Share

Bab 8. Yanti Mulai Bikin Masalah

[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] Firda

Sebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian.

'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?'

Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama.

"Jadi kalian mau ikutan jualan online?"

"Iya, Te" jawab Sari sendiri. 

Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku.

"Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir.

"Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD."

Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan.

"Mulai nanti ada belajar ngaji di rumah."

"Gurunya siapa, Ma?" tanya Vian antusias.

"Orangnya sudah tua apa masih muda, Ma? tanya Firda.

"Lihat saja nanti, yang pasti Mama ingin kalian bersungguh-sungguh belajar mengajinya. Agar nanti, bisa jadi pegangan hidup. Pandai pun kalau tidak berakhlak tiada guna," tuturku pada mereka.

Semoga dengan memperdalam Al-Qur'an, mereka akan semakin mensyukuri nikmat-Nya.

~~~~~

Terdengar sayup-sayup suara anak-anak mengaji dari lantai atas. Sungguh suatu kebahagiaan bagi orang tua. Memiliki anak-anak yang salih dan salihah.

Selain belajar tajwid, mereka juga diajarkan makhraj(ketepatan ucapan ). Jadi tidak asal bunyi saja, tetapi ada aturan-aturan pelafalannya.

Selama hampir dua minggu, lidah mereka mulai menguasai bacaan huruf dengan tepat. Ustad Karim juga sangat sabar membimbing anak-anak kami. Mereka juga diajarkan tata cara salat yang benar. Tak lupa pula pelajaran soal adab anak kepada yang lebih tua.

Masya Allah sekali hasilnya. Kami selaku orang tua, sangat terharu melihat anak-anak yang mulai lancar membaca Al-Qur'an.

Selesai mengaji, biasanya anak-anak belajar sebentar, untuk sekedar mengingat kembali pelajaran tadi siang. Kulihat Firda masih asyik membuat kliping macam-macam obat keras, karena memang dia sekolah di farmasi. Vian juga terlihat sedang menyusun buku untuk besok.

Aku membersihkan bekas makan malam kami dibantu Sari, karena cuma dia yang tidak bersekolah. Rencananya, mau ambil paket A saja. Biar Sari juga tidak ketinggalan pelajaran.

Sari terlihat sedang mencuci piring-piring kotor, aku beranjak ke atas membereskan tumpukan cucian yang belum diselesaikan Mbak Romlah.

Ketika akan menaruh sprei di lemari, tanpa sengaja mata ini menoleh ke arah Sari yang masih sibuk di wastafel. Namun, kali ini Yanti turut berdiri di samping Sari. Yang mengejutkanku, Yanti nampak memukul-mukul kepala Sari dengan centong nasi. Sementara Sari tak terlihat sama sekali melawan. Dia terus saja mencuci piring.

"Rasakan ini, Yu!" kata Yanti dengan terus memukul kepala Sari. 

Aku sengaja berdiam diri agak jauh dari mereka, karena ingin tahu ada apa sebenarnya? Bahkan kulihat Yanti tampak semakin mencaci-maki Sari, anehnya Sari tetap terdiam. Hanya terlihat bahunya yang berguncang, mungkin menangis.

Ketika Yanti menoleh ke belakang, aku pura-pura berjalan memunggui mereka, ke arah lemari es. Yanti nampak menghampiriku, tapi aku pura-pura sedang mencari sesuatu.

"Ibu mau ambil, apa?"tanyanya dengan wajah innoncent-nya. 

Ah, kalau tidak melihat sendiri kejadian lima detik yang lalu, mungkin mata ini bisa tertipu oleh wajahnya yang sok kalem menurutku.

Tiba-tiba menguap begitu saja rasa simpatiku padanya, tetapi aku masih bersikap wajar di depannya. Seperti tidak terjadi apa-apa.

"Mau nyari jamur, tapi lupa ditaruh di tepak yang sebelah mana?" jawabku sambil membongkar susunan tepak sayurku.

Tampak Yanti ikut sibuk membantu mencari. Aku melirik sekilas ke arahnya. Menghela napas berat, bagaimana bisa dia terlihat setenang ini. Setelah dengan seenaknya, tangan halus itu memukul-mukul kepala Sari.

"Sepertinya habis, tapi Mama lupa," kataku.

Aku beranjak dari dapur, niatku ke depan sekedar duduk santai di depan rumah menemani mas Alif yang sedang ngobrol bersama pak Husni, tetangga sebelah rumah.

"Mbak Aira!" seru Bu Wati yang terkenal sebagai tukang cicil barang dan uang di kampung kami.

"Eh, Bu Wati, dari mana, Bu?" Sekedar berbasa-basi.

"Dari ambil tagihan," sahutnya gak ada manis-manisnya.

"Owh ...."

"Saya ke sini sengaja, ada perlunya sama Mbak Aira."

"Oh ... ada apa, ya, Bu?" tanyaku heran. Tumben sekali dia ada perlu denganku. 

'Ada hal apa sampai dia mendatangiku?'

"Mau minta uang saya, yang dipinjam sama Ponakan Ibu yang cantik, itu?" ucapnya mengagetkan.

Sontak saja mataku membulat mendengar penjelasannya. Keponakan yang mana ini maksudnya? Karena di rumah ada dua orang keponakan dari Mas Alif. 

Lagian, masa iya, mereka ada urusan dengan bu Wati. Aku yang sudah lama tinggal di sini saja, enggan berurusan dengannya. 

'Bagaimana mungkin, salah satu di antara mereka bisa berurusan dengan bu Wati?'

"Kemarin ponakan Mbak Aira itu ke rumah, pinjam uang dua ratus ribu. Bilangnya malam mau di balikin, eh sampai sekarang belum juga dibayar," cerocosnya.

Suamiku yang sedang berbincang dengan pak Husni, sontak turut menoleh mendengar ucapan bu Wati yang cukup keras itu. Pak Husni pun, terlihat geleng-geleng kepala.

"Buat apa, ponakan saya pinjam ke Ibu?"

"Bilangnya sih, buat bayar sepatu pesanan orang," gitu.

Berbagai pertanyaan berseliweran di kepala tanpa menemukan jawab. Aku tahu betul karakter bu Wati seperti apa, meskipun tidak pernah berkumpul dengannya tiap hari. 

Bagi orang seperti bu Wati, uang adalah segalanya. Dia rela bekerja sampai malam pun, demi mengambil bunga dari uang yang diutangkan kepada mereka, yang tidak lagi memiliki tempat meminjam, selain dirinya. Meskipun dengan bunga yang mencekik.

Aku merogoh saku daster, kebetulan memang karena kebiasaan mengantongi uang. Kuulurkan dua lembar warna pink ke bu Wati. Namun, tangannya menepis pelan jemariku.

"Ngembaliinnya, ya, dua ratus lima puluh ribu dong, Mbak. Mana ada yang gratis zaman, gini. Kencing aja, bayar dua ribu."

Dahiku semakin berkerut mendengar penjelasannya. Rentenir banget orang ini. Pinjam juga baru semalem dua ratus ribu, kenapa sudah berbunga jadi dua ratus lima puluh ribu? Benar-benar tepok jidat karena ulahnya.

"Bu, kenapa kemarin dipinjami? Kok tidak konfirmasi ke saya dulu? Lagian, semalem saja bunganya sampai lima puluh ribu," omelku ga mau kalah.

"Eh ... Mbak Aira ini. Sudah dipinjami keponakannya, gak terima kasih. Malah saya diomeli. Lagian, kemarin saya sudah bilang soal denda itu sama keponakannya, Mbak. Lima puluh ribu itu denda Mbak, bukan bunga," cerocosnya.

"Kalau gitu, Bu Wati tagih saja sendiri ke anaknya. Jangan minta istri saya!" hardik Mas Alif yang ikut tersulut amarah.

Bu Wati langsung menyambar uang yang masih di tanganku. Lalu bergegas pergi, menstater motornya. Sambil mulutnya tak henti mengumpat kami.

"Dasar orang kaya bohongan! Lagaknya aja yes, bayar hutang kok pakai nawar!" makinya sambil berlalu.

Aku mengelus dada melihat kejadian tersebut. Pak Husni juga terlihat tidak senang, melihat tingkah bu Wati tadi.

"Kenapa langsung dibayar, Dek? Kok ga ditanyain dulu ke anak-anak."

Aku menghela napas dalam, tak mungkin bu Wati itu sampai berani nagih, kalau tidak pinjam uang miliknya. 

Gegas aku beranjak masuk ke dalam rumah, tetapi belum sampai menyentuh pintu gerbang rumah, seseorang menegurku.

"Mbak Aira, untung ada di luar ini. Mau aku kasih tahu," tegur Mama Salsa tetangga belakang rumah.

"Eh, ada apa?" tanyaku penasaran.

"Kemarin siang, aku lihat si Yanti kok ada di rumah, Bu Wati. Apa ... Mbak ada suruh dia, gitu?"

    

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status