Share

Bab 2. Penghuni Baru

"Jenazah, banjir darah lagi kafannya, Neng." Seorang Ibu berbisik tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Bariyah, suaranya cukup terdengar olehku juga.

Mbak Bariyah terlihat berdiri menuju ke tempat jenazah disemayamkan. Ada perasaan miris di dadaku, sampai begitu parahkah sakit yang di derita, Bang Hendro? Hingga jenazahnya tak berhenti mengeluarkan darah.

Kesibukan mengganti kain kafan segera dilakukan. Pak Modin terlihat segera mengambil alih, lalu setelah suci kembali kemudian mensalatkan jenazah.

Setelah pemakaman Bang Hendro, kami bertolak pulang dengan pertanyaan yang masih menjadi ganjalan. Bahkan, suamiku pun tadi berkata, kalau Bang Hendro meninggal dalam keadaan yang tidak wajar.

Melihat kejadian tadi, membuat kami bertanya-tanya. Apa Bang Hendro tidak di perdulikan oleh istrinya 'kah? Hingga jenazah terus-terusan mengalami pendarahan.

Jika memang demikian, itu artinya liver almarhum sudah pecah kata suamiku. Berarti selama ini memang Bang Hendro hanya dirawat di rumah, tanpa fasilitas yang memadai. Sepanjang jalan pulang, kami penuh dengan disesaki pertanyaan yang tidak ketemu ujungnya.

"Lho ... terus anak-anaknya Hendro dari almarhummah Aminah gimana ya, Lif ?" tanya Bang Harun pada Mas Alif suamiku. Bang Hendro memang pernah menikah sebelumnya, setelah kematian istri pertamanya dia lalu menikah dengan Bariyah istri keduanya kini.

"Nanti biar aku dan Aira yang mencarinya," kata Mas Alif suamiku dengan embusan napas yang penuh tekanan dan memandangku sejenak dari kursi kemudi.

Bagaimana tidak, selama ini Bang Hendro jarang berkomunikasi dengan kami. Sewaktu dia menelepon, dia hanya mengabarkan kalau dirinya sedang sakit. Jadi, akupun datang dan mendapatkan keterangan dari dokter, kalau penyakitnya sudah dalam keadaan parah.

"Coba nanti Abang cari tahu juga, kepada orang dulu, yang pernah diikuti oleh Sari," kataku pada Bang Harun.

Sari itu anak tertua Bang Hendro dari istri pertamanya. Anak Bang Hendro sebenarnya ada dua dari Aminah. Yang kedua namanya Yanti. Dulu Yanti ini ikut nenek dari Ibunya, sedang kabar terakhir yang kami dengar tadi mereka berdua sudah tidak di desa lagi.  Semua anak Bang Hendro berada di kota sekarang, hanya saja keberadaanya yang belum kami ketahui.

Selang dua hari Bang Harun menemuiku di rumah, dia bilang kalau Yanti ada di sebuah panti asuhan yang berbeda kota dengan kami. Sementara Sari sendiri, ikut orang yang dulu pernah menolongnya. 

Akhirnya, aku pun mendapatkan kepastian keberadaan keduanya. Sungguh perihal yang tidak mudah, bagaimana mungkin mereka terlunta di kota lain. Sementara Bang Hendro sendiri, setiap kali aku tanya kabar tentang anak-anaknya, selalu bilang mereka tinggal bersama neneknya di desa kelahiran istri pertamanya. Bersama istri keduanya Bang Hendro di karunia satu anak saja, Silvi. Semua anak Bang Hendro perempuan.

Berbekal nomer telepon yang kami dapatkan dari F* dan I*, akhirnya aku mencoba menelepon Yanti yang keberadaannya ada di panti asuhan. Hari itu juga, aku bersama suamiku menjemputnya.

Wajah tirus itu, menunjukkan bukti kehidupan yang tidak terurus dengan baik. Bahkan, Ibu pemilik panti sempat kaget dengan kedatangan kami. Karena selama ini, Yanti mengaku tidak tahu alamat saudara dari Bapak kandungnya.

Ibu panti pun sempat keberatan, ketika kami berkata hendak menjemput keponakan kami. Siang itu, aku bersama suamiku memaksa, bagaimana caranya, Yanti bisa keluar dari sana sekarang juga.

Ketika Yanti sedang berkemas di belakang, Ibu panti sempat berkata padaku.

"Yanti itu agak susah kalau dibilangin, Mbak Aira. Lain sama Sari lho, meskipun terlihat badung dan urakan gitu, tapi hatinya itu nelongsoan kalau dinasihati."

Aku hanya tersenyum sambil mencerna ucapannya, yang menurutku terlalu mengada-ada. Orang tidak akan langsung percaya, dengan apa yang dikatakan Ibu panti tersebut, demikian halnya aku. Suamiku sendiri hanya tersenyum saja ketika ikut mendengarnya.

Tak selang lama, Yanti keluar dengan membawa tas ransel di bahunya. Wajah cantik yang terlihat pucat dan kalem itu terpancar sedikit kebahagiaan, ketika kami bilang mengajaknya keluar dari panti tersebut.

Tak ada aktifitas yang mencolok di panti tersebut, namun saat aku bertanya ada berapa anak yang tinggal di panti tersebut. Ibu panti tampak gelagapan menjawab pertanyaanku. Lalu beliau pun berkata, bahwa sebagian dari anak-anak tersebut, sedang diundang orang menghadiri hajatan.

Mobil menuju arah pulang, membawa kami dengan sekelumit hal baru yang bagaimana nanti ke depannya.

Teronggok tas ransel di belakang kursi penumpang. Mirisnya, tas itu hanya berisi ijazah SD, SMP dan akte kelahiran si Empunya. Tak ada sehelai baju pun terselip di sana, hanya yang melekat di badan saja. Terlihat sangat kucel dan memudar, sungguh berbanding terbalik dengan keadaan putriku di rumah. 

"Kamu sudah makan, Nak?" tanyaku pada Yanti.

"Belum, Bu." Jawabnya singkat.

"Kita makan dulu? Atau langsung pulang, Dek?" tanya suamiku menyela.

"Langsung pulang saja, Mas. Aku tadi masak banyak di rumah."

Tak ada percakapan diantara kami, mobil melaju dengan tenang hingga tiba di rumah. Anak-anakku telah menyambut kami, begitu terdengar suara mobil berhenti di depan rumah.

Aku sendiri memiliki tiga orang anak, yang pertama cewek seusia Yanti. Yang kedua baru duduk di bangku SMP kelas satu, sedang yang terakhir nomer tiga, masih berusia tiga tahun.

Si Kecil menyambut dengan menghambur kepelukanku begitu kami memasuki halaman rumah. Yanti turut masuk disambut Firda, yang kemudian membawanya ke kamar atas, sambil menunjukkan letak kamar dan sebagainya.

"Itu siapanya, Mama?" tanya Vian, anak keduaku.

"Itu Mbak Yanti, sepupu Vian juga. Anak Pakdhe Hendro. Vian masih ingat Pakdhe Hendro 'kan?" Vian lalu mengangguk.

"Owh, berarti Mbak Yanti itu adeknya Mbak Sari 'kah, Ma?"

"Ya betul, sudah masuk sana. Ajak adek Jaya main," ucapku sambil mengusap kepalanya.

Lalu aku pun berlalu ke kamar mandi sambil tak lupa mencuci kaki dan tangan. Setelah membersihkan diri, aku mengajak keluargaku makan bersama. 

"Prank!"

Serentak kami kaget semuanya, terlihat pecahan piring berhamburan. Yanti berdiri diantara pecahan tersebut, matanya sulit digambarkan. Firda segera mengambil sapu, sedang Vian mengambil tas kresek untuk tempat pecahan tadi.

Yanti hanya melenggang pergi mengambil piring yang baru, lalu ikut duduk bersamaku.

Aku sampai terbelalak melihat kelakuannya, sementara anakku membersihkan pecahan tersebut. Bahkan, Firda  sampai mengambil tissue basah, lalu di usapkan ke lantai takut masih ada sisa beling kecil yang tak terpungut. Yanti tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Suamiku memberi isyarat dengan dahinya ke arahku. 

"Lain kali jangan begitu, bersihkan dulu pecahan tadi, baru kamu makan," tutur Mas Alif pada Yanti.

Yang diajak bicara tampak tidak menggubris, bahkan dia asyik menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Yanti! Kamu dengar tidak? Saya sedang berbicara denganmu!" bentak suamiku.

'Inikah yang dimaksud Ibu panti, tentang kelakuan Yanti yang ganjil itu?' monologku dalam hati.

*Tap bintang limanya serta komentar kalian selalu aku tunggu. love U All ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status