Share

Bab 9. Mulai Terungkap

Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. 

Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. 

"Nak, Mama mau ada perlu sama kamu."

Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang.

"Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya.

"Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa.

"Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku.

Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi.

"Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?"

"Iya," jawabnya singkat.

"Buat apa, Nak?" tanyaku.

"Itu Bu, buat bayar sepatu yang datang. Tapi tenang saja, Bu, minggu depan sudah dibayar, kok, sama orangnya," terangnya yakin.

"Lain kali itu bilang dulu sama Ibu. Jangan lancang kaya, gitu," ujar suamiku.

Yanti hanya mengangguk dengan mencebikkan bibirnya. Kalau anakku sendiri, sudah pasti aku tarik itu bibirnya. Astagfirullah ....

"Kamu waktu pinjam Bu Wati, apa sudah dikasih tahu soal bunganya?" tanyaku kali ini.

"Bukan bunga Bu, tapi denda kalau telat. Cuma lima puluh ribu, kok, Bu," jawabnya enteng.

"Kamu bilang cuma lima puluh ribu? Dapat dari mana kamu uang andai bukan Ibu, yang bayar, hah?!" Suamiku kembali emosi. 

Jangankan suamiku, aku pun jadi tersulut emosi menghadapi bocah tengil satu ini.

"Ingat ya, Nak, pertama dan terakhir kalinya. Jangan pernah pinjam Bu Wati. Dia itu rentenir. Mama yang sudah tinggal di sini saja, tidak mau urusan sama dia. Kok, kamu bisa-bisanya urusan ma Bu Wati. Jangan diulang, ya," tekanku.

Gadis itu hanya menunduk, menekuri lantai. Entah menyesal dengan perbuatannya atau bagaimana aku tidak tahu. Yang jelas tak terucap kata ma'af sedikit pun dari bibirnya.

Kejadian itu sudah berlalu berminggu-minggu. Semua terlihat sudah normal kembali. Ibuku masih tinggal bersamaku. Karena memang beliau sudah menjanda.

Hingga tiba di suatu hari, selepas salat Magrib, semua anak-anak sedang mengaji di lantai atas. Aku dan suami asyik menemani si bungsu menonton You Tube di smart televisi kami. Sebuah notifikasi masuk ke salah satu ponsel anak-anak yang kebetulan di charger di samping meja tamu.

[Pengajuan pinjaman online Anda sebesar lima juta telah kami setujui]

Mataku sampai terbeliak lebar membaca pesan tersebut. Gegas kulepas ponsel dari colokan listriknya.

Kubolak-balik ponsel tersebut dengan gemetar. Berani sekali gadis itu sampai meminjam uang di aplikasi Pinjol. Antara geregetan dan marah membuncah jadi satu.

"Ada apa, Dek?" tanya suamiku.

"Ini! Baca sendiri," kataku sambil menyodorkan hp salah satu milik keponakanku.

Sesaat Mas Alif tampak terdiam setelah membaca pesan tersebut. Tarikan napasnya dipenuhi amarah, mimik mukanya memerah. Aku berkali-kali sampai harus menarik napas, karena menahan sesaknya perasaan ini.

Bagaimana dia yang masih sekolah, sampai berani melakukan pinjaman online tanpa sepengetahuan kami selaku orang tua angkatnya. 

Tak lama azan Isya pun terdengar, Ustad Karim turun dan pamit kepada kami. 

Anak-anak ikut turun di belakangnya. Vian tampak langsung pamit ke masjid. Sementara ketiga gadis itu meletakkan bokongnya di karpet yang biasa digelar di ruang keluarga.

"Yanti! Apa maksud kamu sampai berani melakukan pinjam uang di Pinjol?" tanya suamiku.

Ketiga gadis itu, termasuk sulungku Firda ikut terpaku mendengar pertanyaan ayahnya. Sementara Yanti dengan gugup dan tubuh bergetar, berusaha untuk mencari alasan.

"I-itu, Yah, eh Om, aku ga pinjam, kok. Itu, temenku asal-asalan masukkan aja kok, waktu itu," jelasnya dengan terbata-bata.

"Tapi di situ, ada keterangan pengajuanmu disetujui! Masih mengelak kamu?!" sarkas suamiku.

"I-iya, tapi saya tidak pinjam, kok," elaknya lagi.

"Jangan sampai kamu terlibat lagi urusan utang-utangan! Apa uang saku yang diberikan Ibu kurang? Transport juga sudah diantar jemput. Iuran dan beli buku pun, Ibu kasih beda ke kamu. Jangan kamu kira Ayah ini diam, terus kamu anggap tidak tahu apa-apa!"

"Kamu itu memang sulit dinasihatin, Yan. Padahal aku sudah bilang jangan bikin ulah yang aneh-aneh," sela Sari.

Yanti tetap tertunduk, lagi jarinya asyik memelintir ujung bajunya. Bahkan mimik mukanya tidak menyiratkan kekhawatiran atau ketakutan yang berarti.

"Kalau sudah disetujui, berarti dana sudah masuk atau bagaimana, Mas? tanyaku.

"Harusnya ya sudah masuk Dek, tapi anak ini bilang cuma asal-asalan yang masukin data."

Lalu suamiku memberi isyarat agar aku tidak membahas itu di depan anak-anak. Akupun mengiyakan, ke dapur sebentar mengambil cemilan. Terus balik lagi lagi ikut duduk bersama mereka.

"Buat apa kamu pinjam di pinjol?" tanya suamiku dengan kalem kali ini pada Yanti.

"Iseng saja, kok, Yah. Aku, ga,ada niat."

"Kalau gak ada niat, kok, pakai ngajuin pinjaman?" 

Yanti terdiam cukup lama, sampai semua mata tertuju ke arahnya. Akan tetapi dalam diamnya itu, Yanti masih bisa tersenyum-senyum gak jelas. Membuat aku yang melihatnya jadi geram. Sampai Sari pun, menyenggol bahu Yanti, agar terlihat gak cengengesan.

"Itu Yah, sebenarnya buat nambah modal jualan. Biar tambah banyak itemnya. Jadi, aku pinjam pinjol," jelasnya dengan tetap cengengesan.

"Ya Allah Nak, kenapa sampai harus begitu. Apa Mama tidak mengingatkan? Cukup jadi reseller saja. Kamu itu masih sekolah, bukan pelaku bisnis. Sekolah dulu yang benar, itu saja yang harus kamu lakukan untuk saat ini," tegas suamiku pada Yanti.

"Terus ... gimana itu sepatu kuning yang lalu? Sudah diambil sama pemesannya? Uangnya apa sudah dikembalikan ke Mama?" tanya suamiku bertubi-tubi.

Yanti terlihat semakin gelagapan, aku juga baru ingat, kalau dia belum mengganti uang yang aku buat bayarin bu Wati lebih dulu. Anak ini benar-benar kelewatan sudah kataku.

'Apa jangan-jangan, uangnya sudah habis buat foya-foya sama temannya?'

'Bisa juga uangnya untuk membeli ... ah pikiranku jadi ke mana-mana jadinya.'

"Ayo jawab! Gimana kabar uang sepatu itu? Itu uang Mama. Uang halal dari seharian meninggalkan kalian anak-anaknya di rumah. Sampai akhirnya malah kamu salah gunakan," cecar suamiku.

Yanti tetap bergeming tak menjawab, dia terlihat pura-pura sibuk dengan androidnya. Aku semakin mengelus dada melihat kelakuannya. Suamiku pun terlihat sudah sangat kesal karena ulahnya.

"Yanti! Jangan semakin kurang ajar kamu!" bentak suamiku dengan kasar.

"Ayo Mbak, kita makan dulu yuuuuk ...," ajak Vian yang tiba-tiba muncul dengan secobek rujak manis yang dibelinya dari tetangga.

Sari dan Firda mengikuti adiknya makan rujak. Yanti terlihat hendak ikut bangun mendekati ketiga saudaranya. 

"Duduk kembali kamu di tempatmu!" hardik suamiku. 

Yanti pun urung bangkit. Kembali dia sibuk menekuri androidnya.

Entah terbuat dari apa hati anak itu. Wajah cantik, tetapi tidak dibarengi dengan akhlak yang bagus. Sungguh membuat kepalaku berdenyut sebagai seorang Ibu.

Tak sengaja tanganku membuka status W* milik Yanti yang nongol di barisan paling atas. Isinya membuat kepalaku semakin puyeng.

[Dibuka arisan 50k per Minggu khusus 10 orang saja. Segera chat W* nomer ini]

Alamaaakk ini anak bau kencur, akal-akalan mau ngadain arisan.

'Bencana apalagi ya ... Allah?'

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status