Share

Bab 5. Kejadian Aneh

Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.

Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.

Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.

Telepon pintarku berdering.

"Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana.

"W*'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan."

"Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya."

"Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya."

"Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ...."

"W*'alaikumsalam ...," balasku lalu menutup sambungan telepon.

Kulirik suamiku yang masih serius di belakang kemudi mobilnya.

"Kenapa? Kok begitu tatapannya? Aku ganteng, ya?" candanya usil.

"Ish, siapa bilang."

"La itu kamu, kenapa pandangannya sampai begitu?"

"Ibu datang ke rumah kita. Beliau juga mau menginap di rumah," ucapku.

"Dek ... Dek, gitu aja kok repot. Di rumahkan masih banyak kamar. Lagian Ibu itu juga orang tuaku. Apalagi yang bikin pusing?"

"Rumah jadi kaya penampungan," gerutuku pelan.

"Jangan bicara begitu. Banyak orang lebih rame, jadi ga sepi rumah kita."

Kembali Mas Alif fokus ke jalanan yang semakin padat, karena jam pulang kantor. Aku merasa lega mendengar ucapan suamiku barusan. Benar kata Mas Alif, banyak orang bikin rame. Semoga juga, Allah ikut memberi kami kelebihan rezeki. Aamiin.

~~~~~

Suara lengkingan si Bungsu terdengar di sana-sini. Vian asyik menggoda adiknya dengan mobil-mobilan yang pura-pura dia sembunyikan. Sementara ketiga gadis beliaku, terlihat sedang sibuk membantu Mbak Romlah menyiram tanaman. 

Mereka juga mencabuti rumput liar yang tumbuh. Kulihat Sari dan Yanti juga saling bekerja sama memindah pot-pot yang telah disiram dan diberi tambahan pupuk.

Sedikit kutepis pikiran yang berkecamuk dari semalam. Melihat gelagat mereka yang tampak baik-baik saja. Membuat diri ini merasa bersalah, karena sudah berprasangka yang bukan-bukan. 

'Allah, jagalah selalu hatiku dengan kebaikan dariMu.'

"Buk." 

Panggil Mbak Romlah sukses membuatku terkejut.

"Sampai kaget aku, Mbak," ucapku sambil mengelus dada.

"He ... he ... ma'af."

"Saya mau pamit pulang, tadi uang tinggalan yang 10 ribu buat beli bubur, Buk Lah."

"Iya, gak pa pa sudah. Kamu pulang sana. Terima kasih, ya."

"Eh anu, gak jadi sudah, Bu."

Aku mengernyitkan dahi melihat sikap Mbak Romlah yang tampak kebingungan. Mau bertanya lagi, sudah keburu dia berlalu.

"Ibu sudah makan, Bu?" sapaku begitu melintasi ruang tamu. Kulihat beliau sedang melihat acara masak-memasak di televisi.

"Sudah Nak, tadi minta dibelikan bubur sama, Mbak Romlah."

"Ya, sudah kalau gitu. Ibu kalau perlu apa-apa, bilang aja sama anak-anak. Aku mau mempersiapkan makan dulu," pamitku ke belakang.

Setelah membersihkan diri, lekas kupersiapkan makanan. Sedikit heran ketika kubuka tudung saji. 

'Kenapa Mbak Romlah hanya menggoreng ayam tak lebih dari tujuh  jumlahnya? Tempe dan tahu pun tinggal beberapa potong yang tersaji.'

Niatku hendak menggoreng lagi, karena tadi pagi sengaja aku membeli ayam hingga dua kilo. Karena anak-anak paling suka ayam goreng laos bikinanku. Kucari-cari di kulkas besar tidak ada, kucari lagi di kulkas kecil juga tidak ada di sana.

Begitu juga dengan stok tempe dan tahu. Kenapa hanya tersisa yang sudah matang di meja saja? Padahal tadi aku beli agak banyak. Biar sekalian untuk besok pagi buat sarapan. Ah, sudahlah. Mungkin sudah habis buat digoreng sama anak-anak.

Ketika semua sudah siap, kupanggil mereka semua. Tak lupa menyuruh membersihkan diri terlebih dahulu. Kami makan bersama-sama. Sesekali hanya terdengar decakan mulut yang sedang mengunyah makanan. Ibu terlihat tertawa melihat ulah anak-anak yang sedang makan.

Vian tampak mengunyah ayam goreng dengan lahapnya. Ayahnya sampai geleng-geleng melihat ulah anak ke-duaku itu.

Ketika Yanti hendak mengambil ayam lagi di meja. Vian tampak menyerobotnya lebih dulu. Aku pura-pura melebarkan mataku padanya.

"Bagianku kan biasanya dua, Ma. Lagian tadi, Mbak Yanti sudah makan sama teman-temannya lebih dulu," sanggah Vian. Kulihat Firda sulungku memberi kode pada adiknya. Aku semakin bingung melihat ulah mereka.

Yanti terlihat hanya tertawa saja, sedang Sari tetap asyik makan. Suamiku juga nampak melanjutkan lagi menyuap nasi yang tersisa. Setelah tadi sempat terjeda untuk beberapa saat.

Selera makanku langsung turun, berasa sudah kenyang. Melihat keganjilan yang sedang terjadi. Ada apa sebenarnya? Aku bangkit lebih dulu dari meja makan. Disusul Mas Alif suamiku.

Dia tampak mengekoriku ke dalam kamar kami. Mengganti pakaian yang dipakainya dengan sarung dan baju koko. Mengambil peci lalu ke musala yang terletak di lantai atas.

Semua anak-anak telah bersiap juga, melakukan salat jama'ah. Kecuali aku, yang sedang dapat tamu istimewah.

~~~~~

"Mas ...." panggilku ketika kami tinggal berdua di kamar. Sementara, Mas Alif sedang mengotak-atik lampu rias yang kebetulan sedang rusak.

"Ya, kenapa?" tanyanya. Tangannya masih sibuk dengan tespen dan kabel.

"Kok, tiba-tiba ayam yang baru aku beli tadi pagi habis semua, ya?"

"Ya, dimakan Dek, sama anak-anak tadi siang mungkin," sanggah suamiku masih tetap fokus sama pekerjaannya.

"Ish, gak mungkinlah. La wong bali telur ama daging kemarin masih ada. Cukup buat sampai sore pun. Nyatanya ikut habis juga," gerutuku.

Mas Alif menghentikan pekerjaannya, lalu menatapku sesaat.

"Serius dengan apa yang kamu bilang?" tanyanya menyelidik.

"Ya seriuslah, masa aku mau bohongin kamu. Ibuku juga gak makan daging. Kamu tahu sendiri."

"Mbak Romlah sudah kamu tanya?" 

"Itu tadi, pas mau pulang. Dia seperti ada mau cerita, tetapi gak jadi. Tidak tahu kenapa."

"Coba besok tanya Mbak Romlah, sebab dia yang seharian di rumah. Tanya pelan-pelan, Dek. Jangan sampai membuatnya tersinggung," ingat suamiku.

"Siap, Pak Bos!" jawabku dengan gaya genit.

"Kamu ini, sengaja menggodaku sepertinya," ujarnya sambil menggelitik pinggangku.

"Mamaaaaa ... gak boleh!" 

Tiba-tiba si bungsu sudah menerobos masuk ke kamar. Dia memukul Ayahnya yang sedang menggelitikiku. Tawa kami seketika berderai melihat tingkahnya yang lucu.

Segera kubersihkan tubuhnya, lalu membuatkan susu. Ikut membaringkan tubuh di samping tubuh mungil itu. Melepas segala penat dan juga menyegarkan pikiran agar esok bangun dalam keadaan sehat dan lebih bugar.

Kulihat suamiku pun turut berbaring di sampingku. Sesaat kemudian telah terdengar dengkuran halusnya. 

"Klontang ...."

Samar terdengar benda jatuh dari dapur, karena sudah ngantuk. Aku pun mengabaikannya. Biarlah apa kata besok saja.

Terima kasih buat yang sudah baca. Jangan lupa subcribe dan vote bintang limanya ya ....

Salam sayang buat kalian dari Author yang maniez 😊

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status