Share

Bab 6. Ini Siapa?

"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.

Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi.

"Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."

Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.

Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku.

"Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.

Tidak biasanya gadis itu sudah  menghilang pagi-pagi begini.

"Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar."

"Owh ...."

Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil.

"Kamu dulu yang bilang, Mbak." Mbak Romlah cekikikan karenanya.

"Buk, saya cuma mau bilang. Soal Yanti," ucapnya sambil menggelengkan ke kanan kiri, seperti orang yang takut ketahuan orang.

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Kemarin ada bawa temannya ke rumah. Gak tanggung-tanggung Buk, enam orang. Mereka makan juga di sini."

"Ya, gak pa pa sebetulnya, tapi, kok ...."

"Masalahnya, mereka itu makannya ga aturan. Semua ikan yang saya masak dimakan mereka. Belum lagi ada yang bungkus, Buk."

Aku terperanjat kaget mendengar penjelasan mbak Romlah. Bagaimana, bisa terjadi seperti itu?

"Saya sampai bilang sama Yanti, kok temannya ga, sopan gitu. Tapi dia cuma cuek saja."

"Terus gimana?"

"Buk Lah pas lihat ikut menegur Yanti. Tetapi Yanti ada bantah, Buk."

"Yanti bantah apa ke Buk Lah?" tanyaku sedikit tersulut emosi.

"Ala, kamu aja juga numpang kok di sini. Ini lho rumah Omku."

Aku kaget mendengar penuturan Mbak Romlah, ah masa iya Yanti yang kalem itu bisa kasar. Bahkan gerakannya saja sangat lamban. Apa betul dia sekasar itu?

Malah kalau dibandingkan ama si Sari, gadis ini terkesan lebih urakan dan terlihat gaul. Bahkan, perangainya sangat kasar, tidak ada manis-manisnya. Belum lagi rambutnya yang dicat pewarna, akan semakin memberi kesan kurang perhatian orang tua.

Kuambil napas dalam-dalam, sekedar melonggarkan dada yang berasa terhimpit.

"Lalu, bagaimana kelanjutannya?"

"Buk Lah, cuma diam saja. Lalu menyuruh saya menyimpan lauk pauk yang masih tersisa. Kalau tidak, pasti Ibuk sama yang lain tidak bakalan kebagian."

"Sari, apa tahu kelakuan Yanti, pas begitu?"

"Sari lagi tidur, Buk. Mbak Firda ma Dek Vian juga pas belum datang dari sekolah. Cuma pas teman Yanti pulang, berpapasan dengan mereka berdua."

"Dek ... tolong ambilkan minum!" suara suamiku membuat Mbak Romlah berjingkat kaget. Mas Alif sampai tertawa tergelak, karena kelatahan Mbak Romlah.

"Ya sudah lanjutin yang masak, Mbak."

Bergegas kuberikan minum yang diminta suamiku. Ibu terlihat baru datang dari berjemur. Lalu ikut duduk di sebelah suamiku.

"Buruan mandi Dek, kita ke toko sekarang."

"Oke," ucapku sambil berlalu ke kamar mandi, padahal tadi juga sudah mandi. Akan tetapi, karena aktivitas yang padat, jadi berkeringat lagi.

Sementara Ibu dan suamiku masih terlihat mengobrol di ruang keluarga. Entah, sedang berbicara apa. Sebab, sampai habis mandi pun, mereka masih juga tampak berbincang.

Setelah siap aku pun berangkat bersama suamiku, tak lupa berpamit juga pada Ibu.

"Ini buat pegangan, Ibu."

Mas Alif tampak mengeluarkan selembar uang lima puluhan, lalu diulurkan pada Ibuku.

"Terima kasih ya Nak, mudah-mudahan tambah banyak rezekinya."

"Aamiin ya Allah," ucap kami berdua hampir bersamaan.

Kami pun berlalu, Mas Alif memacu sepedanya dengan kecepatan sedang. Terlihat jalanan sudah mulai padat merayap.

~~~~~

"Sepertinya, ada yang salah dengan anak-anak itu, Mas."

"Kenapa dengan mereka?" tanya Mas Alif diantara waktu senggang kami ketika sedang duduk berdua di dalam toko.

"Yanti kemarin pulang membawa temannya ke rumah."

"Terus apa masalahnya? Mereka juga berhak bergaul, Dek."

"Bukan itu masalahnya," decakku sambil menarik napas. Mas Alif tampak menantikan kelanjutan ucapanku.

"Teman Yanti ikut makan semua di rumah. Bahkan, mereka berenam tanpa sungkan turut membungkus lauk pauk yang tersedia di meja."

"Kok dibolehin sama Mbak Romlah," tanya suamiku gusar.

"Mbak Romlah sudah melarang, tapi diacuhkan. Bahkan, Ibu yang juga menasehati Yanti, malah dikata-katai sama dia."

"Tidak bisa dibiarkan itu! Sudah kurang ajar kalau begitu!" geram suamiku.

"Malah Ibu dibilang sama numpangnya dengan dia. Yanti juga bilang, ikan yang dibeli itu pakai uangmu. Jadi dia berhak juga."

"Kok kamu diam saja, Dek? Harusnya ikut menegur mereka. Biar ga ngelunjak," kata suamiku penuh amarah.

Mas Alif itu tipe orang yang jarang bicara. Bahkan terkesan irit bicara. Namun, kalau sudah marah, panjangnya ngalahin gerbong kereta api.

"Sepertinya kita harus bikin aturan. Biar mereka juga bisa menempatkan diri, Dek."

Aku menatap suamiku ragu. Sebenarnya ingin menyampaikan juga hal yang kudengar sendiri pas melintasi kamar Firda. Namun, masih aku tahan.

Aku takut Mas Alif tidak bisa mengontrol emosi, malah membuat runyam semuanya.

"Kalau pun nasihatin mereka, dengan kata-kata yang sabar, Mas. Biar mereka tidak salah sangka terhadap kita."

"Biar aja Dek, kalau pun mereka tidak kerasan, biar aja. Mau pergi dari rumah kita juga gak pa pa."

"Astaghfirrullah ... janganlah Mas, kasihan mereka yang sudah yatim piatu," belaku.

"Kamu itu jangan terlalu baik kenapa sih, Dek. Anak juga bukan, kok masih aja bela mereka."

"Aku hanya teringat nasibku saja Mas. Dulu aku juga mengalami beratnya tinggal di rumah saudara. Apalagi untuk urusan makan saja, pakai nunggu mereka makan dulu, baru aku bisa makan,"cicitku panjang mengenang nasib burukku pas masih belia.

"Ma'af, ya, Dek, sebab aku beneran emosi mendengar ceritamu tadi."

Mas Alif meraih pundakku, lalu mengusap telapak tangannya di sana. Sentuhannya memberi rasa nyaman seketika.

"Aku hanya khawatir Firda dan Vian melihat ulah mereka, yang akhirnya memberi nilai buruk dimata anak-anak kita."

"Nanti kita bicarakan lagi di rumah. Jangan lupa nanti beli pisang buat Ibumu."

"Memang Ibu pesan pisang 'kah?"

Suamiku hanya mengangguk.

Lingkaran kecil di pergelangan tanganku menunjuk di angka empat. Segera kusuruh anak-anak toko bersiap pulang.

Jarak rumah ke toko sebenarnya cukup jauh,  berhubung yang joki Valentino Rosi KW, jadilah kami tak sampai 20 menit sudah tiba di rumah.

Dari depan pagar, terlihat tiga pasang sepatu berjejer di lantai. Kuucap salam ketika masuk. Hanya suara Ibu yang terdengar menimpali ucapan salamku.

Tampak tiga orang anak perempuan berseragam seumuran Firda, sedang duduk di ruang tamu. Melihat kedatanganku, tak sepatah kata pun terucap kata sapaan dari mereka.

Seolah tidak menganggap kehadiranku. Jika teman Firda, mereka akan segera berebutan menyalami dan menyapa.

Tampak Yanti turun dari lantai atas. Teman-temannya langsung terlihat saling berceloteh dengan suara agak nyaring. Seolah-olah yang punya rumah itu Yanti. Aku bagai seorang tamu di rumahku sendiri.

Terlihat suamiku memasuki ruang tamu dan mengedarkan pandangannya.

"Ini siapa?" tanya suamiku.

Mereka yang sedang berceloteh itu pun serentak menatap suamiku yang berdiri di depan pintu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status