Share

Tukang Bakso Setan

Malam menjelang, bulan sudah ada di peraduan. Sella mengantarkan makanan langsung ke rumah. Tiara tak tahu karena sedang tiduran di kamar. Alhamdulillah, tak ada yang mengganggu aku makan.

Akan tetapi, baru juga aku menyendok kuah empek-empek dari mangkok sebanyak tiga kali, sudah ada yang memanggil namaku dari luar. Kuintip, ternyata Adit. Wah, makanan harus cepat disembunyikan. Bukannya apa, dia itu tipe geragas.

Aku dilanda kebingungan. Harus menyembunyikan makanan di mana? Kalau di bawah tudung saji, bayangannya kelihatan. Tak enak kalau tak menawarkan. Simpan di kulkas juga bahaya. Kalau sempat si Adit mengambil minum, langsung ketahuan. Aduh, bagaimana ini?

Aha, aku sembunyikan di kamar saja. Adit tak mungkin masuk dan Tiara juga sedang tidur. Fyuuuh ... selamat.

Kubersihkan bibir dan sekitarnya, takut jikalau ada bekas kuah yang menempel di kumis. Bisa berabe nanti.

"Apa, Dit?" Hanya kepalaku yang nonggol keluar dari pintu yang sedikit terbuka.

Adit terkejut sebentar, lalu beristighfar. Apa-apaan dia. Emangnya aku setan.

"Bang Angga sama Bang Andi nunggu di warkop Bang Yosi."

"Duluan aja kalau gitu, nanti aku nyusul."

"Sama-sama ajalah, Bang," ajaknya.

Kurang asam. Aku menyuruh dia duluan supaya bisa lanjut makan empek-empek. Kan baru kuahnya yang sempat kuicip tadi. Terpaksa ikut, lagi pula aku jadi bisa hemat bensin.

"Iyalah. Tunggu sebentar. Abang mau ambil pesanan dia berdua."

 ************

Setibanya, plastik hitam kuberikan pada Andi dan Angga yang duduk bersila di saung. Aku dan Adit juga ikutan duduk.

"Berapa, nih?" Angga langsung membuka karet getah yang mengikat mie tiaw reunian miliknya.

"Tiga puluh enam ribu." Padahal aslinya hanya tiga puluh. Kunaikkan harganya. Bisnis is bisnis.

"Nih!" Angga mengunjukkan beberapa lembar uang.

Setelah kuhitung, rupanya kurang. "Ini 35. Kurang seribu."

"Astaga drakula! Seribu pun kau hitung?! Kau pesan minum, nanti aku bayarkan." Bungkusan satunya diserahkan Angga kepada Adit yang duduk di sampingnya. Baik pula si Angga.

"Nah, itu baru kawan." Karena dibayarkan, kupilih yang paling mahal. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan diri sendiri, jus durian Afghanistan bertopping kacang panjang pun jadi pilihanku.

Andi lewat di depanku dengan membawa sepiring penuh nasi panas. Aku menggodanya, mana tahu ditawarin ikut makan. Aku lapar.

"Nyaman nampaknya, tuh."

"Mau?" tanya Andi.

"Mau, lah!" ucapku girang.

"Boleh, tapi aku gratis."

"Mattamu!"

"Ya, udah." Andi menyuap nasi yang sudah bercampur ayam sambil memonyong-monyongkan mulut. Mengejekku.

"Bayar cepetan. Lama-lama ntar lupa. Kutagih di akhirat, baru kau tau."

"Sabarlah. Tangan aku basah, susah mau merogoh kocek." Si Andi beralasan.

Jakun ini naik-turun melihat tiga orang sahabatku itu makan. Sebenarnya perutku sudah berbunyi. Namun, apa daya, makanan tertinggal di rumah.

Selang lima menit, jus pesananku datang. Lumayan, buat basahin mulut dan perut serta menunda lapar. 

Setelah hampir sejam tersiksa karena menanti, akhirnya mereka kelar makan. Aku segera menagih pembayaran kepada Andi.

"Ya Allah, orang ini. Aku baru juga cuci tangan. Tunggu sebentar, lah."

"Cepat ... aku mau balik rumah," desakku.

"Kau mau berkelon terus, Pit." Angga bersuara sembari mencongkel giginya dengan patahan sapu lidi.

"Ntah." Andi mengelap tangannya dengan baju pelayan. "Jadi-jadi, lah, ehem-ehem, tuh. Kasi istri kau rehat."

"Otak kalian dimakan kuman!" sergahku.

"Jadi, berapa utangku?"

"Tiga puluh." Padahal cuma dua puluh. Sisa sepuluh ribu anggap saja upahku menunggu.

"Dua lima, lah. Pas." Andi menyerahkan uang yang memang pas. Tak ada lebihnya. Dasar Andi pelit.

"Dit, antar Abang balik," pintaku.

"Jalan kaki aja ... dekat," tolaknya karena sibuk memainkan ponsel. Palingan, nge-push rank.

"Dekat nenek kau Sailormoon! Bagus kau antar aku kalau tak mau kutempeleng." Darahku mulai naik. Maklum, orang lapar sulit bersabar.

"Ya Allah ... garang Abang sekarang, ya."

Adit mau tak mau mengantar. Sampai di depan rumah, aku turun dengan melompat salto. Lalu, buru-buru masuk. Sudah tak tahan rasanya ingin merasakan kenikmatan empek-empek dan bitter molen keju.

Kubuka pintu kamar, Tiara masih berbaring. Namun, saat kutoleh ke atas meja rias, tak ada mangkok makanan di sana. Ke mana hilangnya? Diambil jin atau bagaimana?

"Waaa ...." Aku berteriak seperti kerasukan setan. Walau, sepertinya setan pun enggan merasukiku.

"Ada apa, sih, Bang?" tanya Tiara sambil mengucek mata.

"Di sini tadi ada mangkok." Meja rias kutunjuk.

"Oh, empek-empek," ucapnya datar.

"Iya. Mana?"

"Udah Adek abisin. Makasih, ya, Bang udah beliin. Enak, terasa tenggirinya." Tiara memberi kode lewat jempol.

"Hah?" Kucakar wajah sendiri.

"Yang satunya lagi juga makjleb. Kejunya lumer," sambungnya.

"Huaaa ...." Aku keluar kamar sambil berjingkrak bak ayam yang kena kejutkan dari belakang. Dasar istri tak pengertian. Masa makanan suami dihabiskan. Mana naga di perutku sudah berdemo sedari tadi.

Di teras, aku mengaduh sembari memegangi perut yang melilit. Entah datang dari mana, di depan rumah terlihat tukang bakso sedang mendorong gerobak. Kupanggil si tukang bakso. Dia berhenti, kemudian kuhampiri.

"Kenapa, Mas?" tanyanya kalem.

"Beli bakso."

"Berapa?"

"Hmmm ... lima belas ribu." Mahalan sedikit biar banyak. Laparku sudah tahap kebuluran soalnya.

"Pakai bakso urat atau telur?" katanya sambil melihat ke arahku 

"Telur."

"Telur ayam atau telur bebek?"

"Ayam."

"Ayam kota atau ayam kampung?"

"Kau mau jualan atau mau interogasi aku! Mana ada beda antara ayam kota sama ayam kampung!" Naik tensi darah aku dibuatnya. Dia sebenarnya tukang bakso atau wartawan, sih. Sok nanya-nanya.

"Ada dong, Mas. Yang ayam kampung agak sopanan sedikit. Masih suka negur kalau lewat."

"Bodo amat! Yang penting bakso aku cepat kau buatkan."

"Jadi, ayam kota atau ayam kampung?"

"Kampung."

"Habis, Mas."

"Yang kota."

"Habis juga."

"Ya udah, ganti ke bakso urat aja." 

"Sama, Mas. Habis."

"Lalu, kenapa kau berhenti?!" Bakso urat tak ada, malah urat leher aku yang keluar.

"Kan, tadi Masnya yang manggil."

"Aaarrghh ...!" teriakku pada malam, memprotes nasib badan.

"Baaang!" Terdengar suara wanita berteriak.

"Itu ada yang nyariin, Bang. Cewek cantik. Rambutnya panjang berikat."

Rambut? Segera kualihkan pandangan ke arah rumah. Ya Rabbi. Tiara keluar tak pakai kerudung. Kan dilihat sama si tukang bakso jahanam.

"Itu siapa, Bang? Cantiknya luar biasa. Badannya aduhai." Si tukang bakso geleng-geleng kepala. Entah apa yang ada di pikirannya, yang pasti itu kurang ajar. Aku bergegas lari menuju Tiara.

"Keluar kenapa nggak pakai kerudung?" 

"Kan udah malam. Nggak ada orang juga, Bang."

"Nggak ada orang dari mana? Itu si ...." Kalimatku terputus setelah tak tampak batang hidung si tukang bakso. Kemana dia? Kok, bisa gerobaknya lenyap secepat itu? Apakah sekarang ini gerobak bakso pakai NOS, kayak dalam film balap 'Past And Furniture'.

"Siapa? Dari tadi Adek lihat Abang ngomong sendiri di situ. Makanya Adek panggil. Takut Abang kesambet."

"Apaan? Sendiri?" Otakku mumet seketika.

Tiara menjawab lewat anggukan.

Ada apa ini? Masak tadi aku ketemu setan. Kalau iya, memang tak ada hati itu setan. Orang lapar malah diceng-cengin.

"Deeek," rengekku sembari memanyunkan bibir.

"Apa Abang Sayang?" Tiara menyentuh pipiku. Bikin tenang.

"Laapaaar ...." huruf A di bagian akhir panjangnya tiga harakat.

"Belum makan? Mau Adek masakin mie?"

"Ada?" Aku semringah.

"Tadi Adek sempat beli pas nyari sabun di warung Mbok Ijum."

"Pakai telur, ya."

"Iya," ujarnya lembut.

"Eh, tapi Adek beli sabun buat apa?"

Tiara tersenyum. "Buat mandi berrrsih." Tiara menekan huruf R.

"Berrrsih itu artinya ...." Kunaik-turunkan alis.

Wajah Tiara merona.

"Yes! Berarti bisa?"

Tiara mengangguk dengan wajah yang merona. 

Cihuuuyy! Bakalan betul-betul kenyang aku malam ini. Surga dunia, i'm coming.

------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status