Share

Lee Mee Chin

'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku.

"Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda.

"Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya."

"Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya.

"Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi. 

"Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?" 

Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.

Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat belum berbuah, Pak Wira akan membelinya dengan hitungan perpohon. Walau, tetap saja bayarnya menunggu saat akan panen. Nah, sekarang, lah, waktunya pembayaran itu. Lalu, berapa banyak buah yang jadi miliknya juga tergantung rejeki Pak Wira sendiri. 

Aku menjawabnya dengan bergumam malas. Pasti ada yang mau dipintanya lagi ini. Bukannya gimana-gimana, tapi istriku ini memang menpunyai akal bulus dan kebiasaan boros.

"Kalau gitu, nanti duitnya dibelikan mesin cuci, ya."

Kan, betul. Pasti ada maunya dia kalau sudah baik denganku. Ish, bikin geram. Benar-benar tipe istri yang selalu menghabiskan duit suami.

"Hmmm." Masih kujawab dia dengan malas. Tak melihatkah dia jikalau mukaku sudah berubah kusut bak baju yang belum disetrika.

"Terus, beli kasur baru ...." Jarinya sedang menghitung, sementara pandangan matanya ke atas. Sedang menghayal rupanya dia.

"Untuk apa?" Kupotong kalimatnya.

"Kan yang lama udah bunyi, nyit ... nyit ... nyit ...."

"Nyit ... nyit ... nyit ... apaan? Macam bunyi tikus kejepit." Mana tak mau naik darahku. Saban hari, di pikirannya hanya duit, duit, dan duit. 

"Bunyi kasur kita, lah, Bang. Pokoknya, harus beli kalau masih mau seperti semalam." Tiara menyilangkan tangan ke dada. Bibirnya manyun. 

"Usah ngancam gitu, lah, Dek," pujukku. "Kasur kita kan masih bisa mengenjut, berarti masih bagus."

"Bagus dari Hongkong!" marahnya. "Ini aja, pinggang Adek mau patah rasanya."

"Iiisssh." Aku berdesis kesal.

Susah kalau ngomong sama Tiara. Tiap dikasi tahu, balik-balik dia yang mengomel. Aku sebagai suami yang baik serta rajin, hanya bisa diam dan mengalah.

"Gelang juga," sambungnya.

"Gelang apa lagi? Ya Allah ...." Kuurut dada sendiri melihat tingkahnya yang semakin terpengaruh emak-emak di sekitar sini.

"Setahun sudah kita nikah, Bang. Belum sekali pun Abang belikan Adek perhiasan. Masak pergi kondangan Adek cuma pakai karet gelang." Wajah Tiara tampak begitu sedih.

"Cukuplah itu, Dek. Kita hidup tak usah menampak. Biar orang kira kita ini susah, padahal ...." Kalimat sengaja kugantung biar dia menimpali.

"Padahal kaya, Bang?" 

"Padahal, emang susah."

Muka Tiara semakin cemberut, tapi tetap cantik. Beda sama aku, yang walau dibedakin macam mana pun, jatuh-jatuhnya malah mirip siluman tokek.

Sebuah mobil sedan bergambar Tom and Jerry melintas di depan rumah. Tak lama, suara mesinnya mati. Itu artinya mobil tersebut berhenti tak jauh dari rumahku. Siapa dia, ya?

Aku dan Tiara pergi melihat ke depan. Mobil tadi parkir di halaman rumah sebelah yang belum ada penghuninya. Sepertinya penghuni baru di komplek sini. 

Seorang lelaki berbadan gagah keluar dari mobil. Dengan berjas hitam, dan bercelana pendek, serta sepatu panthopel yang lain warna, dia melangkah yakin.

Namun, bukannya masuk ke rumah sendiri, lelaki tak jelas asal usulnya itu malah mendekat, setelah tak sengaja mata kami saling bertemu pandang.

Sesudah menyapaku secara kasar, lelaki bertampang mirip Lee Min Hoo itu menunjuk Tiara. "Pak Tua ... anak gadisnya itu sudah menikah belum?" 

"Apaan?" 

"Itu, anaknya udah nikah belum? Kalau belum, mau saya jadikan istri." Dia lalu membenarkan kerah kemeja, berlagak sombong.

Kupandangi Lelaki yang tak punya adab itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Sudah memanggil aku dengan sebutan Pak Tua, eh, istriku pun mau diembatnya. Sungguh terlalu.

"Ini istriku ... oi, Tutup Odol!" murkaku.

"What? Apa nggak salah?" Kepalanya mundur sedikit. "Bapak main pelet, ya?" 

Ini sudah kelewatan. Benar-benar kelewatan. Dari dulu, aku paling benci kalau ada yang bilang aku main pelet hanya karena beristrikan Tiara yang cantiknya melebihi bidadari. Memang, sewaktu zaman masih jahil, hal-hal semacam itu ada yang kupelajari. Namanya juga hidup. Apalagi di kalimantan. Tapi, tak pernah terpakai dan sudah lama kubuang.

"Jangan sampai mulut kau kujahit, Marwoto!" Aku memasang wajah sangar.

"Nama saya Lee Mee Chin."

"Terserah kau! Mau micin, mau garam, mau keminting, mau ketumbar, atau mau semua bumbu dapur disatukan sekalipun, aku tak peduli ... yang penting, jangan berani-berani kau ganggu istriku!" Telunjukku mengarah ke wajahnya. 

"Mbak yang manisnya bikin diabetes, kalau sudah nggak tahan nikah sama Pak Tua ini, bilang aja sama saya, ya. Kita bakalan langsung ke penghulu." Lee Mee Chin bicara kepada Tiara.

  

Benar-benar ini tetangga. Tadi datang tak pakai salam, lalu omongan aku tak didengarnya, sekarang malah didoakannya aku dan Tiara pisah. Dasar semprul.

Tiara diam saja. Matanya tak berkedip memandang ketampanan Lee Mee Chin. 

Astaga pisang banana, Tiara! Hatiku menjerit. Bagaimana tidak, aku yang jadi suaminya saja tak pernah dipandangnya seperti itu. Ini benar-benar keterlaluan! Kesabaranku habis.

"Oi, Arca Korea! Lebih baik kau pergi, sebelum aku berubah jadi ranger merah!" bentakku keras.

Lee Mee Chin menyunggingkan senyum untuk Tiara, kemudian berlalu menuju rumah sebelah.

"Dek," panggilku pada Tiara yang masih mematung. Tiada sahutan. Kupanggil dia sekali lagi dengan suara yang lebih keras.

"Eh, apa, Bang?" Tiara tersentak dari lamunan.

"Adek melamun? Terpesona pada lelaki tadi? Astaghfirullah!" Aku mengucap.

"Ng-nggak kok, Bang," sanggahnya.

"Apa yang Adek khayalkan?"

"Em ... em ... em ...."

"Ya Allah, Ya Rabbi! Apa dosa hamba?" Kujambak rambutku sendiri. Kalau menjambak rambut istri tetangga, bisa marah suaminya.

"Bang, nggak ada, Bang." Tiara menyentuh tanganku, tetapi langsung kutepis.

Lebih baik kubawa diri ini pergi menuju kebun. Pak Wira pasti sudah menunggu di sana. 

Selama perjalanan, aku banyak diam. Entah kenapa hatiku terasa begitu sakit, bahkan kadang seperti ada bulir air di ujung mataku.

Tiara, mengapa kau setega itu padaku yang sudah mencintaimu sepenuh hati.

************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status