"Yanti! Kamu dengar tidak? Saya sedang berbicara denganmu!" bentak suamiku.
'Inikah yang dimaksud Ibu panti, tentang kelakuan Yanti yang ganjil itu?' monologku dalam hati.
Sementara kedua anakku telah bergabung bersama kami di meja makan.
Yanti hanya mendongakkan kepalanya, lalu membentuk senyum cengiran kepada suamiku. Helaan napas terdengar darinya. Aku mengangsurkan minum, agar emosinya tidak semakin menjadi.
Kami melanjutkan makan lagi, kali ini tak ada obrolan kecil apa pun.
~~~
Esoknya aku berangkat ke toko bersama suamiku. Si kecil asyik merajuk minta ikut, tapi setelah dibujuk akhirnya dia lupa. Bisa-bisa, semua dibikin acak aduk sama Adek Jaya.
Semakin hari, semakin menggemaskan saja melihat tingkahnya. Apalagi kalau sudah bermain puzzle, wow, jangan ditanya betapa kacaunya rumah kami. Untungnya ada Mbak Romlah, asisten rumah tangga yang membantuku menghandle pekerjaan di rumah, kecuali memasak tetap aku lakukan sendiri.
Begitu buka toko, langsung ada pembeli yang memborong beberapa helai baju untuk acara nikahan. Selepas itu, aku lalu ijin ke suamiku untuk turun.
Segera aku menuju toko yang menjual dalaman untuk anak-anak remaja. Bra dan CD masing-masing aku beli satu lusinan untuk Yanti.
Begitu juga dengan baju untuk dipakai sehari-hari. Aku membelikannya 6 pcs, agar bisa untuk berganti-ganti.
Semua kulakukan tanpa pamrih, aku melakukannya karena teringat akan nasibku sendiri. Selepas sekolah dasar, aku sudah ikut Pamanku. Jadi aku tahu bagaimana rasanya, tidak diasuh dengan orang tua.
Tak ada waktu untuk sekedar jalan ke Mall, apalagi untuk meminta uang jajan lebih. Pagi pun sudah pergi mengantar termos es, untuk dititipkan di warung-warung. Setelah itu ke pasar, dengan selembar catatan belanja dari bibiku.
Jika kalian berpikir tinggal dengan keluarga kaya itu enak, maka akan aku jawab tidak enak sama sekali. Biar pun di sana, kamu akan menjumpai semua yang serba ada.
Adakalanya, rindu pelukan Ibu. Secerewet apa pun Ibumu, ketika kalian jauh, maka kamu akan tetap merindukannya. Dia yang lebih mengenal siapa dirimu, karena sejak dalam rahimnya, napasmu adalah bagian terpenting dalam kehidupannya.
Kini, aku memberlakukan sama kepada setiap anak asuhku. Tidak banyak, hanya ada yang aku asuh karena Bapaknya lumpuh. Ada juga yang memang yatim-piatu, tapi mereka tetap tinggal bersama keluarga mereka sebelumnya. Hanya di tiap-tiap waktu tertentu, mereka datang karena aku memintanya mengambil yang menjadi hak mereka.
Aku juga membiasakan mereka menyebutku Ibu atau Mama seperti anak-anak kandungku sendiri. Memberi pendidikan yang layak dan prasarana kebutuhan sekolah mereka. Walau pun tak mahal, tapi aku berusaha memberikan yang terbaik.
Sekarang ada Yanti yang telah tinggal di rumahku. Aku tetap membagi tugas untuk semua kegiatan di rumah. Anakku sendiri juga aku ajarkan untuk turut membantu pekerjaan di rumah, meski pun ada Mbak Romlah yang aku gaji sebagai ART.
~~~Sore itu, terlihat semua sudah berkumpul di ruang keluarga. Makan sore pun sudah tersaji lengkap dengan lauknya. Mbak Romlah kemudian pamit pulang.Setelah makan malam, masih ada jeda sebelum maghrib. Kami bercengkerama sambil nonton televisi. Ulah anakku yang kecil, membuat kami semua tak lepas dari tawa.
Aku teringat bingkisan yang kubeli untuk Yanti. Lalu menyuruh Vian untuk mengambilkannya.
Kuberikan bingkisan itu kepada Yanti. Gadis itu menerimanya serta membawanya ke atas. Vian masih berdiri di sampingku sambil tersenyum. Aku mengacak sayang kepalanya.
"Nanti, kalau Mama ada rejeki. Mama belikan hadiah ya," janjiku padanya.
"Tapi, Ma ...." ujarnya menggantung.
"Ada apa?" aku bertanya balik pada anak tengahku itu.
"Kok, Mbak Yanti gak bilang terima kasih ya ama Mama?" herannya.
Deg. Aku baru menyadari ucapan Vian, setelah Yanti tadi ke atas tanpa sepatah kata pun.
"Mungkin, Mbak Yanti lupa Nak." Terangku pada Vian, agar tidak berpikir macam-macam.
Tapi dalam hatiku, sedikit ikut tercubit akan ucapan Vian tadi. Semoga saja dia tidak sengaja melakukannya, gumamku dalam hati.
~~~~
Setelah makan, kami asyik bercengkerama di ruang keluarga. Suamiku tampak tengah asyik menonton ILC, anak-anak sendiri sibuk dengan tugas masing-masing yang di dapat dari sekolah.
Dari depan terdengar suara mengucap salam. Setelah Firda membukakan pintu, seorang gadis tampak besertanya masuk ke dalam rumah.
"Te ....." tegurnya sambil tangannya meraih jemariku untuk disalaminya. Juga menyalami tangan suamiku.
"Sama siapa, Sar?" tanyaku pada gadis yang tak lain Sari kakak Yanti.
"Sendirian," jawabnya.
"Dari mana malam begini kok masih keluar?"
"Dari kerja, Te. Sengaja mampir karena di W* sama Yanti suruh ke sini."
"Berarti selama ini kalian saling berkomunikasi?"
"Ya, Te."
"Kalian sudah tahu soal Bapakmu?" tanyaku hati-hati.
Sari hanya menganggukkan kepala. Bahunya lalu naik turun perlahan, dengan isakan yang perlahan. Nelangsa juga aku melihatnya. Sementara kulihat Yanti hanya tersenyum-senyum tidak jelas melihat kakaknya yang menangis.
Ada sedikit tanya dihati. Apa dia tidak bersedih ditinggal Bapaknya. Sementara Sari terlihat begitu menyedihkan. Bisa jadi karena Sari sedikit banyak pernah tinggal dengan Bang Hendro, jadi ikatan emosinya lebih dalam. Sementara Yanti memang sejak kecil tinggal bersama nenek dari Aminah, Ibunya.
"Kalau boleh, Sari ingin melihat makam Bapak, Te?" pintanya dengan suara bergetar. Suamiku pun turut mengalihkan perhatian begitu mendengar permintaan Sari.
Dari sudut kasur lantai yang kugelar di ruang keluarga, Yanti hanya cengar-cengir. Bahkan, dia tampak asyik ngobrol sendiri dengan Firda sulungku.
"Ya sudah, nanti pas tujuh hari Bapakmu. Kalian bisa turut kami."
"Berarti kurang berapa hari lagi, Te? Biar aku bisa ijin sama Bosku," tuturnya lagi.
"Minggu besok, Nak. Apa kamu lembur?" tanyaku memastikan. Tampak Sari menggeleng.
"Ya sudah jangan lupa kalau gitu."
"La kamu sekarang tinggal di mana, Sar?" tanyaku lagi teringat aku belum tahu di mana dia tinggal sekarang.
"Tetap ikut orang yang dulu itu, Te. Tetapi, sekarang di gang seruni."
Sebelumya Sari diambil oleh Bang Hendro dari nenek istri pertamnya. Dia diajak tinggal bersama Bariyah setelah mereka menikah. Entah sebab apa, Bang Hendro lalu menitipkan Sari padaku. Waktu itu dia masih umur 12 tahun.
Selama hampir enam bulan dia ikut aku. Dengan dalih mau dipondokkan, Bang Hendro mengambil Sari dari kami. Aku pun tak berhak melarang. Selentingan yang kudengar, Sari bukannya mondok. Tetapi dia dipekerjakan di rumah tangga.
Lama tak terdengar berita, Bang Hendro ke rumah meminta tolong pada suamiku untuk ikut mencari Sari. Sari kabur, tapi majikannya tidak tahu kabur kemana.
Selama pencarian, suamiku pun turut mengancam majikan tersebut agar membantunya mencari juga. Semuanya serba teka-teki. Untungnya Bang Harun memberitahu melihat Sari ikut keluarga yang sekarang ditinggalinya.
Sempat kami samperin sambil menitipkan keponakan kami. Namun hanya sebentar saja, lalu terdengar kabar, Sari mengambil kabel charger milik orang itu. Kumala, si pemilik rumah marah-marah kepada Sari. Lalu mengabari, agar kami menjemput Sari dari rumahnya. Aku pun menjemputnya dan menampung di rumahku.
Lagi, saudara Sari dari Ibunya datang ke rumah kami. Mereka bilang mau mengajak Sari untuk bekerja di pabrik. Dengan persetujuan Bang Hendro, aku melepas Sari. Sungguh tidak dapat dibayangkan, hidup berpindah dari tangan satu ke tangan yang lain.
Begitu jalan yang dilaluinya. Lamunanku terputus karena suamiku menyuruh Sari untuk makan.
"Makan dulu sana Sar, itu di meja makan." Tunjukku padanya.
"Kalau memang mau nginep di sini juga boleh. Tapi jangan lupa ijin Ibu asuhmu," kataku mengingatkan.
"Iya Te," jawabnya lalu beranjak ke ruang makan.
Aku menatap tubuh ringkih yang berbalut jaket jeans kumal. Dibutuhkan ketegaran, untuk menjadi dia.
Segala keperluan sekolah baru Yanti, telah aku selesaikan. Semua biaya pun sudah kubayarkan tunai. Tinggal membeli perlengkapan saja. Tak jadi masalah buatku.Pagi ini rencananya aku mau ketemuan lagi ama Ibu panti. Sekalian mengambil persyaratan keperluan sekolah baru Yanti yang masih tertinggal. Karena dipergunakan untuk ujian negara nantinya.Lalu-lintas tak begitu padat siang ini. Ditemani sopirku, melaju ke rumah beliau. Sekedar buah tangan, kubeli pisang secengkeh dan jeruk mandarin buat oleh-oleh."Assalamu'alaikum ...." ucapku."Wa'alaikumsalam Jeng, kita langsung saja ya. Lha ini apa kok pakai repot segala?" tanya beliau ketika kuulurkan bawaanku tadi."Buat teman nonton tivi, Bunda." "Ibu jadi merepotkan ini.""Tidak kok, mari kita jalan," ajakku."Langsung ke sekolah dulu ya, Jeng."Mobil pun melaju ke sekolah Yanti sebelumnya. Disambut Kepala Sekolah dan Wali kelasnya, kami berbasa basi sebentar."Padahal setahu saya, Yanti bilang tidak ada saudara lho Bu. Jadi saya sempa
Esoknya aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Selesai mereka sarapan masing-masing berangkat sekolah, kecuali Sari yang memang tidak bersekolah. Bersama Mbak Romlah, dia turut membantu membersihkan piring-piring bekas sarapan tadi.Sebelum berangkat ke toko, pagi ini aku berencana untuk belanja kain pesanan seragaman untuk acara akad nikah langganan. Sekalian kulakan barang-barang yang telah habis juga. Biar bisa sekalian angkutnya.Kesibukan seharian membuat hari terasa begitu pendek. Tiba-tiba sudah sore lagi, dan waktunya pulang ke rumah.Telepon pintarku berdering."Assalamu'alaikum, Nak." Terdengar suara wanita renta yang melahirkanku dari seberang sana."Wa'alaikumsalam ... iya Bu, ini Aira masih di jalan.""Gak apa-apa, cuma mau bilang. Ibu sudah sampai di rumahmu. Tadi minta antar Mas Rudi naik mobil carterannya.""Owh, syukurlah, kalau gitu. Nanti biar Aira telpon Mas Rudi soal ongkosnya.""Ya ... Ibu cuma mau bilang itu. Ya sudah, Assalamu'alaikum ....""Wa'alaikumsalam
"Sudah dipanasin semua, Mbak?" tanyaku pada Mbak Romlah yang sedang berada di dapur.Setiap pagi, aku mengharuskan anak-anak harus sarapan sebelum pergi ke sekolah. Agar perut mereka terisi, sehingga bisa menerima pelajaran dengan baik. Jika perut mereka keroncongan akan mengakibatkan mereka juga tidak konsentrasi."Sudah Buk ... anak-anak juga sudah sarapan lalu berangkat sekolah dengan bekal dari rumah."Mbak Romlah memberitahu kepadaku. Aku hanya mengangguk lalu mulai membantu mengupas bawang. Tadi pagi-pagi sekali aku sudah ke gudang. Mengecek barang yang perlu dipacking untuk dikirim ke pelanggan.Baru agak menjelang jam delapan balik lagi ke rumah. Memasak sebentar, karena suamiku hanyak cocok makan racikanku."Sari di mana, Mbak?" Aku celingukkan mencari keponakan mas Alif tersebut.Tidak biasanya gadis itu sudah menghilang pagi-pagi begini."Tadi pamit ke rumah Ibu angkatnya Buk, buat ambil baju bentar.""Owh ...."Tanpa sengaja kami bersamaan saling memanggil."Kamu dulu yan
"Ini siapa?" tanya suamiku.Serentak ke-tiga gadis berseragam itu menoleh ke arah suamiku. Yanti terlihat berdiri di dekat tangga dengan tubuh sedikit bergetar karena sorot mata suamiku yang sedang tertuju ke arahnya."Teman saya," jawab Yanti.Situasi tiba-tiba hening. Padahal di ruang keluarga semua sedang berkumpul. Tak terkecuali Mbak Romlah, yang masih belum beranjak pulang."Buk ... Ibuk," panggil Mbak Romlah dari sekat pintu tengah. Aku berjalan menghampirinya. Sepiring sosis goreng yang masih hangat dia berikan kepadaku. Dengan penuh keheranan aku menerimanya. Siapa yang mau makan sosis goreng begitu banyak? Tapi keburu ketiga tamu tadi berpamitan.Pamit pulang, tapi hanya kepada Yanti. Bahkan ketika mereka melewati suamiku, tak sepatah kata pun terlontar sekedar berbasa basi.Masih dengan tatapan penuh keheranan, aku mengiringi kepergian mereka dari rumahku. Bagaimana ada manusia seperti itu? Sekolah di basis agama, tapi akhlaqnya naudzubillah. Aku pun kembali masuk."Enak
[Mama, apa boleh Mbak Yanti ikut berjualan online sepertiku?] FirdaSebuah notifikasi masuk ke layar pintarku, dari Firda. Aku mengernyitkan dahi membaca pesan tersebut. Bukan soal isi pesannya yang membuatku demikian. 'Tapi ... rencana besar apalagi yang akan dibuat oleh anak itu?' Tak kubalas sms dari anakku-Firda. Keesokan sorenya, aku menanyakan pada Yanti dan Sari. Soal mereka yang mau ikutan jualan online. Tidak masalah, yang penting sekolah tetap hal utama. "Jadi kalian mau ikutan jualan online?" "Iya, Te" jawab Sari sendiri. Kulihat ke arah Yanti yang pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian akhirnya menoleh juga ke arahku. "Kamu juga?" tanyaku pada Yanti. Lagi-lagi dia hanya cengar-cengir. "Boleh jualan online, tapi harus ingat satu hal. Sekolah tetap yang utama. Ingat juga, kalau pembeli belum transfer uang, jangan dikirim dulu. Kecuali, kalian sudah janjian COD." Ketiga gadis itu mengangguk. Bagiku, semua keingintahuan mereka adalah proses kehidupan. "Mulai nant
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mama Salsa atas informasi yang diberikan, aku semakin yakin bahwa Yanti benar-benar meminjam uang dari Bu Wati. Ketika aku akhirnya masuk ke rumah, kulihat Yanti sedang asyik berbalas pesan sambil menonton tivi. Firda dan Sari nampaknya sudah naik ke atas untuk tidur. "Nak, Mama mau ada perlu sama kamu." Aku memang memanggilkan diriku Mama kepada mereka semua, agar tidak canggung. Yanti yang sebelumnya tidur-tiduran, bangkit duduk di dekatku. Aku mencoba menatapnya dengan pandangan kasih sayang. "Kamu, apa ada yang ingin disampaikan kepada Mama?" tanyaku sebelum aku meminta penjelasan darinya. "Tidak ada, Bu," jawabnya sambil sesekali berbalas pesan entah dengan siapa. "Kamu itu kalau diajak orang tua bicara, perhatikan!" hardik suamiku yang sedari tadi terlihat diam di sampingku. Yanti hanya mendongak sebentar, lalu menunduk lagi. "Ayah tanya sama kamu. Betul kamu pinjam uang ke Bu Wati?" "Iya," jawabnya singkat. "Buat apa, Nak?" tanyak
Dengan rasa tak sabar, aku pun berusaha mengontrol emosiku terlebih dahulu. Bagaimanapun, dia cuma anak-anak yang masih butuh bimbingan orang tua.Perlahan kudekati Yanti, suamiku tampak tidak senang. Bahkan kedua anak kandungku tampak merespon dengan wajah masam. Hanya Sari yang terlihat seperti orang berpikir keras."Lho Nak, kok kamu bikin status begitu? Siapa memang yang bikin arisan? Apa kamu jadi boreknya?" tanyaku dengan perlahan.Borek itu semacam pemimpin arisan yang tugasnya nanti, apabila ada yang tidak bayar, maka borek tadi yang jadi penanggung jawabnya. "Bukan Bu, teman saya. Cuma bantu promokan saja," alibinya."Kamu juga ikut?" tanyaku lagi.Yanti tampak mengangguk samar-samar. Bahkan ketika aku tekan di status ke-dua yang diunggahnya, ada lagi status yang sama dengan jumlah nominal yang berbeda beda. Ada hingga lima unggahan."Saya ikut tiga."Berani sekali dia ikut arisan, mataku sampai membulat lebar mendengar pengakuannya. Anak sekolah dengan uang saku 15 ribu. Ta
"Eh Yanti! Otakmu di taruhdimana sih?" sahut Sari yang sedari tadi diam memperhatikan."Ya di kepala, Yu! Masa didengkul?" sewotnya pada Sari."Kalau di kepala, gak mungkinloadingnya pentium satu. Bahkan kukira kamu taruh di kakimu. Ya, kaki yang baudan penuh kutu air," tangkis Sari."Awas kamu Yu! Jangan coba-cobangomporin Ibu!""Lho emangnya ngapain juga mestinomporin, Tante?" ucap Sari sambil membulatkan matanya. Keduanya jadi terlibat argumen panas, tanpa peduli aku dan Mas Alif masih ada di sana."Sudah! Sudah! Malah tambahberantem," lerai suamiku itu pada akhirnya."Kamu saya tanya sekali lagi.Masih mau sekolah atau gimana?" tanya suamiku dengan tatapan tajam ke arahYanti."Ya mau sekolah, Yah."Setelah menjawab, Yanti kembalimenunduk tak segarang ketika beradu mulut dengan Sari. Suamiku tampak masihmenatap ke arah Yanti."Kalau mau sekolah, yang benar!Jangan pake bikin acara yang aneh-aneh! Ingat itu ya, Nak?""Iya Yah, akan saya ingat."Yanti nampak beranjak dari d