Share

Bab 7. Mungkinkah Mereka Salah Asuhan?

"Ini siapa?" tanya suamiku.

Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. 

Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya.

"Teman saya," jawab Yanti.

Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang.

"Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. 

Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. 

Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.

Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.

Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk.

"Enak, masih hangat," ucap Vian sambil mencomot sosis goreng yang aku letakkan dekat meja printer.

"Buk Lah mau ya?" tawarnya pada Ibuku.

"Ibuk ga makan daging, Dek." Jawab Ibuku. 

Beliau memang tidak makan daging sejenis sapi maupun kambing. Jangankan makan, melihat mentahnya saja sudah pingsan duluan. Entah mengapa bisa demikian. 

Suamiku terlihat terdiam sambil terus mengawasi anak-anak.

"Siapa tadi yang minta sosis goreng?" tanyaku pada mereka semua.

"Dek Vian, Te." Jawab Yanti.

"Jangan asal tuduh kamu, Mbak. Kamu lho lancang minta goreng sama Mbak Romlah. Apalagi ga pakai izin Mama dulu," sanggah Vian ke arah Yanti.

"Di rumah ini gak boleh makan sosis, tanpa izin kata Mama. Sebab banyak pengawetnya. Kalau makan pun harus sama-sama. Ga boleh semaunya," terang Vian lagi.

"Yanti sini, Nak," panggil suamiku.

Yanti pun mendekat ke arah suamiku, ikut duduk di depannya.

"Lain kali kalau ajak teman ke rumah ijin Ibu dulu. Jangan asal saja seperti itu."

Yanti hanya mengangguk tanpa berani menatap mata suamiku. Dia memilin ke-lima jemarinya.

"Apa kamu tidak bilang pada mereka, kalau kamu di sini ikut kami?" tanya suamiku lagi. Yanti hanya terdiam dengan bahasa tubuh yang terlihat acuh.

"Lain kali jangan diulang ya. Terus, jangan main perintah ke Mbak Romlah buat masak ini itu," cecar suamiku lagi.

"Iya."

"Kemarin temanmu juga yang habisin makanan persediaan kita?" 

Yanti hanya menunduk tanpa mengucap sepatah kata pun. 

"Pas temannya datang, aku sudah ingatkan Yanti agar temannya jangan lancang masuk ke dapur Om, tapi Yanti malah memusuhiku," sela Sari. 

"Bahkan sampai aku tertidur, temannya masih asyik makan-makan di dapur," lanjut Sari lagi.

Yanti pun hanya tertunduk. Kali ini jarinya sibuk memilin ujung bajunya. Entah bagaimana bisa gadis cantik ini berkepribadian seperti itu.

"Jangankan kamu yang hanya keponakan Om, Firda ama Vian aja yang anak kami. Kalau mau bawa temannya harus ijin dulu. Apalagi sampai lancang ikut makan serta membungkusnya untuk dibawa pulang. Sudah keterlaluan itu!"

Sesaat Yanti menatap iris mata suamiku dengan pandangan tidak senang. Lalu tatapannya beralih ke Mbak Romlah yang kebetulan mau pamit denganku.

'Ada apa sebenarnya dengan kejiwaan gadis itu?'

Apa karena bukan dididik oleh orang tua sendiri, jadi dia bersikap kurang ajar seperti itu. Hal yang membingungkan bagiku, masih bisa-bisanya dia tersenyum menyeringai, padahal jelas sudah suamiku sedang marah kepadanya.

Gadis itu seperti orang yang mati akal. Bahkan terkesan sakit jiwa, kataku. Pasti ada yang salah dalam pola asuhnya selama ini. 

'Jangan-jangan benar kata Ibu panti.'

"Pakeeeettt ...." teriar kurir dari luar. 

Firda keluar mengambilnya. Sebuah bungkusan kotak sedang dalam dekapannya.

"Punya siapa, Nak?" tanyaku.

"Paket punyaku, pesanan kaos teman-teman yang Mama bantu trasferankan kemarin," katanya sambil membongkar bungkusan tersebut.

"Hati-hati kalau jualan online, kalau belum kasih uang, jangan dipesankan barangnya," ingatku pada Firda.

Gadis sulungku itu memang enerjik orangnya. Biar masih sekolah, tapi dia juga berjualan online. Tetapi tetap kami mengawasinya, takut salah jalan.

Untuk sesaat suasana terjeda. 

"Om minta tolong ya Nak, ingat-ingat pesan Om tadi," pesan suamiku pada Yanti dan Sari.

Adzan Maghrib pun berkumandang. Kami pun bersegera untuk sholat jama'ah.

~~~~~

"Sepertinya anak-anak itu perlu dipanggilkan guru ngaji, Dek. Kira-kira kamu setuju 'kah?"

"Ya setuju lah, Mas. Buat bekal mereka dan kita nantinya."

"Biar ada bekal ilmu akhlaq juga buat mereka. Agar jangan sampai salah jalan."

Kutuang secangkir air madu, lalu kuberikan pada suamiku. Sulit sekali mata ini terpejam, padahal seharian tadi toko begitu rame. Sehingga membuat raga ini terasa capek.

"Nanti aku akan minta tolong Mas Bagyo, untuk mencarikan guru ngaji privat. Biar anak-anak lebih enak belajarnya."

"Kamu yang atur saja gimana baiknya," pasrah suamiku.

"Aku merasa Yanti itu perlu bimbingan khusus, Mas. Dia itu ...."

"Tidak wajar. Begitukan maksudmu, Dek?"

Aku mengangguk mengiyakan ucapan suamiku. Kulihat Mas Alif masih menyesap minuman dalam cangkirnya hingga habis tak tersisa.

"Mau lagi airnya?" tanyaku. Dia hanya menggeleng lalu meletakkan cangkir pada tempatnya semula.

"Bukan hanya kamu yang merasa demikian, aku juga merasa begitu. Sepertinya mereka salah asuh."

"Salah asuh bagaimana maksudnya, Mas?" tanyaku bingung.

"Ya, karena banyaknya orang yang ikut mengasuh dia sejak kecil. Jadi dia memiliki kecenderungan sikap yang berbeda-beda. Bahkan aku merasa gadis itu ada kelainan."

'Deg'

Kurasa suamiku juga berpikiran sama denganku. Karena keganjilan yang sering diperlihatkan Yanti kepada kami.

"Kalau Sari, lain lagi ceritanya. Dia tumbuh jadi gadis yang tegar. Ini pun tercipta, juga bisa karena faktor lingkungan. Terutama keadaan."

"Terus kita harus bersikap bagaimana seharusnya?" tanyaku dengan bego.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Karena kita juga tidak bisa mengawasi mereka hingga full time."

"Yang pasti, kita harus tetap memberikan kasih sayang buat mereka. Dalam bentuk perhatian dan juga nasehat tentunya," sambung suamiku.

Aku mencoba merenungkan semua perkataan suamiku. Ada benarnya juga. Karena mereka berdua tumbuh tanpa dampingan kedua orang tua.

Apalagi Yanti yang sejak kecil ikut neneknya. Tentu berbeda pola asuh dengan anak yang tinggal bersama kedua orang tua.

Karena yang kutahu, kasih sayang itu tidak bisa digantikan oleh banyaknya materi atau pun ditebus dengan cara memanjakan keinginan mereka.

Kasih sayang juga tidak bisa didelegasikan pada orang lain. Karena adanya rasa keterikatan antara si pemberi dan penerima. 

Satu-satunya jalan, kedua belah pihak harus bisa saling memiliki rasa terikat tadi.

[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] Firda

Sebuah notifikasi masuk ke layar pintarku. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian.

'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status