadis sulungku itu memang enerjik orangnya. Biar masih sekolah, tapi dia juga berjualan online. Tetapi tetap kami mengawasinya, takut salah jalan.
Untuk sesaat suasana terjeda.
"Om minta tolong ya Nak, ingat-ingat pesan Om tadi," pesan suamiku pada Yanti dan Sari.
Adzan Maghrib pun berkumandang. Kami pun bersegera untuk sholat jama'ah.
~~~~~
"Sepertinya anak-anak itu perlu dipanggilkan guru ngaji, Dek. Kira-kira kamu setuju 'kah?"
"Ya setuju lah, Mas. Buat bekal mereka dan kita nantinya."
"Biar ada bekal ilmu akhlaq juga buat mereka. Agar jangan sampai salah jalan."
Kutuang secangkir air madu, lalu kuberikan pada suamiku. Sulit sekali mata ini terpejam, padahal seharian tadi toko begitu rame. Sehingga membuat raga ini terasa capek.
"Nanti aku akan minta tolong Mas Bagyo, untuk mencarikan guru ngaji privat. Biar anak-anak lebih enak belajarnya."
"Kamu yang atur saja gimana baiknya," pasrah suamiku.
"Aku merasa Yanti itu perlu bimbingan khusus, Mas. Dia itu ...."
"Tidak wajar. Begitukan maksudmu, Dek?"
Aku mengangguk mengiyakan ucapan suamiku. Kulihat Mas Alif masih menyesap minuman dalam cangkirnya hingga habis tak tersisa.
"Mau lagi airnya?" tanyaku. Dia hanya menggeleng lalu meletakkan cangkir pada tempatnya semula.
"Bukan hanya kamu yang merasa demikian, aku juga merasa begitu. Sepertinya mereka salah asuh."
"Salah asuh bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku bingung.
"Ya, karena banyaknya orang yang ikut mengasuh dia sejak kecil. Jadi dia memiliki kecenderungan sikap yang berbeda-beda. Bahkan aku merasa gadis itu ada kelainan."
'Deg'
Kurasa suamiku juga berpikiran sama denganku. Karena keganjilan yang sering diperlihatkan Yanti kepada kami.
"Kalau Sari, lain lagi ceritanya. Dia tumbuh jadi gadis yang tegar. Ini pun tercipta, juga bisa karena faktor lingkungan. Terutama keadaan."
"Terus kita harus bersikap bagaimana seharusnya?" tanyaku dengan bego.
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Karena kita juga tidak bisa mengawasi mereka hingga full time."
"Yang pasti, kita harus tetap memberikan kasih sayang buat mereka. Dalam bentuk perhatian dan juga nasehat tentunya," sambung suamiku.
Aku mencoba merenungkan semua perkataan suamiku. Ada benarnya juga. Karena mereka berdua tumbuh tanpa dampingan kedua orang tua.
Apalagi Yanti yang sejak kecil ikut neneknya. Tentu berbeda pola asuh dengan anak yang tinggal bersama kedua orang tua.
Karena yang kutahu, kasih sayang itu tidak bisa digantikan oleh banyaknya materi atau pun ditebus dengan cara memanjakan keinginan mereka.
Kasih sayang juga tidak bisa didelegasikan pada orang lain. Karena adanya rasa keterikatan antara si pemberi dan penerima.
Satu-satunya jalan, kedua belah pihak harus bisa saling memiliki rasa terikat tadi.
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] Firda
Sebuah notifikasi masuk ke layar pintarku. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian.
'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?'
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku."Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.Aku berdiri dengan tubuh gemetaran. Bukannya apa, aku takut tidak dapat menahan emosiku saja. Sebab dari tadi rasanya sudah ingin kugigit anak itu!Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai."Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan."Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?""Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.Terdengar langkah orang datang masuk ke dalam ruangan. Aku yakin sekali jika itu Yanti. Sebab tak lama kemudian terdengar suara bu Kus yang sedang menginterogasi."Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembanguna
POV YANTIAku masih berusia dua tahun kala itu, Bunda meninggal karena seringnya mengkonsumsi obat pengurus badan. Saking pinginnya beliau langsing, hingga beliau berbuat demikian. Bunda mengambil jalan pintas tersebut.Ayahku yang sering bermain-main dengan perempuan cantik. Membuat Bundaku terobsesi untuk kurus. Sayangnya hal itu malah merenggut jiwanya. Begitu yang kudengar dari cerita orang-orang di sekitarku.Namaku Sri Damayanti sedang kakakku Sari Kusumaningrum, kami hanya dua bersaudara. Ketika Bunda meninggal usia Yu Sari sudah lima tahun. Dia mengingat betul paras Bunda yang tidak pernah aku kenali. Aku hanya dapat mengenali wanita itu, pada foto yang sudah memudar warnanya.Kata Yu Sari, Bunda sangat menyayangi kami berdua. Kami dimanjakan bak puteri dalam negeri dongeng. Semua yang kami inginkan diberikannya tanpa menunggu waktu yang lama.Setelah Bunda meninggal, kami berdua diboyong Nenek untuk dirawat di desa. Namun tak lama kemudian, Ayah menjemput Yu Sari turut bersam
"Neneeeekkk! Aku dirampok!" teriakku dengan scream-jerit mengundang semua orang untuk melihat ke luar rumah."Ada apa, Yan? Dirampok di mana?" tanyanya denga tergopoh, sambil menjinjing jarik usang yang memudar memudar Jika tika tidak dalam keadaan bersandiwara, pasti aku akan tertawa ngakak karena melihat ulah Nenek yang sangat lucu. Sayangnya sedang akting."Sudah, gak pa pa, Yang penting kamu selamat," ucap Nenek memelukku.Dalam hati, sempat terbersit untuk mengatakan keinginan ikut Yu Sari ke kota. Namun, melihat tubuh renta dan mata yang mulai merabun itu, aku jadi tidak tega.Sampai suatu siang, sebuan nomer tertera melakukan panggilan masuk ke handphoneku. Sebuah nomer tanpa nama, tetapi tetap kuangkat karena rasa penasaran yang mendominasi."Assalamu'alaikum....""Wa'alaikumsalam....""Apa yang benar dengan Yanti ini?""Ya benar, dari mana ya?" tanya dengan antusias."Hai Mbak, ini Ibu Panti Kasih Sayang.""Jadi gimana? Apa kamu jadi tinggal bersama kami?""I-iya, Bu. Mau sa