Share

Katanya, Aku Pelit
Katanya, Aku Pelit
Author: Ipit Kalishgan

Makan Siang

Lagi asyik membaca berita panas, istriku menghampiri sembari menenteng tabung gas berwarna hijau. Di kemudian meletakkannya di tepat di hadapanku.

"Bang, gas abis."

"Pake kayu bakar aja, Dek," usulku. "Kan udah Abang sediain tempatnya khusus."

Zaman sekarang barang apa pun bisa menjadi langka secara tiba-tiba, termasuk gas LPG. Oleh karenanya, aku mengantisipasi hal tersebut dengan memanfaatkan sisa lahan di belakang, membuat perapian dengan bahan bakar kayu kering.

"Idiiih, ogah!" tolaknya.

"Kalo gitu, ya, udah. Nggak usah masak." Layar hape ku-scroll naik untuk melanjutkan berita yang terputus di tengah.

"Berarti makan di luar?"

"Eh, jangan!" Sontak aku berdiri. "Mahal, Dek. Minimal dua lima ribu per orang. Berdua kan jadi lima puluh ribu."

"Ya, udah. Biar Adek sendiri yang makan di luar. Abang ngelamun aja di rumah." Tiara yang berbalik badan hendak pergi, kutahan.

"Jangan! Biar Abang yang masak," tawarku yang kemudian disetujuinya lewat sekali anggukan.

Punya istri yang terlalu manja, ya, begini. Apa-apa maunya instan. Tak mau berusaha sedikit lebih keras. Padahal, bukannya susah memasak nasi dan lauk pakai kayu bakar.

Kukumpulkan beberapa kayu kering ke bawah periuk nasi. Korek kunyalakan untuk membakar kayu-kayu itu. Namun, setiap kali kunyalakan, apinya mati terus. Aneh. Apa ada yang salah?

Guna mencari tahu, kubuka Youtube, lalu menonton tutorial menyalakan api berbahan kayu kering.

"Oh ... ditiup pelan," gumamku beriring senyum yang tersungging di bibir. "Gampang ini mah."

Ujung kayu yang sedikit terbakar, kutumpuk dengan kayu lainnya. Lalu, kutiup pelan agar api membesar.

Akan tetapi, setengah jam aku meniup, api tak kunjung membesar. Yang ada pipi ini merasa kebas. Geram melanda. Lalu, kuembuskan napas kencang dalam sekali tiupan.

Puuuh!

Abu dan debu beterbangan ke wajahku. Mata seketika kelilipan. Sambil bergagap (tangan meraba untuk berpegangan), aku berteriak memanggil istriku.

"Apa, Bang?" Suaranya terdengar semakin mendekat.

"Ambilkan air!" perintahku.

"Mukanya kenapa? Kok, abu-abu gitu?" Dia lalu cekikikan.

"Air dulu cepetan!" Mataku sudah sangat perih.

Selang setengah menit, air pun menyiram wajah tidak tampan tetapi ngangenin milikku sehingga mata kembali bisa melihat jelas. Sementara Tiara masih saja cekikikan. Sudah gila kali dia.

"Ya udah, kita makan di luar," kataku yang lantas disambutnya dengan sebuah pertanyaan berisi keraguan. Aku mengangguk seraya berkata, "Serius, Dek. Tapi, nggak boleh lebih dari lima belas ribu."

"Hah?" Mulut wanita bernama lengkap Tiara Kunyit-Chova itu terbuka lebar. Gurat wajahnya menyiratkan keterkejutan.

"Kalo nggak mau, ya udah. Adek beli aja gas di warung Mbok Ijum." Kusodorkan duit berwarna hijau, tapi tak diambilnya. Tumben, biasanya dia gercep kalau masalah duit.

Tiara tampak berpikir. Matanya naik ke atas, sedangkan telunjuknya memukul ujung bibir berkali-kali.

"Gimana? Makan di luar apa beli gas?" tukasku.

Detik kemudian, senyum licik terkembang di wajah orientalnya sambil berujar, "Makan di luar aja. Adek yang pilih tempat."

"Kalo gitu, Abang ganti baju. Ntar perginya pakai motor Adek, ya. Motor Abang sekarat bensinnya."

Sesungguhnya, bensinku sudah diisi full oleh teman saat aku mengantarnya pulang tadi. Tak apalah sesekali membohongi Tiara, malahan seronok rasanya.

Rasain! Emangnya enak dikibulin.

**********

"Rapi bener?" tanyaku kepadanya yang sudah berdandan cantik. Sangat cantik malah. Kadang aku juga heran, kok wanita secantik dia mau dengan lelaki bertampang mirip labi-labi kayak aku ini. Apa seleranya memang rendah?

"Kan tempatnya bonafit. Mesti rapi, dong," jawabnya yakin.

"Hmmm ...." Aku menimbang sesaat. "Tapi, ntar bayarnya mahal. Kan Abang sudah bilang, nggak lebih dari lima belas ribu."

"Iya, tau." Tiara menadahkan tangannya. "Siniin aja duitnya tiga puluh ribu. Entar sisanya Adek yang nambahin."

"Dapat duit dari mana?" Aku mulai merasa curiga. Soalnya, aku beberapa kali membaca berita panas yang menginformasikan tentang wanita-wanita yang melakukan praktik open B.O. Jangan sampai Tiara melakukan hal serupa, atau akan kutalak dia.

"Ada, lah, bisnis kecil-kecilan."

"Bisnis kecil-kecilan apa?" cecarku. "Awas, ya, kalau dari yang nggak-nggak. Jelek-jelek gini, Abang benci pengkhianatan."

"Astaghfirullahhal'adzim. Demi Allah, Bang. Adek setia sama Abang," sumpahnya.

"Baguslah." Ingin aku tersenyum ketika mendengar kata setia darinya. Namun, kutahan. Gengsi, dong.

************

"Mahal, Dek." Mataku terus mencari makanan termurah yang ada di daftar harga. Akan tetapi, memang semua makanan itu harganya di luar akalku.

"Pilih aja semau Abang," sombongnya. "Hari ini kan Adek yang bayar."

"Beneran?" Tak percaya aku dengan kalimatnya barusan.

Tiara menegaskan, "Benar! Kapan Adek peenah menipu Abang?"

Hatiku langsung terbang melayang saking gembiranya. Kutandai semua makanan yang terlihat lezat lewat namanya yang aneh-aneh itu.

Pelayan menghampiri kami, lalu menanyakan perihal pesanan. Tiara dengan suara yang merdu kemudian memesan bebek kecebur cabe, udang jomblo belumut, dan air soda sensasi cola.

Aku pun tak mau kalah, lalu memesan lebih banyak dari pada Tiara. Kesempitan, eh, kesempatan tak datang dua kali. Mumpung gratis, pesanlah sampai duit yang mentraktir habis.

"Pesan satu Kepiting masak nyungsang dan satu porsi sotong hamil kembar." Menu di tangan terus kubolak-balik.

"Juga ini, nih!" Kutunjuk menu tersebut. "Sambal omelan mertua. Pasti pedas ini. Nggak mungkin nggak."

"Ada lagi, Pak?" tanya pelayan lelaki itu sambil terus mencatat pesanan.

"Hmmm ... tambahin juga ayam nungging di-PHP-in dan minumnya es cendol pocong."

"Baik, Pak. Pesanan akan segera diantarkan." Setelah mengambil menu, pelayan tersebut pergi dan memberikan daftar pesanan kami kepada kawannya yang menjaga konter dapur.

"Eh, Dek. Tak apa kan kalo Abang pesan sebanyak itu?" Risau juga aku kalau ternyata Tiara tak mampu membayar, lalu kami disuruh yang macam-macam.

"Nggak apa, asal habis." Senyumnya terlempar ke arahku. Sungguh manis dan cantik. Geram aku ingin memakannya. Tapi, itu nanti setelah di rumah. Sekarang makan yang telah dipesan dulu saja.

Setelah menunggu kurang lebih setengah jam-an. Beberapa pelayan datang membawa nampan berisi pesanan kami. Air liur lku mulai menetes melihat makanan-makanan berwarna meriah itu tergeletak pasrah di atas meja.

Selepas para pelayan kembali, segera kucelupkan tangan kanan ke kobokan, lalu menagkap paha ayam yang berwarna coklat di dalam mangkuk.

"Doa dulu, Bang." Tiara mengangkat tangan. Aku mengiakan. Ayam tadi kembali ke tempatnya.

Tunggu kau, ayam!

"Allahumma bariklana fii maa razaqtana waqiiinaa adzaa bannar." Tangan kami pun mengusap wajah. Aduuh, aku lupa kalau tangan kananku tadi bekas kobokan, wajahku pun jadi basah seketika. Ah, tak apalah. Yang penting aku bisa makan sangat mewah hari ini.

**

Sendawa keluar dari mulutku. Kenyang sekali rasanya. Tiara beranjak pergi ke kasir. Kubiarkan saja, toh tiga puluh ribu sudah kusumbangkan tadi kepadanya.

"Berapa, Dek?" tanyaku sesaat setelah dia kembali.

"Tujuh ratus lapan puluh enam ribu, Bang."

"Eh, busyet!" Aku terhenyak. "Mahal ama!"

"Sekali-kali nggak apalah," ucapnya.

"Iya juga, sih. Lagian kan Adek yang bayar." Aku tertawa renyah, serenyah rice cracker.

"Oh, iya! Ini, Bang." Tiara memberikanku sebuah amplop berwarna coklat muda.

"Apa ini?"

"Itu titipan dari Pak Zainal tadi siang. Katanya, itu duit Abang jual kambing"

Kuhitung duit yang terselip dalam amplop. "Lho, kok kurang, Dek?"

"Ya iyalah, kan udah dibayarin makan."

"Bayarin makan? Jadi, kita makan pakai duit kambing Abang?"

"Ho-oh." Tiara mengangguk tanpa rasa bersalah. "Adek cuma bilang bayarin. Tapi, tetap aja pakai duit Abang."

"Haaahh! Amsyiong!" Kutepuk jidat sendiri.

"Jangan pingsan di sini, Bang. Ntar aja kalau udah di rumah." Kali ini Tiara yang tertawa renyah, sementara aku tersandar di kursi restoran.

Astaga! Harusnya aku sudah tahu sedari awal. Tiara itu penuh akal bulus. Anehnya, aku tetap saja bisa dikibulin. Hadeeh ...! Bangkrut aku dibuatkan Tiara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status