Lagi asyik membaca berita panas, istriku menghampiri sembari menenteng tabung gas berwarna hijau. Di kemudian meletakkannya di tepat di hadapanku.
"Bang, gas abis."
"Pake kayu bakar aja, Dek," usulku. "Kan udah Abang sediain tempatnya khusus."
Zaman sekarang barang apa pun bisa menjadi langka secara tiba-tiba, termasuk gas LPG. Oleh karenanya, aku mengantisipasi hal tersebut dengan memanfaatkan sisa lahan di belakang, membuat perapian dengan bahan bakar kayu kering.
"Idiiih, ogah!" tolaknya.
"Kalo gitu, ya, udah. Nggak usah masak." Layar hape ku-scroll naik untuk melanjutkan berita yang terputus di tengah.
"Berarti makan di luar?"
"Eh, jangan!" Sontak aku berdiri. "Mahal, Dek. Minimal dua lima ribu per orang. Berdua kan jadi lima puluh ribu."
"Ya, udah. Biar Adek sendiri yang makan di luar. Abang ngelamun aja di rumah." Tiara yang berbalik badan hendak pergi, kutahan.
"Jangan! Biar Abang yang masak," tawarku yang kemudian disetujuinya lewat sekali anggukan.
Punya istri yang terlalu manja, ya, begini. Apa-apa maunya instan. Tak mau berusaha sedikit lebih keras. Padahal, bukannya susah memasak nasi dan lauk pakai kayu bakar.
Kukumpulkan beberapa kayu kering ke bawah periuk nasi. Korek kunyalakan untuk membakar kayu-kayu itu. Namun, setiap kali kunyalakan, apinya mati terus. Aneh. Apa ada yang salah?
Guna mencari tahu, kubuka Youtube, lalu menonton tutorial menyalakan api berbahan kayu kering.
"Oh ... ditiup pelan," gumamku beriring senyum yang tersungging di bibir. "Gampang ini mah."
Ujung kayu yang sedikit terbakar, kutumpuk dengan kayu lainnya. Lalu, kutiup pelan agar api membesar.
Akan tetapi, setengah jam aku meniup, api tak kunjung membesar. Yang ada pipi ini merasa kebas. Geram melanda. Lalu, kuembuskan napas kencang dalam sekali tiupan.
Puuuh!
Abu dan debu beterbangan ke wajahku. Mata seketika kelilipan. Sambil bergagap (tangan meraba untuk berpegangan), aku berteriak memanggil istriku.
"Apa, Bang?" Suaranya terdengar semakin mendekat.
"Ambilkan air!" perintahku.
"Mukanya kenapa? Kok, abu-abu gitu?" Dia lalu cekikikan.
"Air dulu cepetan!" Mataku sudah sangat perih.
Selang setengah menit, air pun menyiram wajah tidak tampan tetapi ngangenin milikku sehingga mata kembali bisa melihat jelas. Sementara Tiara masih saja cekikikan. Sudah gila kali dia.
"Ya udah, kita makan di luar," kataku yang lantas disambutnya dengan sebuah pertanyaan berisi keraguan. Aku mengangguk seraya berkata, "Serius, Dek. Tapi, nggak boleh lebih dari lima belas ribu."
"Hah?" Mulut wanita bernama lengkap Tiara Kunyit-Chova itu terbuka lebar. Gurat wajahnya menyiratkan keterkejutan.
"Kalo nggak mau, ya udah. Adek beli aja gas di warung Mbok Ijum." Kusodorkan duit berwarna hijau, tapi tak diambilnya. Tumben, biasanya dia gercep kalau masalah duit.
Tiara tampak berpikir. Matanya naik ke atas, sedangkan telunjuknya memukul ujung bibir berkali-kali.
"Gimana? Makan di luar apa beli gas?" tukasku.
Detik kemudian, senyum licik terkembang di wajah orientalnya sambil berujar, "Makan di luar aja. Adek yang pilih tempat."
"Kalo gitu, Abang ganti baju. Ntar perginya pakai motor Adek, ya. Motor Abang sekarat bensinnya."
Sesungguhnya, bensinku sudah diisi full oleh teman saat aku mengantarnya pulang tadi. Tak apalah sesekali membohongi Tiara, malahan seronok rasanya.
Rasain! Emangnya enak dikibulin.
**********
"Rapi bener?" tanyaku kepadanya yang sudah berdandan cantik. Sangat cantik malah. Kadang aku juga heran, kok wanita secantik dia mau dengan lelaki bertampang mirip labi-labi kayak aku ini. Apa seleranya memang rendah?
"Kan tempatnya bonafit. Mesti rapi, dong," jawabnya yakin.
"Hmmm ...." Aku menimbang sesaat. "Tapi, ntar bayarnya mahal. Kan Abang sudah bilang, nggak lebih dari lima belas ribu."
"Iya, tau." Tiara menadahkan tangannya. "Siniin aja duitnya tiga puluh ribu. Entar sisanya Adek yang nambahin."
"Dapat duit dari mana?" Aku mulai merasa curiga. Soalnya, aku beberapa kali membaca berita panas yang menginformasikan tentang wanita-wanita yang melakukan praktik open B.O. Jangan sampai Tiara melakukan hal serupa, atau akan kutalak dia.
"Ada, lah, bisnis kecil-kecilan."
"Bisnis kecil-kecilan apa?" cecarku. "Awas, ya, kalau dari yang nggak-nggak. Jelek-jelek gini, Abang benci pengkhianatan."
"Astaghfirullahhal'adzim. Demi Allah, Bang. Adek setia sama Abang," sumpahnya.
"Baguslah." Ingin aku tersenyum ketika mendengar kata setia darinya. Namun, kutahan. Gengsi, dong.
************
"Mahal, Dek." Mataku terus mencari makanan termurah yang ada di daftar harga. Akan tetapi, memang semua makanan itu harganya di luar akalku.
"Pilih aja semau Abang," sombongnya. "Hari ini kan Adek yang bayar."
"Beneran?" Tak percaya aku dengan kalimatnya barusan.
Tiara menegaskan, "Benar! Kapan Adek peenah menipu Abang?"
Hatiku langsung terbang melayang saking gembiranya. Kutandai semua makanan yang terlihat lezat lewat namanya yang aneh-aneh itu.
Pelayan menghampiri kami, lalu menanyakan perihal pesanan. Tiara dengan suara yang merdu kemudian memesan bebek kecebur cabe, udang jomblo belumut, dan air soda sensasi cola.
Aku pun tak mau kalah, lalu memesan lebih banyak dari pada Tiara. Kesempitan, eh, kesempatan tak datang dua kali. Mumpung gratis, pesanlah sampai duit yang mentraktir habis.
"Pesan satu Kepiting masak nyungsang dan satu porsi sotong hamil kembar." Menu di tangan terus kubolak-balik.
"Juga ini, nih!" Kutunjuk menu tersebut. "Sambal omelan mertua. Pasti pedas ini. Nggak mungkin nggak."
"Ada lagi, Pak?" tanya pelayan lelaki itu sambil terus mencatat pesanan.
"Hmmm ... tambahin juga ayam nungging di-PHP-in dan minumnya es cendol pocong."
"Baik, Pak. Pesanan akan segera diantarkan." Setelah mengambil menu, pelayan tersebut pergi dan memberikan daftar pesanan kami kepada kawannya yang menjaga konter dapur.
"Eh, Dek. Tak apa kan kalo Abang pesan sebanyak itu?" Risau juga aku kalau ternyata Tiara tak mampu membayar, lalu kami disuruh yang macam-macam.
"Nggak apa, asal habis." Senyumnya terlempar ke arahku. Sungguh manis dan cantik. Geram aku ingin memakannya. Tapi, itu nanti setelah di rumah. Sekarang makan yang telah dipesan dulu saja.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam-an. Beberapa pelayan datang membawa nampan berisi pesanan kami. Air liur lku mulai menetes melihat makanan-makanan berwarna meriah itu tergeletak pasrah di atas meja.
Selepas para pelayan kembali, segera kucelupkan tangan kanan ke kobokan, lalu menagkap paha ayam yang berwarna coklat di dalam mangkuk.
"Doa dulu, Bang." Tiara mengangkat tangan. Aku mengiakan. Ayam tadi kembali ke tempatnya.
Tunggu kau, ayam!
"Allahumma bariklana fii maa razaqtana waqiiinaa adzaa bannar." Tangan kami pun mengusap wajah. Aduuh, aku lupa kalau tangan kananku tadi bekas kobokan, wajahku pun jadi basah seketika. Ah, tak apalah. Yang penting aku bisa makan sangat mewah hari ini.
**
Sendawa keluar dari mulutku. Kenyang sekali rasanya. Tiara beranjak pergi ke kasir. Kubiarkan saja, toh tiga puluh ribu sudah kusumbangkan tadi kepadanya.
"Berapa, Dek?" tanyaku sesaat setelah dia kembali.
"Tujuh ratus lapan puluh enam ribu, Bang."
"Eh, busyet!" Aku terhenyak. "Mahal ama!"
"Sekali-kali nggak apalah," ucapnya.
"Iya juga, sih. Lagian kan Adek yang bayar." Aku tertawa renyah, serenyah rice cracker.
"Oh, iya! Ini, Bang." Tiara memberikanku sebuah amplop berwarna coklat muda.
"Apa ini?"
"Itu titipan dari Pak Zainal tadi siang. Katanya, itu duit Abang jual kambing"
Kuhitung duit yang terselip dalam amplop. "Lho, kok kurang, Dek?"
"Ya iyalah, kan udah dibayarin makan."
"Bayarin makan? Jadi, kita makan pakai duit kambing Abang?"
"Ho-oh." Tiara mengangguk tanpa rasa bersalah. "Adek cuma bilang bayarin. Tapi, tetap aja pakai duit Abang."
"Haaahh! Amsyiong!" Kutepuk jidat sendiri.
"Jangan pingsan di sini, Bang. Ntar aja kalau udah di rumah." Kali ini Tiara yang tertawa renyah, sementara aku tersandar di kursi restoran.
Astaga! Harusnya aku sudah tahu sedari awal. Tiara itu penuh akal bulus. Anehnya, aku tetap saja bisa dikibulin. Hadeeh ...! Bangkrut aku dibuatkan Tiara.
Kekalahan tadi harus kubalas. Pantang bagi anak Sungai Jawi untuk menyerah kalah. Masih di atas motor, aku mulai menyusun rencana agar malam ini dapat delapan ronde bersama Tiara. Hampir delapan ratus ribu tadi, Cuy. Masih untung kuhitung seratus ribu per ronde, kalau cuma lima puluh?"Abang pergi sebentar ke depan, Dek." Kuberikan helm pada Tiara untuk langsung ditaruhnya di dalam rumah."Mau ngapain?""Ketemu si Angga," kilahku karena sesungguhnya bukan itu yang akan kulakukan.Tiara beranjak masuk ke dalam. Aku menyunggingkan senyum licik. Dia tak tahu bakalan jadi menu utama nanti malam.Segera kupacu motor menyusuri jalanan beraspal. Bibir Suneo-ku berkibar terkena angin yang menerpa wajah karena tak memakai helm. Rambut keritingku tak bergerak, terlalu kering dan kaku. Lima belas menit berlalu, sampailah lelaki lucu yang jeleknya membumi ini di toko si Bancuk."Cuk!"
Pak Ghazali yang pamit pulang diantar Tiara, mungkin sampai depan rumah. Sempat tadi terlihat olehku, Tiara mengambil beberapa lembar duit untuk diselipkan ke saku kemeja Pak Ghazali.Sungguh kelakuan istri boros. Padahal, cukup diberi ucapan terima kasih. Namanya juga tetangga, ya, harus saling tolong-menolong. Betul, kan?Derap langkah dan bayang hitam di bawah pintu menandakan Tiara akan segera masuk ke kamar. Bergegas kuselimuti diri hingga menutupi wajah, lalu berpura-pura tidur."Abaaang!" Tiara berteriak kencang. Saking kencangnya, kalau kuntilanak dengar pasti sawan.Selimut ditariknya. Mata kupejamkan seketika. Tak lama, telinga kananku dipilas Tiara. Aku lantas berbalik badan dengan cepat untuk melepaskan diri, lalu mengusap telinga yang terasa amat perih akibat perbuatannya."Sakit, Dek ...!""Obat apa yang Abang minum? Hah?!" Matanya melotot garang. Aku t
Segar juga rasanya jalan-jalan pagi di kampung. Udaranya masih adem. Namun, jangan coba-coba ke luar rumah kalau sudah agak siangan sedikit. Pontianak panas luar biasa. Saking panasnya, kalau ada yang letak telur mentah di luar, terus ditinggal sebentar, balik-balik pasti sudah jadi anak ayam. Ajaib, kan?Aku ikut berbaur dengan komplotan janda-janda muda yang berkumpul di lapangan voli untuk latihan senam diiringi musik india bernada koplo. Enak, enak, joosss! Sesekali mataku nakal mencuri pandang. Lumayan buat penyegaran.Seusai senam, janda-janda muda itu mulai berbicang hangat. Mulanya, mereka membahas mengapa harga terong meroket. Lalu, beralih ke pembahasan politik. Dan akhirnya beralih ke topik awal, yaitu terong. Namun, terong yang dimaksud berbeda dari yang awal. Aku saja sampai senyum-senyum malu mendengarkannya.Ada baiknya ternyata ikut berkumpul dengan mereka. Selain mata jadi cerah, pikiranku yang semulanya k
Malam menjelang, bulan sudah ada di peraduan. Sella mengantarkan makanan langsung ke rumah. Tiara tak tahu karena sedang tiduran di kamar. Alhamdulillah, tak ada yang mengganggu aku makan.Akan tetapi, baru juga aku menyendok kuah empek-empek dari mangkok sebanyak tiga kali, sudah ada yang memanggil namaku dari luar. Kuintip, ternyata Adit. Wah, makanan harus cepat disembunyikan. Bukannya apa, dia itu tipe geragas.Aku dilanda kebingungan. Harus menyembunyikan makanan di mana? Kalau di bawah tudung saji, bayangannya kelihatan. Tak enak kalau tak menawarkan. Simpan di kulkas juga bahaya. Kalau sempat si Adit mengambil minum, langsung ketahuan. Aduh, bagaimana ini?Aha, aku sembunyikan di kamar saja. Adit tak mungkin masuk dan Tiara juga sedang tidur.Fyuuuh ... selamat.Kubersihkan bibir dan sekitarnya, takut jikalau ada bekas kuah yang menempel di kumis. Bisa berabe na
'Pertempuran' tadi malam sangat menyita waktu. Sampai-sampai, Subuh pun kami kesiangan. Sungguh bukan untuk digugu dan ditiru. Meski begitu, palingan besok-besok aku ulangi lagi. Kebiasaan buruk dari lelaki berwajah labi-labi, yaitu aku."Baaang." Tiara memanggilku dengan suara yang menggoda iman. Suaranya mendayu seakan-akan merayu. Aku tergoda."Lagi, Dek? Lutut Abang udah sakit ini." Sungguh aku tak percaya jika dia sekuat itu. Seingatku, semalam tiga ronde, loh. "Malam aja, ya.""Otakmu, Bang. Ke situ melulu," omelnya."Terus apaan?" Tentu aku mau tahu maksudnya memanggilku tadi."Hari ini Pak Wira bayar pajak durian dan langsat, kan?"Mataku langsung mendelik curiga. Bagaimana dia bisa tahu kalau hari ini aku akan ketemu Pak Wira untuk pelunasan pajak.Pajak yang kumaksud itu semacam booking-an. Jadi, seperti biasa, saat durian dan langsat
Aku memarkirkan motor tepat di tepi kebun peninggalan orang tuaku. Lebih dari sebagian lahan aku gunakan menanam durian dan langsat, sementara sisanya menjadi peternakan kambing.Namun, bukan hanya aku yang mengurus kebun, masih ada Pak Itam dan Pak Wawan. Mereka berdua tangan kananku dalam urusan perkebunan dan peternakan kambing.Dari jauh dapat kulihat Pak Wira sedang sibuk memandori pekerjanya. Setelah kuhampiri, kami terlibat sedikit perbincangan."Pak Ipit, kali ini saya minta agar pembayaran dilakukan tiga kali. Setengahnya sekarang dan sisanya nanti, sebulan lagi. Maaf ya, Pak.""Ok, Pak." Tak banyak kata yang keluar dari mulutku. Jarang aku begini."Eh, tumben langsung mau, Pak. Biasanya juga bakalan alot pembicaraan. Pak Ipit itu terkenal pelit bin medit bin kikir bin kedekut bin garam batu." Lengkap sekali Pak Wira
Setelah hampir sejam bermotor, akhirnya kami sampai di kawasan toko yang biasa menjual barang elektronik. Memang agak lama tadi di jalan karena aku sengaja bawa pelan. Abisnya, Tiara meluk erat banget. Nempel begitu. Kan enak."Belinya jangan yang mahal, Dek," pesanku padanya sebelum masuk ke toko."Ah, Abang suka gitu," gerutunya.Kami yang baru saja melangkah masuk, langsung disambut oleh seorang lelaki berbaju kaos ketat dan celana pendek sepaha, serta bando tanduk rusa di kepala. Yang semuanya berwarna pink."Selamat datang, Ciin," sambutnya sambil melempar senyum dan kedipan mata yang diarahkan padaku."Mesin cuci ada?" tanya Tiara."Jangankan mesin cuci, Ciin, mesin pesawat kita juga ada, kok.""Beneran?""Beneran dong, Ciin. Angel nggak mun
Kata si Sotong Majalengka, barang akan diantar satu jam lagi. Jadi, setelah selesai membayar, aku dan Tiara pun sempat pergi mencari toko springbed, yang kebetulan berada tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok.Namun, sebelum ke sana, kami berdua singgah mencari minuman dingin. Es eceng gondok jadi pilihan yang pas. Pontianak itu panas, Bung. Sebentar saja Anda keluar, langsung kering tenggorokan.**********"Abang sama Kakak cari apa?" sambut seorang penjaga tojo begitu kami tiba di toko springbed."Renata?""Iya, Kak.""Kamu kerja di sini? Udah lama?" Tiara lanjut bertanya."Udah sebulan ini, Kak. Sengaja cari pengalaman dulu selama libur semesteran."Renata adalah anak Bu Lurah di kampung kami. Dia cukup te