Katanya, Aku Pelit

Katanya, Aku Pelit

By:  Ipit Kalishgan  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
25Chapters
2.4Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Kisah mengenai suami pelit bernama Ipit dengan istrinya Tiara Kunyit-Chova yang sering boros. Kisah lucu mewarnai rumah tangga mereka, yang disusupi oleh orang ketiga

View More
Katanya, Aku Pelit Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
25 Chapters
Makan Siang
 Lagi asyik membaca berita panas, istriku menghampiri sembari menenteng tabung gas berwarna hijau. Di kemudian meletakkannya di tepat di hadapanku."Bang, gas abis.""Pake kayu bakar aja, Dek," usulku. "Kan udah Abang sediain tempatnya khusus."Zaman sekarang barang apa pun bisa menjadi langka secara tiba-tiba, termasuk gas LPG. Oleh karenanya, aku mengantisipasi hal tersebut dengan memanfaatkan sisa lahan di belakang, membuat perapian dengan bahan bakar kayu kering."Idiiih, ogah!" tolaknya."Kalo gitu, ya, udah. Nggak usah masak." Layar hape ku-scroll naik untuk melanjutkan berita yang terputus di tengah."Berarti makan di luar?""Eh, jangan!" Sontak aku berdiri. "Mahal, Dek. Minimal dua lima ribu per orang. Berdua kan jadi lima puluh ribu.""Ya, udah. Biar Adek sendiri yang makan di luar. Abang ngelamun a
Read more
Rencana Pembalasan
Kekalahan tadi harus kubalas. Pantang bagi anak Sungai Jawi untuk menyerah kalah. Masih di atas motor, aku mulai menyusun rencana agar malam ini dapat delapan ronde bersama Tiara. Hampir delapan ratus ribu tadi, Cuy. Masih untung kuhitung seratus ribu per ronde, kalau cuma lima puluh?"Abang pergi sebentar ke depan, Dek." Kuberikan helm pada Tiara untuk langsung ditaruhnya di dalam rumah."Mau ngapain?""Ketemu si Angga," kilahku karena sesungguhnya bukan itu yang akan kulakukan.Tiara beranjak masuk ke dalam. Aku menyunggingkan senyum licik. Dia tak tahu bakalan jadi menu utama nanti malam.Segera kupacu motor menyusuri jalanan beraspal. Bibir Suneo-ku berkibar terkena angin yang menerpa wajah karena tak memakai helm. Rambut keritingku tak bergerak, terlalu kering dan kaku. Lima belas menit berlalu, sampailah lelaki lucu yang jeleknya membumi ini di toko si Bancuk."Cuk!"
Read more
Jajan
Pak Ghazali yang pamit pulang diantar Tiara, mungkin sampai depan rumah. Sempat tadi terlihat olehku, Tiara mengambil beberapa lembar duit untuk diselipkan ke saku kemeja Pak Ghazali.Sungguh kelakuan istri boros. Padahal, cukup diberi ucapan terima kasih. Namanya juga tetangga, ya, harus saling tolong-menolong. Betul, kan?Derap langkah dan bayang hitam di bawah pintu menandakan Tiara akan segera masuk ke kamar. Bergegas kuselimuti diri hingga menutupi wajah, lalu berpura-pura tidur. "Abaaang!" Tiara berteriak kencang. Saking kencangnya, kalau kuntilanak dengar pasti sawan.Selimut ditariknya. Mata kupejamkan seketika. Tak lama, telinga kananku dipilas Tiara. Aku lantas berbalik badan dengan cepat untuk melepaskan diri, lalu mengusap telinga yang terasa amat perih akibat perbuatannya."Sakit, Dek ...!""Obat apa yang Abang minum? Hah?!" Matanya melotot garang. Aku t
Read more
Mecahin Telor Jep
Segar juga rasanya jalan-jalan pagi di kampung. Udaranya masih adem. Namun, jangan coba-coba ke luar rumah kalau sudah agak siangan sedikit. Pontianak panas luar biasa. Saking panasnya, kalau ada yang letak telur mentah di luar, terus ditinggal sebentar, balik-balik pasti sudah jadi anak ayam. Ajaib, kan?Aku ikut berbaur dengan komplotan janda-janda muda yang berkumpul di lapangan voli untuk latihan senam diiringi musik india bernada koplo. Enak, enak, joosss! Sesekali mataku nakal mencuri pandang. Lumayan buat penyegaran.Seusai senam, janda-janda muda itu mulai berbicang hangat. Mulanya, mereka membahas mengapa harga terong meroket. Lalu, beralih ke pembahasan politik. Dan akhirnya beralih ke topik awal, yaitu terong. Namun, terong yang dimaksud berbeda dari yang awal. Aku saja sampai senyum-senyum malu mendengarkannya.Ada baiknya ternyata ikut berkumpul dengan mereka. Selain mata jadi cerah, pikiranku yang semulanya k
Read more
Tukang Bakso Setan
 Malam menjelang, bulan sudah ada di peraduan. Sella mengantarkan makanan langsung ke rumah. Tiara tak tahu karena sedang tiduran di kamar. Alhamdulillah, tak ada yang mengganggu aku makan.Akan tetapi, baru juga aku menyendok kuah empek-empek dari mangkok sebanyak tiga kali, sudah ada yang memanggil namaku dari luar. Kuintip, ternyata Adit. Wah, makanan harus cepat disembunyikan. Bukannya apa, dia itu tipe geragas.Aku dilanda kebingungan. Harus menyembunyikan makanan di mana? Kalau di bawah tudung saji, bayangannya kelihatan. Tak enak kalau tak menawarkan. Simpan di kulkas juga bahaya. Kalau sempat si Adit mengambil minum, langsung ketahuan. Aduh, bagaimana ini?Aha, aku sembunyikan di kamar saja. Adit tak mungkin masuk dan Tiara juga sedang tidur. Fyuuuh ... selamat.Kubersihkan bibir dan sekitarnya, takut jikalau ada bekas kuah yang menempel di kumis. Bisa berabe na
Read more
Lee Mee Chin
'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku."Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda."Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya.""Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya."Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi. "Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?" Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat
Read more
Kebunku
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.  Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing. Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan.  "Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak." "Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini. "Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Read more
Belanja Mesin Cuci
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak. "Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko. "Ah, Abang suka gitu," gerutunya. Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink. "Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku. "Mesin cuci ada?" tanya Tiara. "Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok." "Beneran?"  "Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Read more
Bangkrut
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.  Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.   ********** "Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed. "Renata?"  "Iya, Kak." "Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya. "Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran." Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te
Read more
Tiara Memanfaatkanku
Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan. "Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku. Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh. "Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku. Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam. "Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"
Read more
DMCA.com Protection Status