'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku.
"Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda.
"Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya."
"Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya.
"Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi.
"Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?"
Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.
Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat belum berbuah, Pak Wira akan membelinya dengan hitungan perpohon. Walau, tetap saja bayarnya menunggu saat akan panen. Nah, sekarang, lah, waktunya pembayaran itu. Lalu, berapa banyak buah yang jadi miliknya juga tergantung rejeki Pak Wira sendiri.
Aku menjawabnya dengan bergumam malas. Pasti ada yang mau dipintanya lagi ini. Bukannya gimana-gimana, tapi istriku ini memang menpunyai akal bulus dan kebiasaan boros.
"Kalau gitu, nanti duitnya dibelikan mesin cuci, ya."
Kan, betul. Pasti ada maunya dia kalau sudah baik denganku. Ish, bikin geram. Benar-benar tipe istri yang selalu menghabiskan duit suami.
"Hmmm." Masih kujawab dia dengan malas. Tak melihatkah dia jikalau mukaku sudah berubah kusut bak baju yang belum disetrika.
"Terus, beli kasur baru ...." Jarinya sedang menghitung, sementara pandangan matanya ke atas. Sedang menghayal rupanya dia.
"Untuk apa?" Kupotong kalimatnya.
"Kan yang lama udah bunyi, nyit ... nyit ... nyit ...."
"Nyit ... nyit ... nyit ... apaan? Macam bunyi tikus kejepit." Mana tak mau naik darahku. Saban hari, di pikirannya hanya duit, duit, dan duit.
"Bunyi kasur kita, lah, Bang. Pokoknya, harus beli kalau masih mau seperti semalam." Tiara menyilangkan tangan ke dada. Bibirnya manyun.
"Usah ngancam gitu, lah, Dek," pujukku. "Kasur kita kan masih bisa mengenjut, berarti masih bagus."
"Bagus dari Hongkong!" marahnya. "Ini aja, pinggang Adek mau patah rasanya."
"Iiisssh." Aku berdesis kesal.
Susah kalau ngomong sama Tiara. Tiap dikasi tahu, balik-balik dia yang mengomel. Aku sebagai suami yang baik serta rajin, hanya bisa diam dan mengalah.
"Gelang juga," sambungnya.
"Gelang apa lagi? Ya Allah ...." Kuurut dada sendiri melihat tingkahnya yang semakin terpengaruh emak-emak di sekitar sini.
"Setahun sudah kita nikah, Bang. Belum sekali pun Abang belikan Adek perhiasan. Masak pergi kondangan Adek cuma pakai karet gelang." Wajah Tiara tampak begitu sedih.
"Cukuplah itu, Dek. Kita hidup tak usah menampak. Biar orang kira kita ini susah, padahal ...." Kalimat sengaja kugantung biar dia menimpali.
"Padahal kaya, Bang?"
"Padahal, emang susah."
Muka Tiara semakin cemberut, tapi tetap cantik. Beda sama aku, yang walau dibedakin macam mana pun, jatuh-jatuhnya malah mirip siluman tokek.
Sebuah mobil sedan bergambar Tom and Jerry melintas di depan rumah. Tak lama, suara mesinnya mati. Itu artinya mobil tersebut berhenti tak jauh dari rumahku. Siapa dia, ya?
Aku dan Tiara pergi melihat ke depan. Mobil tadi parkir di halaman rumah sebelah yang belum ada penghuninya. Sepertinya penghuni baru di komplek sini.
Seorang lelaki berbadan gagah keluar dari mobil. Dengan berjas hitam, dan bercelana pendek, serta sepatu panthopel yang lain warna, dia melangkah yakin.
Namun, bukannya masuk ke rumah sendiri, lelaki tak jelas asal usulnya itu malah mendekat, setelah tak sengaja mata kami saling bertemu pandang.
Sesudah menyapaku secara kasar, lelaki bertampang mirip Lee Min Hoo itu menunjuk Tiara. "Pak Tua ... anak gadisnya itu sudah menikah belum?"
"Apaan?"
"Itu, anaknya udah nikah belum? Kalau belum, mau saya jadikan istri." Dia lalu membenarkan kerah kemeja, berlagak sombong.
Kupandangi Lelaki yang tak punya adab itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Sudah memanggil aku dengan sebutan Pak Tua, eh, istriku pun mau diembatnya. Sungguh terlalu.
"Ini istriku ... oi, Tutup Odol!" murkaku.
"What? Apa nggak salah?" Kepalanya mundur sedikit. "Bapak main pelet, ya?"
Ini sudah kelewatan. Benar-benar kelewatan. Dari dulu, aku paling benci kalau ada yang bilang aku main pelet hanya karena beristrikan Tiara yang cantiknya melebihi bidadari. Memang, sewaktu zaman masih jahil, hal-hal semacam itu ada yang kupelajari. Namanya juga hidup. Apalagi di kalimantan. Tapi, tak pernah terpakai dan sudah lama kubuang.
"Jangan sampai mulut kau kujahit, Marwoto!" Aku memasang wajah sangar.
"Nama saya Lee Mee Chin."
"Terserah kau! Mau micin, mau garam, mau keminting, mau ketumbar, atau mau semua bumbu dapur disatukan sekalipun, aku tak peduli ... yang penting, jangan berani-berani kau ganggu istriku!" Telunjukku mengarah ke wajahnya.
"Mbak yang manisnya bikin diabetes, kalau sudah nggak tahan nikah sama Pak Tua ini, bilang aja sama saya, ya. Kita bakalan langsung ke penghulu." Lee Mee Chin bicara kepada Tiara.
Benar-benar ini tetangga. Tadi datang tak pakai salam, lalu omongan aku tak didengarnya, sekarang malah didoakannya aku dan Tiara pisah. Dasar semprul.
Tiara diam saja. Matanya tak berkedip memandang ketampanan Lee Mee Chin.
Astaga pisang banana, Tiara! Hatiku menjerit. Bagaimana tidak, aku yang jadi suaminya saja tak pernah dipandangnya seperti itu. Ini benar-benar keterlaluan! Kesabaranku habis.
"Oi, Arca Korea! Lebih baik kau pergi, sebelum aku berubah jadi ranger merah!" bentakku keras.
Lee Mee Chin menyunggingkan senyum untuk Tiara, kemudian berlalu menuju rumah sebelah.
"Dek," panggilku pada Tiara yang masih mematung. Tiada sahutan. Kupanggil dia sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
"Eh, apa, Bang?" Tiara tersentak dari lamunan.
"Adek melamun? Terpesona pada lelaki tadi? Astaghfirullah!" Aku mengucap.
"Ng-nggak kok, Bang," sanggahnya.
"Apa yang Adek khayalkan?"
"Em ... em ... em ...."
"Ya Allah, Ya Rabbi! Apa dosa hamba?" Kujambak rambutku sendiri. Kalau menjambak rambut istri tetangga, bisa marah suaminya.
"Bang, nggak ada, Bang." Tiara menyentuh tanganku, tetapi langsung kutepis.
Lebih baik kubawa diri ini pergi menuju kebun. Pak Wira pasti sudah menunggu di sana.
Selama perjalanan, aku banyak diam. Entah kenapa hatiku terasa begitu sakit, bahkan kadang seperti ada bulir air di ujung mataku.
Tiara, mengapa kau setega itu padaku yang sudah mencintaimu sepenuh hati.
************
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan."Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak.""Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini."Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak."Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko."Ah, Abang suka gitu," gerutunya.Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink."Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku."Mesin cuci ada?" tanya Tiara."Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok.""Beneran?""Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te
Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan."Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku.Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh."Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku.Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam."Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"
Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli.Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami.Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh ....Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What?"Biar Rere yang bayar."Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua
Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita denganbodyaduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?!Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis
Keterlaluan Tiara, meriang seharian aku dibuatnya. Duit hilang bikin makan pun tak kenyang. Maksudnya, tak kenyang kalo cuma sepiring.Untuk mengobati rasa kecewa, esoknya aku memilih untuk menenangkan diri di warkop Kak Limah. Terlihat Angga, Adit, dan Andi duduk menatap ponsel. Sepertinya mereka sibuk push rank. Sedangkan Yosi sedang duduk di ayunan. Kuhampiri, lalu menyapanya dan bertanya mengapa dia tak masuk kerja."Hari ini off," jawab lelaki yang tingginya sama dengan pohon pisang di kebunku itu. Tapi, sebentar aja aku di sini. Nungguin istri dan adik aku belanja."Dulu, adik Yosi yang bernama Citra pernah mau kujadikan cem-ceman, tapi Yosi tak setuju."Tiara gimana?" lanjutnya."Itulah, kesal aku dibuatnya, masak duitku ....""Bukan itu!" potong Yosi. "Maksud aku, udah ada tanda-tanda berisi belu
Malam datang bersamaan dengan gelap yang menghapus terang. Ia kelam tanpa kawan karena bulan pula disembunyikan awan, sedangkan bintang beramai-ramai pergi arisan.Aku duduk melamun, menyesalkan uangku yang kemarin waktu telah terbang melayang. Meskipun sebenarnya uang fee hasil jadi makelar tanah telah masuk, tapi jumlah yang hilang terlalu besar. Harusnya lebih banyak lagi uangku jika tak diambil Tiara."Abang nggak makan?" tanya Tiara."Malas," jawabku asal-asalan."Sekalian diet aja, Bang. Kempesin, tuh, perut yang udah ngebelendung kayak balon .""Hmmm.""Adek tidur duluan ya.""Hmmm.""Kalo lapar, makanan di bawah tudung saji. Adek ada masak ayam goreng strawberry, sambal hati yang tersakiti, telur puyuh asam manis kehidupa