Share

Kebunku

Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing. 

 

Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.

 

Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan. 

 

"Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak."

 

"Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini.

 

"Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira menyumpahiku.

 

Kujawab dia dengan tawa kecil sebab pikiran tiba-tiba saja jauh melayang kepada Tiara yang sendirian di rumah. Bisa saja si Lee Mee Chin datang bertamu, lalu Tiara yang terpukau dengan ketampanannya akan dimanfaatkan tanpa perlawanan, hingga terjadi sesuatu yang membuat kasur springbed tua kami itu berbunyi, nyit ... nyit ... nyit .... 

 

Ah, pikiran macam apa ini? Tidak, jauhkan hamba dari prasangka buruk, ya Allah.

 

Pak Wira mengunjukkan amplop coklat yang kemudian segera kusimpan di balik baju. "Sip, ya, Pak. Setengah ini saya terima dan sisanya bulan depan. Saya juga minta beberapa buah durian dan langsat untuk dibawa pulang," ujarku.

 

"Itu sudah saya siapkan, Pak Ipit. Di sana." Pak Wira menunjuk sebuah karung besar di atas arco. "Nanti setelah selesai dimakan, kulit duriannya jangan dibuang. Tapi, tolong berikan lagi ke saya."

 

"Buat apa, Pak?" Aku penasaran dan ingin tahu.

 

"Mau saya jadikan sandal. Bagus itu buat memperlancar darah."

 

"Bukan hanya lancar, Pak. Malah bisa merembes ke lantai."

 

Ada-ada saja Pak Wira ini. Kelakuannya absurd.

 

Selang beberapa menit, aku mulai mengikat karung berisi buah ke belakang motor. Setelah mampir ke rumah Pak Itam untuk membagi sedikit bonusnya dan Pak Wawan, aku pun memacu motor dengan sangat laju. Itu demi pulang dan melihat keadaan Tiara.

 

Aku risau. Apa yang sedang dibuatnya? Makan atau malah sedang dimakan? Meracik bumbu atau jangan-jangan sedang dibumbui.

Ah, aku benci pikiranku. Benar-benar benci!

-------

 

Tiiittt ...!

 

Klakson sengaja kubunyikan terus agar siapa pun yang ada di dalam rumahku segera keluar.

 

"Baaang!" Tiara berjalan dari samping rumah sambil menutup telinganya.

 

"Adek, lagi apa?" tanyaku sambil sesekali celingak-celinguk melihat keadaan. Mana tahu ada bayangan Lee Mee Chin.

 

"Lagi jemur baju Abang, nih." Tiara kembali ke samping.

 

Kuikuti dia. "Sini, biar Abang bantu supaya cepat."

 

"Eh, tumben." Nada bicaranya seakan menyiratkan bahwa dia merasa sedikit curiga.

 

"Udah, jangan banyak protes." Satu per satu pakaian dalam baskom kujemur di tali. Begitu selesai, kutarik tangan Tiara agar ikut masuk ke rumah.

 

"Bang, yang di motor itu nggak dibawa?"

 

"Bentar lagi. Abang harus mastiin kalau Adek masuk dulu."

 

Setelah memeriksa dan yakin akan keamanan seluruh rumah, barulah aku keluar mengambil karung besar yang masih terikat di motor, kemudian membawanya ke dapur.

 

Langsat kumasukkan dalam dandang besar. Durian kubelah dua buah, lalu meletakkannya di depan Tiara.

 

"Asyik!" Tiara mulai mengambil daging durian yang berwarna agak putih, sedangkan aku mengambil yang kuning.

 

"Tadi ada nggak si Bumbu Dapur datang?" tanyaku sambil menggigit daging durian.

 

"Bumbu Dapur? Siapa?"

 

"Si Micin, tetangga sebelah rumah." Kumasukkan durian yang sudah mulai kelihatan bijinya ke dalam mulut, mengulumnya.

 

"Oooh ... ada, sih, tadi."

 

"Hah?" Biji durian di mulutku terbang ke luar.

 

"Iiihh, Abang! Makannya, kok, gitu?"

 

"Ngapain Si Micin datang?"

 

"Tadi, pas Adek baru mau jemur baju, dia datang mau bantu. Lalu, nanya-nanya."

 

"Nanya apa?" Tanganku mengambil lagi durian yang masih banyak di meja. Biarpun marah, durian tetap durian. Tak bisa kutolak.

 

"Nanya kalau Abang ke mana."

 

"Apa yang Adek jawab?" Kukulum lagi biji durian dalam mulut.

 

"Adek bilang kalau Abang ke kebun sebentar, terus langsung ke toko buat beli mesin cuci sama kasur baru. Eh, dia malah nawarin diri. Katanya, biar dia aja yang beliin buat Adek."

 

"Apa?" Meloncat biji durian yang belum habis kukulum, masuk dalam kobokan.

 

"Kaaan! Abaaang!" 

 

"Si Micin nawarin Adek buat beli mesin cuci dan kasur baru?" Mataku melotot.

 

"Iya ... katanya dia bakalan beli mesin cuci yang paling bagus biar Adek nggak capek."

 

"Terus yang kasur?"

 

"Dia bakal beliin yang yang besi per-nya banyak biar Adek bisa mantul-mantul."

 

"Kurang asam tambah garam!" Durian kucomot satu lagi.

 

Kalau dibiarkan terus, Tiara bakalan tergoda juga. Aku harus ambil tindakan.

 

"Pakai baju yang bagus, Dek!"

 

"Mau ke mana, Bang?"

 

"Kita pergi beli mesin cuci dan kasur baru."

 

"Ahaaai ...! Terus gelangnya?"

 

Bah, Tiara. Dikasi hati, minta ampela.

 

"Iya! Sekalian kita beli!" Aku mengiakan walaupun agak terpaksa.

 

"Makasih, Abang Sayang." Tiara mencubit pipiku, lalu  bergegas menuju kamar setelah mencuci tangan dalam kobokan.

 

Rugi, rugilah. Tak apa, dari pada Si Micin sampai beli itu semua buat Tiara. Bisa-bisa aku ditinggalkan. Kata pujangga yang mati bujang, harta bisa merubah wanita. 

  

"Nggak! Nggak bakalan terjadi. Dia boleh merebut wanita mana pun di luar sana dengan hartanya, tapi tidak dengan Tiara-ku!" Tanganku mengepal dengan sendirinya. Maklum, terbawa emosi.

 

-------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status