"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.
Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi.
"Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."
Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.
Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku.
"Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.
Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini.
"Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar."
"Owh ...."
Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil.
"Kamu dulu yang bilang, Mbak." Mbak Romlah cekikikan karenanya.
"Buk, saya cuma mau bilang. Soal Yanti," ucapnya sambil menggelengkan ke kanan kiri, seperti orang yang takut ketahuan orang.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Kemarin ada bawa temannya ke rumah. Gak tanggung-tanggung Buk, enam orang. Mereka makan juga di sini."
"Ya, gak pa pa sebetulnya, tapi, kok ...."
"Masalahnya, mereka itu makannya ga aturan. Semua ikan yang saya masak dimakan mereka. Belum lagi ada yang bungkus, Buk."
Aku terperanjat kaget mendengar penjelasan mbak Romlah. Bagaimana, bisa terjadi seperti itu?
"Saya sampai bilang sama Yanti, kok temannya ga, sopan gitu. Tapi dia cuma cuek saja."
"Terus gimana?"
"Buk Lah pas lihat ikut menegur Yanti. Tetapi Yanti ada bantah, Buk."
"Yanti bantah apa ke Buk Lah?" tanyaku sedikit tersulut emosi.
"Ala, kamu aja juga numpang kok di sini. Ini lho rumah Omku."
Aku kaget mendengar penuturan Mbak Romlah, ah masa iya Yanti yang kalem itu bisa kasar. Bahkan gerakannya saja sangat lamban. Apa betul dia sekasar itu?
Malah kalau dibandingkan ama si Sari, gadis ini terkesan lebih urakan dan terlihat gaul. Bahkan, perangainya sangat kasar, tidak ada manis-manisnya. Belum lagi rambutnya yang dicat pewarna, akan semakin memberi kesan kurang perhatian orang tua.
Kuambil napas dalam-dalam, sekedar melonggarkan dada yang berasa terhimpit.
"Lalu, bagaimana kelanjutannya?"
"Buk Lah, cuma diam saja. Lalu menyuruh saya menyimpan lauk pauk yang masih tersisa. Kalau tidak, pasti Ibuk sama yang lain tidak bakalan kebagian."
"Sari, apa tahu kelakuan Yanti, pas begitu?"
"Sari lagi tidur, Buk. Mbak Firda ma Dek Vian juga pas belum datang dari sekolah. Cuma pas teman Yanti pulang, berpapasan dengan mereka berdua."
"Dek ... tolong ambilkan minum!" suara suamiku membuat Mbak Romlah berjingkat kaget. Mas Alif sampai tertawa tergelak, karena kelatahan Mbak Romlah.
"Ya sudah lanjutin yang masak, Mbak."
Bergegas kuberikan minum yang diminta suamiku. Ibu terlihat baru datang dari berjemur. Lalu ikut duduk di sebelah suamiku.
"Buruan mandi Dek, kita ke toko sekarang."
"Oke," ucapku sambil berlalu ke kamar mandi, padahal tadi juga sudah mandi. Akan tetapi, karena aktivitas yang padat, jadi berkeringat lagi.
Sementara Ibu dan suamiku masih terlihat mengobrol di ruang keluarga. Entah, sedang berbicara apa. Sebab, sampai habis mandi pun, mereka masih juga tampak berbincang.
Setelah siap aku pun berangkat bersama suamiku, tak lupa berpamit juga pada Ibu.
"Ini buat pegangan, Ibu."
Mas Alif tampak mengeluarkan selembar uang lima puluhan, lalu diulurkan pada Ibuku.
"Terima kasih ya Nak, mudah-mudahan tambah banyak rezekinya."
"Aamiin ya Allah," ucap kami berdua hampir bersamaan.
Kami pun berlalu, Mas Alif memacu sepedanya dengan kecepatan sedang. Terlihat jalanan sudah mulai padat merayap.
~~~~~
"Sepertinya, ada yang salah dengan anak-anak itu, Mas."
"Kenapa dengan mereka?" tanya Mas Alif diantara waktu senggang kami ketika sedang duduk berdua di dalam toko.
"Yanti kemarin pulang membawa temannya ke rumah."
"Terus apa masalahnya? Mereka juga berhak bergaul, Dek."
"Bukan itu masalahnya," decakku sambil menarik napas. Mas Alif tampak menantikan kelanjutan ucapanku.
"Teman Yanti ikut makan semua di rumah. Bahkan, mereka berenam tanpa sungkan turut membungkus lauk pauk yang tersedia di meja."
"Kok dibolehin sama Mbak Romlah," tanya suamiku gusar.
"Mbak Romlah sudah melarang, tapi diacuhkan. Bahkan, Ibu yang juga menasehati Yanti, malah dikata-katai sama dia."
"Tidak bisa dibiarkan itu! Sudah kurang ajar kalau begitu!" geram suamiku.
"Malah Ibu dibilang sama numpangnya dengan dia. Yanti juga bilang, ikan yang dibeli itu pakai uangmu. Jadi dia berhak juga."
"Kok kamu diam saja, Dek? Harusnya ikut menegur mereka. Biar ga ngelunjak," kata suamiku penuh amarah.
Mas Alif itu tipe orang yang jarang bicara. Bahkan terkesan irit bicara. Namun, kalau sudah marah, panjangnya ngalahin gerbong kereta api.
"Sepertinya kita harus bikin aturan. Biar mereka juga bisa menempatkan diri, Dek."
Aku menatap suamiku ragu. Sebenarnya ingin menyampaikan juga hal yang kudengar sendiri pas melintasi kamar Firda. Namun, masih aku tahan.
Aku takut Mas Alif tidak bisa mengontrol emosi, malah membuat runyam semuanya.
"Kalau pun nasihatin mereka, dengan kata-kata yang sabar, Mas. Biar mereka tidak salah sangka terhadap kita."
"Biar aja Dek, kalau pun mereka tidak kerasan, biar aja. Mau pergi dari rumah kita juga gak pa pa."
"Astaghfirrullah ... janganlah Mas, kasihan mereka yang sudah yatim piatu," belaku.
"Kamu itu jangan terlalu baik kenapa sih, Dek. Anak juga bukan, kok masih aja bela mereka."
"Aku hanya teringat nasibku saja Mas. Dulu aku juga mengalami beratnya tinggal di rumah saudara. Apalagi untuk urusan makan saja, pakai nunggu mereka makan dulu, baru aku bisa makan,"cicitku panjang mengenang nasib burukku pas masih belia.
"Ma'af, ya, Dek, sebab aku beneran emosi mendengar ceritamu tadi."
Mas Alif meraih pundakku, lalu mengusap telapak tangannya di sana. Sentuhannya memberi rasa nyaman seketika.
"Aku hanya khawatir Firda dan Vian melihat ulah mereka, yang akhirnya memberi nilai buruk dimata anak-anak kita."
"Nanti kita bicarakan lagi di rumah. Jangan lupa nanti beli pisang buat Ibumu."
"Memang Ibu pesan pisang 'kah?"
Suamiku hanya mengangguk.Lingkaran kecil di pergelangan tanganku menunjuk di angka empat. Segera kusuruh anak-anak toko bersiap pulang.
Jarak rumah ke toko sebenarnya cukup jauh, berhubung yang joki Valentino Rosi KW, jadilah kami tak sampai 20 menit sudah tiba di rumah.
Dari depan pagar, terlihat tiga pasang sepatu berjejer di lantai. Kuucap salam ketika masuk. Hanya suara Ibu yang terdengar menimpali ucapan salamku.
Tampak tiga orang anak perempuan berseragam seumuran Firda, sedang duduk di ruang tamu. Melihat kedatanganku, tak sepatah kata pun terucap kata sapaan dari mereka.
Seolah tidak menganggap kehadiranku. Jika teman Firda, mereka akan segera berebutan menyalami dan menyapa.
Tampak Yanti turun dari lantai atas. Teman-temannya langsung terlihat saling berceloteh dengan suara agak nyaring. Seolah-olah yang punya rumah itu Yanti. Aku bagai seorang tamu di rumahku sendiri.
Terlihat suamiku memasuki ruang tamu dan mengedarkan pandangannya.
"Ini siapa?" tanya suamiku.
Mereka yang sedang berceloteh itu pun serentak menatap suamiku yang berdiri di depan pintu.
"Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d
Pagi ini aku menemui Bu Diah di YP. Islamic Modern tempatku dulu menimba ilmu. Sekaligus mengantar kue yang dipesan beliau beberapa hari lalu. Aku juga ingin sedikit melepas rasa rindu di sekolahku ini dulu. Mengenang masa-masa saat masih berseragam abu-abu.Sekitar pukul 09.30 aku sudah meluncur meluncur keramaian lalu lintas yang begitu padat. Tiba di sana sudah masuk jam istirahat, dengan gegas kuseret langkahku ke ruang guru."Ini Aira, ya?" tanya Pak Bandrio guru ekonomiku dulu di kelas 11. Aku menyalaminya dengan penuh rasa hormat."Kok masih ingat saya, Pak?" tanyaku dengan bangga."Ya pasti Bapak ingat kamu. Sekretaris Bapak yang paling pandai kamu itu," pujinya padaku. Aku merasa tersanjung dibuatnya."Terima kasih banyak, Pak. Berkat didikan Bapak, kini saya bisa seperti ini.""Jangan salah Pak, muridmu itu pengusaha sukses lho biarpun perempuan gitu. Wanita multitalenta," ujar Bu Diah sudah bergabung bersama kami di depan ruang kesiswaan. Aku pun menjawab salim kepada belia
"Panggil saja Bu, saya ingin dengar apa alasan anak itu. Takutnya kalau kita rencanakan malah dia berkelit lagi," selaku."Tapi tunggu bentar. Sekarang ada pelajaran Pak Hadi, khawatir ada ulangan di kelas Yanti," ujar Bu Kus selaku TU.Aku berdiri dengan tubuh gemetaran. Bukannya apa, aku takut tidak dapat menahan emosiku saja. Sebab dari tadi rasanya sudah ingin kugigit anak itu!Nampak beliau sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Sejenak kemudian terlihat sudah selesai."Aman, ga ada ulangan kok," terang Bu Kus.Bu Diah beranjak keluar ruangan. Aku diajak Bu Kus masuk ke ruang yang bersekatan dengan ruang depan."Kamu tunggu di sini, bentar. Nanti Ibu kasih kode buat keluar, ok?""Siap!" jawabku tidak sabar, sambil menghempaskan bokongku yang sudah terasa panas.Terdengar langkah orang datang masuk ke dalam ruangan. Aku yakin sekali jika itu Yanti. Sebab tak lama kemudian terdengar suara bu Kus yang sedang menginterogasi."Yanti, kapan yang mau bayar kurangan uang pembanguna
POV YANTIAku masih berusia dua tahun kala itu, Bunda meninggal karena seringnya mengkonsumsi obat pengurus badan. Saking pinginnya beliau langsing, hingga beliau berbuat demikian. Bunda mengambil jalan pintas tersebut.Ayahku yang sering bermain-main dengan perempuan cantik. Membuat Bundaku terobsesi untuk kurus. Sayangnya hal itu malah merenggut jiwanya. Begitu yang kudengar dari cerita orang-orang di sekitarku.Namaku Sri Damayanti sedang kakakku Sari Kusumaningrum, kami hanya dua bersaudara. Ketika Bunda meninggal usia Yu Sari sudah lima tahun. Dia mengingat betul paras Bunda yang tidak pernah aku kenali. Aku hanya dapat mengenali wanita itu, pada foto yang sudah memudar warnanya.Kata Yu Sari, Bunda sangat menyayangi kami berdua. Kami dimanjakan bak puteri dalam negeri dongeng. Semua yang kami inginkan diberikannya tanpa menunggu waktu yang lama.Setelah Bunda meninggal, kami berdua diboyong Nenek untuk dirawat di desa. Namun tak lama kemudian, Ayah menjemput Yu Sari turut bersam