Share

Rencana Pembalasan

Kekalahan tadi harus kubalas. Pantang bagi anak Sungai Jawi untuk menyerah kalah. Masih di atas motor, aku mulai menyusun rencana agar malam ini dapat delapan ronde bersama Tiara. Hampir delapan ratus ribu tadi, Cuy. Masih untung kuhitung seratus ribu per ronde, kalau cuma lima puluh?

"Abang pergi sebentar ke depan, Dek." Kuberikan helm pada Tiara untuk langsung ditaruhnya di dalam rumah.

"Mau ngapain?"

"Ketemu si Angga," kilahku karena sesungguhnya bukan itu yang akan kulakukan.

Tiara beranjak masuk ke dalam. Aku menyunggingkan senyum licik. Dia tak tahu bakalan jadi menu utama nanti malam.

Segera kupacu motor menyusuri jalanan beraspal. Bibir Suneo-ku berkibar terkena angin yang menerpa wajah karena tak memakai helm. Rambut keritingku tak bergerak, terlalu kering dan kaku. Lima belas menit berlalu, sampailah lelaki lucu yang jeleknya membumi ini di toko si Bancuk.

"Cuk!" panggilku padanya yang sedang sibuk menata botol.

"Oi, Labi-labi. Apa hal?"

"Aku perlu obat, yang kalo aku jatuh, bisa langsung berdiri lagi."

"Hah? Kalau kau jatuh kan tinggal bangun. Kenapa perlu obat?" Bancuk kebingungan. Makhluk penggemar agar-agar seribuan itu pun menggaruk kepalanya yang botak sebelah.

"He-eh, dia nih. Bukan 'aku' secara harfiah. Tapi, ITU!" Jariku membentuk tanda kutip.

"Itu?" Sepertinya Bancuk semakin bingung. Kumisnya saja goyang-goyang.

"Hemmm," gumamku sembari mengangkat tangan yang mengepal keras.

"Astaghfirullah! Ngomonglah kalo maksudmu itu ... begini!" Tangan yang cuma tulang itu juga ikut terangkat.

"Kan udah kubilang tadi."

"Kebetulan, aku ada yang paten punya. Baru datang dari Kongo." 

Bancuk memilah beberapa botol obat yang tersusun di lemari khusus. Setelah dapat, dia pun meletakkan sebotol obat berwarna pink dengan gambar cobra yang lagi mengembang kepalanya.

"Kok, nggak meyakinkan, Cuk." Botol itu kutilik dengan saksama.

"Inilah kau ... udah kukasi tahu, masih aja nggak percaya."

"Okelah, aku try. Berapa?"

"Dua ratus lima puluh."

"Gila kau, ya? Mau naik haji balik hari kau, Cuk?"

"Apanya? Emang segitu harganya. Tak percaya, cek saja ke Kongo sana!"

"Ciiiiih!" Kuserahkan uang dua ratus tiga puluh ribu.

"Oi, Tapir Jepang! Kurang ini," protes Bancuk.

"Halah, kurang dua puluh juga. Perhitungan kali kau. Ingat! Orang perhitungan itu susah tumbuh rambutnya."

Bancuk langsung memegangi kepalanya.

"Mau kau botak sebelah terus?" tanyaku, lalu melenggang pergi.

Aku sudah tak sabar menunggu malam. Awas kau Tiara. Uangku tak mungkin keluar sia-sia.

************

Malam putus asa kepada bulan. Bintang-bintang menjadi saksi kisah mereka yang memilukan. Aku segera menelan 4 butir pil obat tadi sekaligus. Walau, dalam keterangan yang tertulis di botolnya maksimal dua. Bukankah lebih banyak itu lebih mujarab?

Tiara sudah pun berbaring dengan mata terpejam. Lekuk tubuh bak biola Argentina di balik daster tipisnya seolah memanggilku untuk nakal. Aku tergoda.

"Aaadeeek." Suaraku mengalun dan mendayu dengan cengkok khas penyanyi Melayu. Bunyi springbed tua menjadi tanda kalau aku sudah berada di sebelahnya.

Dia bergumam dengan mata yang masih tertutup. Kupandangi sejenak wajah oriental dengan kulit putih bak tepung beras miliknya. Lalu, hidungnya yang lancip, mirip jarum jangka anak SD, dan bulu mata yang lentik, serupa talang air hujan. Tiara cantik sempurna. Bikin liur mengumpul dalam mulut. Aku ngeces.

"A ... deeek." Kuusap pelan lengannya yang masih kenyal proporsional. Tak banyak lemak yang menggelember.

Tiara membuka mata. Tatapannya langsung menusuk ke relung jiwa. Penuh cinta. Sepertinya dia tahu kalau aku sedang menagih feedback traktiranku di resto tadi siang.

"Yok!" ajakku.

"Nggak bisa, Bang."

"Lho, kok?" Wajahku berubah 180°. Dari yang tadinya penuh kasih sayang, kini berubah menyeramkan. Kening berkerut membentuk tiga garis--aku asumsikan begitu. Lubang hidungku yang sebelah kanan kembang-kempis duluan, baru disusul oleh yang sebelah kiri. Mereka balapan.

"Adek kedatangan tamu," katanya lembut.

"Ta-tapi, kan, tadi Abang lihat Adek Dzuhur."

"Iya, tadi masih bersih. Datangnya setelah kita pulang. Pas Abang pergi ketemu Bang Angga."

"Apa?" Kutepuk kening spontan. Melayang sudah duitku dua ratus tiga puluh ribu. Badan kuempas ke springbed tua, menimbulkan decitan yang terdengar menderita. 

Terbaringlah diri ini dengan menatap langit kamar. Di sana, cicak jantan sedang menguber betinanya. Lalu, mereka melakukan adegan yang tadi kubayangkan terjadi antara aku dan Tiara. Beruntungnya si cicak dan sialnya aku.

Sekian jam berlalu, mataku tak mau terpejam dan kepala mulai terasa nyut-nyutan. Jantung dag dig dug lebih cepat dari biasanya. Keringat dingin bertimbulan.

Oleh karena merasa gerah, baju dan celana kutanggalkan habis, menggantinya dengan sarung supaya agak ademan.

Badanku bolak-balik ke kanan dan ke kiri. Gelisah. Telentang salah, tengkurep salah, nungging salah, kayang pun salah. Apakah ini yang dinamakan serba salah?

"Kenapa jadi gini?" tanyaku pada diri sendiri. Tiara sudah mimpi berlayar jauh. Ke Eropa mungkin. Atau ke Kutub utara, biar bisa ketemu pinguin?

"Apa kujepit pintu aja, ya?" Obatnya ada pengaruh ke otak kali. Kok, aku jadi bodoh.

"Aaarrrgghh," teriakku memegangi dada yang sakit tiba-tiba.Tiara terbangun.

"Kenapa, Bang?"

"Sakit," ujarku sambil memegangi dada kiri.

"Hah?" Tiara terlihat khawatir dan bingung secara bersamaan.

"Kita ke dokter aja."

"Jangan! Mahal."

"Ya, Allah. Situasi kayak gini pun, Abang masih pelit. Kalo Abang kenapa-kenapa, duitnya juga nggak bakalan Abang bawa."

"Telpon Ferdy aja." Ferdy adalah sainganku di SD dulu. Dia berhasil jadi dokter, sedang aku jadi apa? Proook ... proook ... proook ....

"Ok. Adek telpon Bang Ferdy."

Aku berdoa agar selamat. Jangan sampai Tiara dapat kesempatan kawin lagi. Bisa bangun aku dari kubur. Pokok intinya, aku nggak rela kalau dia disentuh lelaki lain. Catat!

"Bang Ferdy ikut misi kemanusiaan ke Somalia," jelas Tiara setelah menutup telepon.

"Kirain jadi bajak laut. Yaudah, Pak Ghazali aja, Dek." Kurasakan jantungku berpacu semakin cepat. 

Tiara menelepon Pak Ghazali, tetanggaku, yang juga seorang mantri sunat berpengalaman.

"Bentar lagi Pak Ghazali datang. Sabar, ya, Bang." Pelupuk matanya basah.

"Pakai kerudung, Dek. Pakai jaket juga, untuk nutupin daster Adek yang aduhai ciamik itu. Abang nggak mau ada kejadian kayak dalam drama Jepang."

Tiara mendelik, sepertinya dia tak suka dengan candaanku.

************

"Kamu minum obat kuat, ya?" Kacamata Pak Ghazali turun hingga ke ujung hidung.

"A-anu Pak ...." Gugup aku dibuatnya.

"Anu kamu kenapa? Gak kuat?"

"A-anu ...."

"Ah, anu mulu kamu, Junaidi."

"Nama saya Ipit, Pak. Bukan Junaidi."

Pak Ghazali memanggil Tiara yang berdiri agak di belakangnya. Tiara lembut bersuara. Namun, memandangku dengan tatapan sinis.

"Ini suaminya, kan, masih muda ... kok, udah minum obat kuat? Sering gagal apa gimana?"

"En-enggak Pak. La-lancar kok." Tiara sedikit menunduk. Rona merah di pipinya terlihat. Dia malu.

"Kalo gitu, nggak perlu sampai minum obat kuat segala," saran Pak Ghazali.

"Minum berapa kamu tadi, Irfan?" lanjut lelaki menyebalkan itu.

"Ipit, Pak. Bukan Irfan. Saya minum empat butir."

"Gila kamu! Mau mati muda apa? Untung umurmu masih panjang, Zulfikar."

Bodo amatlah mau dipanggil apa juga sama orang tua satu ini. Dibilangkan juga percuma. Dasar mantri tak ada akhlak!

Kulirik Tiara yang sedang mengepalkan tangan. Mulutnya sedikit terbuka, menampakkan gigi yang saling menekan. Gemeletuknya dapat kudengari. Gawat! Bakal habis aku diamuknya nanti. Siapa saja, tolooong ...!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status