Segar juga rasanya jalan-jalan pagi di kampung. Udaranya masih adem. Namun, jangan coba-coba ke luar rumah kalau sudah agak siangan sedikit. Pontianak panas luar biasa. Saking panasnya, kalau ada yang letak telur mentah di luar, terus ditinggal sebentar, balik-balik pasti sudah jadi anak ayam. Ajaib, kan?
Aku ikut berbaur dengan komplotan janda-janda muda yang berkumpul di lapangan voli untuk latihan senam diiringi musik india bernada koplo. Enak, enak, joosss! Sesekali mataku nakal mencuri pandang. Lumayan buat penyegaran.
Seusai senam, janda-janda muda itu mulai berbicang hangat. Mulanya, mereka membahas mengapa harga terong meroket. Lalu, beralih ke pembahasan politik. Dan akhirnya beralih ke topik awal, yaitu terong. Namun, terong yang dimaksud berbeda dari yang awal. Aku saja sampai senyum-senyum malu mendengarkannya.
Ada baiknya ternyata ikut berkumpul dengan mereka. Selain mata jadi cerah, pikiranku yang semulanya kalut juga menjadi sedikit lebih baik. Walaupun, rasa kesal masih tersisa di hati.
Oleh karena matahari mulai meninggi, aku pun memutuskan berjalan pulang. Namun, langkahku berhenti bila mana melihat dua orang pemuda berusia tanggung sedang bersantai di bawah pohon mangga.
Sepertinya dua orang itu sedang berdiskusi tentang masalah yang kuyakini tak sampai di otak mereka.
Sebagai pemuda ramah dan baik hati, aku pun mendekat dan menyapa mereka. "Helloow, everybody."
"Eh, Bang Ipit Kalishgan." Shuaib menundukkan kepala sedikit, menaruh hormat padaku yang bertampang lebih tua.
"Iya. Aku Ipit Kalishgan. Lelaki yang berubah tamvan jika berdiri tepat di bawah sinar rembulan. Jadi, apa yang kalian omongkan dari tadi? Pasti masalah Kak Nurmah yang pagi-pagi rambutnya selalu basah, kan?" tuduhku.
Salah satu rumor yang kudengar ketika berkumpul dengan janda-janda muda tadi ialah ini. Mereka mengghibahkan Kak Nurmah yang rambutnya selalu basah saat pagi, padahal janda juga. Aku malah menganggap itu hal yang wajar karena jika orang habis mandi, tentu saja rambutnya basah. Mana ada orang mandi kering. Iya, kan?
"Ah, Abang suudzon. Biar muka jelek, asal hati baik, Bang." Jep sepertinya sedang menyinggungku. Untung saja aku bukan tipe orang yang emosian. Jika iya, tentu dia sudah kutonjok sampai babak belur.
"Lalu, apa yang kalian ributkan?"
"Ini, si Shuaib mau ketemuan sama cewek. Mereka dijodohkan."
"Nyamanlah kau, Ib." Kutepuk pundak Shuaib, lalu mengguraunya, "Tak kesepian lagi kalau malam."
"Masalahnya, dia ini pemalu," ungkap Jep.
Aku menimbang sejenak sembari mengelus dagu. Sepertinya, hal ini bisa kumanfaatkan untuk mendapatkan uang. Ini zaman edan, mana ada yang gratis.
"Kalau gitu, biar aku ajarkan. Tetapi, ada imbalannya." Aku tertawa kecil.
"Berapa, Bang?"
"Tak usah banyak. Cukup bayar aku seratus ribu saja."
"Boleh, Bang. Tapi, bayarnya nanti sore, ya," tawar Shuaib.
Karena menganggap hal tersebut bukan sebuah masalah, aku pun menyetujuinya, lalu mulai memberikan saran. "Nanti si Jep pura-pura jadi ceweknya."
Mereka berdua tampak sangat serius mendengarkan.
"Terus si Jep bakalan nanya-nanya ke kau, Ib," lanjutku
"Nanya apa, Bang?" Jep menggaruk kepalanya.
"Nanya yang mudah aja. Misal, hobi kau apa. Ntar kau jawab, Ib. Paham?"
"Paham, Bang." Mereka kompak bersuara.
"Oke. Mulai!" Aku melipat tangan kiri sedikit di atas perut dan menggigit jari telunjuk kanan. Kurasa tingkahku sudah mirip sutradara drama Jepang.
Jep memajukan kaki selangkah.
"Kamu hobinya apa, Bang?" Suara Jep jadi cempreng mayor. Mungkin dia melakukannya supaya terdengar seperti suara cewek. Namun, kenyataannya malah terdengar seperti suara kambing disembelih.
"Eeettt ...." jawab Shuaib gugup.
Sontak aku terkejut, lalu menghentikan peragaan mereka. Saat aku mendekati Shuaib, Jep mengambil dua langkah ke belakang.
"Nggak ada orang yang jawabnya 'eeettt' gitu, Ib. Macam bunyi engsel kurang oli pula kudengar," omelku.
"Saya malu, Bang."
"Ini si Jep kan kawan kau mandi berkubang sambil telanjang waktu kecil. Apa lagi yang mau dimalukan?"
"Oke, Bang. Ulang." Dia menegakkan badan, berlagak seolah-olah siap.
"Ulang, ya," ujarku sambil menarik napas dalam. Sesudah mengembuskan napas lewat mulut, kuperintahkan keduanya untuk memulai adegan. Jep kemudian maju selangkah.
"Kamu hobinya apa, Bang?" tanya Jep dengan suara cempreng yang kali ini agak minor.
"Eeettt ...." Shuaib mengeluarkan suara yang sama seperti sebelumnya.
Puuk!
Kadung kesal, kusentil bibir Shuaib. Jep terkejut, kemudian mundur tiga langkah.
"Ib, inikan udah yang kedua kali. Kenapa kau masih gugup?"
"Ma-maaf, Bang." Wajah Shuaib mengiba.
"Ulang?"
Shuaib mengiakan.
"Mulai, Jep."
Jep maju dua langkah.
"Eeettt ...." Kubekap mulut Shuaib.
"Jep kan belum nanya, kenapa kau udah bersuara 'eeettt' begitu!" teriakku.
"Sabar, Bang," pujuk Jep
Kutarik napas dalam, lalu melepasnya panjang. Setelah emosi agak turun, kutawarkan padanya untuk mengulang sekali lagi. Shuaib mengangguk. Kulepas bekapan tanganku dari mulutnya.
"Eeettt ...." Shuaib bersuara tanpa komando dariku.
Emosiku memuncak. Kutampar muka Shuaib sampai menimbulkan bunyi. Dia pun tersungkur menyamping, menyusur tanah dan pingsan dengan mulut menganga.
"Belum apa-apaan kau udah bersuara! Jangan bikin aku naik darah ya!" Dengan semua bulu di badan berdiri, kumarahi dia yang terkapar tak sadarkan diri.
"Eh, kawan saya itu, Bang." Jep di belakangku menyatakan ketidakterimaannya.
Aku yang kadung jengkel, lalu berbalik badan dan mengangkat si Jep. Tubuhnya kuempaskannya ke atas tanah, seperti adegan di Smack Down. Jeritannya melengking, sementara badannya melengkung. Belum puas, kutendang selangkangannya. Detik kemudian, Jep ikut pingsan dengan lidah terjulur.
"Banyak protes kau! Aku ini lagi merisau di rumah. Eh, kalian pula cari gara-gara." Aku mengeluarkan unek-unek di hati.
Sebelum melangkah pulang, kuletakkan duit sepuluh ribu. "Duit ini kau belikan telor ayam, Jep. Buat ganti rugi tel*rmu yang mungkin aja pecah."
Malam menjelang, bulan sudah ada di peraduan. Sella mengantarkan makanan langsung ke rumah. Tiara tak tahu karena sedang tiduran di kamar. Alhamdulillah, tak ada yang mengganggu aku makan.Akan tetapi, baru juga aku menyendok kuah empek-empek dari mangkok sebanyak tiga kali, sudah ada yang memanggil namaku dari luar. Kuintip, ternyata Adit. Wah, makanan harus cepat disembunyikan. Bukannya apa, dia itu tipe geragas.Aku dilanda kebingungan. Harus menyembunyikan makanan di mana? Kalau di bawah tudung saji, bayangannya kelihatan. Tak enak kalau tak menawarkan. Simpan di kulkas juga bahaya. Kalau sempat si Adit mengambil minum, langsung ketahuan. Aduh, bagaimana ini?Aha, aku sembunyikan di kamar saja. Adit tak mungkin masuk dan Tiara juga sedang tidur.Fyuuuh ... selamat.Kubersihkan bibir dan sekitarnya, takut jikalau ada bekas kuah yang menempel di kumis. Bisa berabe na
'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku."Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda."Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya.""Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya."Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi."Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?"Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan."Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak.""Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini."Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak."Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko."Ah, Abang suka gitu," gerutunya.Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink."Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku."Mesin cuci ada?" tanya Tiara."Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok.""Beneran?""Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te
Pagi datang bersama mentari yang menawarkan kehangatan. Semilir angin berlari menabrak daun jambu, menimbulkan bunyi yang memberi kedamaian. Aku dan Tiara masih saling memeluk di tempat tidur. Tenggelam dalam kebersamaan."Ya Allah, Dek. Kesiangan." Aku tadi terbangun karena merasa sesak. Rupanya kelingking Tiara menerobos masuk ke dalam lubang hidungku.Entah kenapa akhir-akhir ini kami sering telat Subuh. Jangan dicontoh. Ingat! Ambil yang jernih, buang yang keruh."Hmmm ...." Tiara menggeliat. Mungkin keenakan tidur di springbed baru. Aku merisau soalnya kelingking Tiara masih nyangkut di dalam lubang hidungku.Kucubit hidungnya. Tiara bergeming. Sepertinya harus pakai cara agak ekstrem, sekalian balas dendam."Aww ...!" teriaknya sambil mengapit lubang hidung, lalu memukul dadaku. "Kenapa bulu hidung Adek ditarik? Sakit tau!"
Dalam sebuah ruangan kantor tiga lantai, aku dan Jumadil menunggu seseorang. Tak lama, yang ditunggu akhirnya muncul. Hari ini aku menjadi perantara jual-beli tanah. Si pemilik tanah adalah Jumadil, sedangkan kawan lamaku si Saiful menjadi pihak pembeli.Berjam-jam kami bicara. Dari yang awalnya seputar jual-beli, lalu merembet ke anak-istri, dan akhirnya merengsek ke poligami.Kesepakatan pun terjalin di antara mereka. Aku ikut bahagia. Terutama saat dijanjikan persenan oleh keduanya. Lumayan buat modal kawin dua. Eh ....Setelah mengantar Jumadil pulang, aku menyinggah ke penjual air kelapa. Namun, saat ingin membayar, dompetku tak ada. Kemungkinan tertinggal di rumah. Aku coba untuk merayu si penjual agar air kelapanya bisa kutukar dengan kesetiaan. What?"Biar Rere yang bayar."Renata tiba-tiba ada di sebelahku. Dia lantas memesan dua
Pagi-pagi, Tiara Kunyit-Chova sudah menguncang jiwaku lewat suaranya yang bahkan terdengar hingga ke dunia maya. Wanita denganbodyaduhai itu marah-marah perihal sendok. Katanya, sudah tiga kali selusin sendok yang dia beli tiap malam Jumat Kliwon hilang tak berbekas. Aku--lelaki yang kalah tampan dibandingkan bayangan sendiri--tak tahu apa-apa mengenai ini.Ok, aku mengaku jika selusin sendok yang pertama bukanlah hilang, melainkan dipinjam oleh tetangga kami, seorang janda tanpa anak saat dia akan mengadakan arisan b̶e̶r̶o̶n̶d̶o̶n̶g̶ kedondong. Bukannya aku tak pernah menagih barang kembali, hanya saja ketika datang ke rumahnya dengan niat meminta sendok, justru berakhir dengan cerita yang berbeda. Seringkali dia menyuguhiku dengan sesuatu yang bulat nan kenyal. Yak, benar ... itu adalah klepon ubi. Kalian berpikir demikian, kan?!Kembali pada masalah awal, Tiara yang kecantikannya melebihi artis