Kabar duka datang dari rumah. Baru saja keluar dari ruangan Dosen setelah melakukan Ujian Skripsi, Dara tiba tiba mendapat panggilan telfon dari Ardi. Kakak iparnya. Ia mengabarkan bahwa Mira baru saja menghembuskan nafas terakhirnya saat melahirkan bayi pertamanya.
Bak disambar petir di siang bolong. Dara seakan tidak percaya dengan kabar yang baru saja di dengarnya. Rasa lemah dalam sekejap menggerogoti tubuhnya. Ia merosot hampir jatuh ke lantai jika saja sahabatnya tidak menahannya."Dar, kamu nggak apa apa kan?" Tanya Winda saat melihat ekspresi wajah Dara berubah total saat setelah menerima telfon."Kak Mira, Kak Mira pergi."Dara merasakan ia tidak bisa lagi memijak kan kakinya. Rasanya ia benar benar tidak mampu lagi berdiri sekarang. Kakaknya yang dilihatnya masih tertawa ria tadi pagi kini mendatangkan kabar duka yang begitu mendalam.Sekejap kesadaran Dara terbangun, ia segera berlari ingin memastikan kabar yang di dengarkan. Ia tidak percaya. Tidak akan percaya jika tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dara tersenyum getir. Berharap semua adalah kebohongan. Berharap semua adalah keisengan semata. Berharap bahwa ia salah dengar.Winda sama halnya dengan Dara, ia mengikuti langkah sahabatnya, bergegas keluar dari kampus lalu menyetop taksi di sana. Ia terus memperhatikan wajah Dara, tidak ingin terjadi apa apa sama sahabatnya itu.Dara dan Winda sampai pada salah satu bangsal rumah sakit. Di sana juga tentu ada Ardi, suami kak Mira dan Ibunya yang sedang meratapi kepergian Mira.Dara melangkah ragu mendekati orang yang terbaring di ranjang rumah sakit itu, jelas yang terbaring itu adalah kakaknya. Spontan ia menutup mulut. Bulir bulir air matanya kini berjatuhan lebih deras tanpa aba aba. Ia menangis sejadi jadinya memanggil manggil nama Mira."Kak Mira!!""Kak Mira. Bangun kak!!" Dara terus meraung tanpa henti. Ingin sekali kakaknya itu bangkit dari tidurnya. Mengatakan pada Dara bahwa ia sedang bercanda.Sama halnya dengan Dara, Ardi juga tidak henti hentinya menangis atas kepergian Mira. Memanggil nama tubuh istrinya yang tidak bernyawa lagi itu.Kini Ardi, dan Dara harus menerima semuanya, kenyataan Mira tidak akan bangun lagi, Ardi harus Terima itu. Harus ikhlas dengan kenyataan menyesakkan ini.Kini jasad Mira di bawa oleh petugas rumah sakit. Ardi tidak kuasa. Badannya terjatuh ke lantai, bersimbah dengan berlutut. Ia menangis sejadi jadinya masih susah hati menerima kepergian Mira untuk selamanya.Ibu Rita dan Winda datang menghampiri Ardi dan Dara yang masih pilu dengan perasaan masing masing. Masih kalut dalam kedukaan dalam hati mereka."Ayo lihat bayi kamu." Ibu Rita membantu Ardi untuk berdiri. Ia turut berduka dengan kepergian menantunya itu. Tapi apa yang bisa di buatnya. Ia tidak mungkin menghidupkan kembali Mira. Yang ia lakukan hanyalah bisa menerima dan ikhlas.Ardi tidak menjawab. Ia hanya mengikuti perkataan Ibu Rita dan segera menghapus air matanya. Segera ia berdiri dan keluar menuju ruang NICU tempat bayinya kini berada.Ardi memperhatikan wajah anaknya dengan Mira, ia tersenyum pilu. Kebahagian karena kehadiran kehidupan baru sedikit tertutup oleh rasa duka yang mendalam. Ardi menangis lagi, mengasihani anaknya yang selamanya tidak akan melihat wajah ibunya. Mengasihani dirinya yang telah kehilangan wanita yang dicintainya."Nak. Maafkan papa ya. Papa gak bisa menyelamatkan Mama kamu, Papa gak bisa membawa Mama kamu kesini." Ardi menyentuh kaca inkubator merasakan seolah olah sedang menyentuh pipi anaknya."Maafkan papa." Ardi menangis lagi, membiarkan kepiluan hatinya tumpah. Terus dan menerus. Sebentar sebentar kesadarannya kembali untuk menguatkan dirinya.Setelah Ardi keluar, tidak lama Dara juga muncul di ruangan NICU. Menengok keponakannya yang masih dalam Inkubator, menengok bayi yang akan tumbuh tanpa Ibu itu.Senyum getir tampak di wajah Dara memperhatikan bayi yang lucu di depannya kini. Dara menulusuri lagi wajah bayi itu. Ia terlihat lebih mirip dengan wajah Mira."Kamu yang kuat ya. Maafkan Bibi yang tidak sempat menemani mama kamu. Maafkan Bibi." Dara menatap sendu bayi itu."Bibi janji, Bibi akan jaga kamu."Kini Dara tidak punya siapa siapa lagi. Mira adalah satu satunya keluarganya setelah kepergian Ayah Ibu mereka. Tapi kini ia harus menerima kenyataan bahwa kakaknya itu telah pergi juga, meninggalkan seorang bayi mungil di depannya kini. Yang akan menjadi pengganti Mira, sisa keluarganya.***Proses pemakaman selesai. Tinggallah Dara seorang diri di sana. Ia masih menangis tersedu sedu di gundukan pemakaman kakaknya. Ia masih berharap bahwa sedang bermimpi buruk. Masih berharap bahwa ini bukanlah kenyataan.Dara mengangkat badannya, ia merasakan tidak bisa merasakan pergelangan kakinya. Rupanya ia sudah duduk terlalu lama. Dengan langkah keok dan berat hati ia meninggalkan Mira sendiri di sana.Sedangkan disisi lain, Ardi sudah lebih pulang lebih dulu khawatir dengan anaknya yang masih di rumah sakit. Dengan bantuan ibunya, Ia menjemput anak dengan jenis kelamin perempuan itu dan membawanya pulang ke rumah.Walaupun hatinya masih pilu, ia harus bangkit karena ada seorang anak yang kini akan menjadi fokus utamanya. Mau tidak mau inilah yang terjadi. Terima tau tidak, ia tidak mungkin membangunkan Mira dari kuburnya. Ia sekarang harus fokus pada anaknya, dia berpikir Mira juga pasti tidak mau ia terus larut dalam kesedihan dan melupakan keadaan anaknya."Hai sayang. Sekarang kamu sama papa saja ya." Ucap Ardi kepada anak yang dalam gendongannya itu.Ardi menelusuri wajah bayinya lalu menyentuh kelopak matanya, benar benar mirip Mira. Diantara rasa suka itu, ada rasa syukur yang terselip di hati Ardi dikala anaknya itu mirip sekali dengan Mira.Ibu Fina, mama Ardi sedang sibuknya membuatkan susu untuk cucunya. Kehadiran bayi itu setidaknya sedikit mengobati rasa duka di antara keluarga itu. Ibu Fina melirik kepada Ardi yang tidak bisa mengalihkan pandangan dari bayinya."Kamu sudah memikirkan nama untuk bayimu?""Sudah Ma. Aku dan Mira sudah mempersiapkan nama sebelumnya." Wajah Ardi berubah dikala saat menyebut nama almarhumah istrinya, membuat kenangan itu teringat kembali."Kalau kamu mau ganti nggak apa apa.""Nggak Ma. Nama itu pemberian dari Mira, setidaknya nama itu yang bisa menjadi kenangannya dengan mamanya." Ujar Ardi sambil memutar memorinya saat Mira dengan antusiasnya terus bertanya nama nama yang sesuai dengan keinginannya. Ia menyinggung kan senyum. Miris, kebahagian yang sudah ia impikan dengan Mira setelah kehadiran anaknya sirna begitu saja."Nadira Salma." Ujar Ardi menyebut nama Anaknya yang sudah terekam jelas dalam kepalanya saat Mira menyebutnya beberapa kali."Cantik sekali namanya. Halo Dira." Ibu Fina meraih tangan mungil dan menggoyang goyangkan kecil, menyapa cucunya itu.Setelah bermain main dengan cucunya beberapa menit, Ibu Fina melihat ke arah jam tangannya. Sudah terlalu lama ia meninggalkan papa Ardi di rumah. Ia masih ingin bermain dengan Nadira, tapi ia harus urungkan untuk saat ini. Mengingat kaki suaminya sedang lumpuh."Oh ya. Ardi. Mama pulang dulu ya. Kasihan papa tidak ada yang jaga. Itu di atas meja Mama sudah tulis takaran susu. Nanti kalau ada yang kamu tidak mengerti, silahkan hubungi Mama." Pesan Ibu Fina langsung menerima anggukan dari Ardi."Iya Ma, hati hati. Aku akan berkunjung lain kali.""Kamu jaga saja Nadira. Mama pergi dulu." Pamitnya Ibu Fina sambil melambaikan tangan sambil melangkah hingga menghilang dari balik pintu.Setelah satu delapan hari kepergian Mira, kini Ardi sibuk mengurus Nadira sendirian. Dia bahkan kini tidak sempat lagi pergi bekerja. Mau minta bantuan pada Ibunya tapi tidak mungkin. Ibunya juga sedang merawat Ayahnya yang sedang sakit. Ia tidak mungkin merepotkannya."Aku bingung Ma, apalagi Nadira selalu menangis." Ardi mengusap wajahnya, terlihat jelas sekali bawah matanya yang dalam dan gelap akibat tidak bisa tidur. Mata nya terkulai dan sekali kali ia menguap. "Sebaiknya kamu segera mencari babysitter untuk menjaga Nadira. Kamu kan harus kerja juga, nggak bisa ninggalin perusahaan lama lama. Mama sebenarnya ingin menjaga Nadira, tapi Mama juga nggak bisa. Harus fokus dengan kesembuhan Papa kamu."Ardi melirik Nadira yang sedang tidur di ranjang bayi, lalu memejamkan mata. Jika lima detik saja ia menutup matanya, maka pasti saat itu juga ia akan tertidur. "Iya Ma aku ngerti. Aku akan cari secepatnya." Ucap Ardi ragu.Sambil menguap Ardi mengakhiri panggilan telfonnya dengan I
Keheningan merambat ke seluruh kamar kos Dara, ia belum menghubungi Winda perihal besok ia tidak pergi lagi ke Minimarket tempat biasanya ia bekerja. Ia pun segera meraih ponsel yang tergeletak asal di tempat tidurnya. Sebuah nama kontak mulai di carinya lalu segera ia menempelkan ponsel ke telinga nya. Sambungan telfon terhubung. Ia mulai menyapa dan memberitahu sahabatnya itu tentang berhenti nya dia dari pekerjaan dan alasan di baliknya."Mulai besok aku nggak masuk lagi, Aku mau jaga Nadira." Ungkap Dara."Serius Dar.... , Kamu udah kasih tau Reno nggak?" Tanya Winda setelah mendengar rencana dari sahabatnya ini.Dara sebenarnya sudah memberitahu Reno perihal hal ini, tapi pacarnya itu justru tidak menyetujuinya dan menolak keinginannya, tanpa ia jelaskan apa alasan dia melarang dirinya untuk menjaga Nadira. Dan sekarang ia tetap melakukannya, yang pastinya jika ia menghubungi pria itu sekarang ia pasti akan marah besar."Aku sudah beritahu, tapi dia tidak setuju. Aku nggak tau
Sebelum membalikan badan, Arya mencium Nadira lebih dulu, membuat Dara yang sedang mengendong Nadira merasakan sensasi yang berbeda. Ia buru buru menepis pikiran anehnya itu sebelum menguasai seluruh otaknya.Ardi menghilang dari jangkauan pandangan Dara, ia sendiri kini kembali memerhatikan Nadira yang sudah tertidur. Dengan gerakan pelan dan hati hati Dara berdiri dari duduknya dan kemudian perlahan melangkahkan kaki ke kamar Nadira.Di samping tempat tidur bayi, sudah ada ranjang sedang dan sofa yang memang sudah disiapkan untuk menjaga Nadira di sana. Dara mendaratkan diri di sofa itu lalu menyandarkan punggung kebelakang dengan masih ada Nadira dalam pangkuannya. Ia benar benar betah dengan kehadiran Nadira diantara pelukan tangannya.Tidak berselang lama, di dalam rumah yang senyap itu Dara dapat mendengar suara deruman mobil Ardi perlahan redup menghilang dari jangkauan telinganya. Kini sekarang tinggal dirinya dan Nadira yang berada dalam rumah. Saat Nadira tidur di tempat ti
Setelah selesai dengan ritual malamnya, Dara siap siap untuk tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah setelah hal hal yang di lalui nya hari ini, terlebih lelah pikirannya setelah bertemu Reno sore ini. Akan tetapi saat Dara akan menutup mata nya, tiba tiba ponselnya berdering. Ia pun mengambilnya dan melihat nama yang tertera dalam ponsel itu.Ada sekilas pertanyaan yang muncul di benak Dara saat mengetahui orang menghubunginya. Namun tanpa berpikir lama ia segera mengangkat panggilan dari kakak iparnya itu. "Maaf Dara. Saya mengganggumu malam malam begini. Nadira menangis sejak tadi, aku tidak bisa menenangkannya." Ardi langsung bicara ketika sambungan telfon terhubung, membuat Dara mengerti alasan pria itu menghubunginya. Dara dapat mendengar getaran dari pemilik suara itu, hatinya pasti cemas dan bingung ketika ia tidak bisa menenangkan Nadira. Suara tangis Nadira terdengar pun juga jelas di telinga Dara. Apa ia harus kesana malam ini sekarang. "Saya mohon, saya juga t
Dara kembali ke kosannya sore ini. Ia membaringkan diri mengistirahatkan badannya sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya yang tergeletak di sampingnya.Dara membaca pesan dari Reno yang masuk sejak ia berada di rumah Ardi. Pesan dengan isi, Reno memintanya untuk bertemu malam ini. Dara memang harus bertemu Reno, ia harus menyelesaikan ketegangan yang terjadi di antara mereka.Setelah selesai menutup pintu, dengan cepat Dara menaiki dan memutar kunci motornya melaju meninggalkan kosannya. Setelah sampai ke tempat yang sudah di tentukan Reno untuk bertemu, tiba tiba Dara mendapat panggilan dari Ardi. Lagi. Ardi tidak bisa menghentikan tangis Nadira.Tanpa kata kata lagi, Dara langsung memutar motornya. Ia tidak sanggup membiarkan Nadira terus menangis. Ia harus segera berada di sana, mendekap sang bayi mungil itu.Dara langsung berlari ke dalam rumah, lalu meraih Nadira dari Ardi. Dengan wajah panik Dara menghentikan tangis Nadira.Nanap. Ardi menatap aneh. Ada apa sebenarnya. Men
Seperti biasa malam itu, Ardi mendirikan tenda di luar dan Dara di dalam rumah bersama Nadira. Namun kali ini Dara tidak bisa tidur rasa lapar melanda nya sejak tadi. Ia menunggu beberapa saat, memastikan Ardi dan Nadira sudah terlelap.Dengan langkah mengendap endap, Dara melangkahkan kakinya ke dapur. Karena aksinya diam diam ia tidak menyalakan lampu dan memilih mengunakan cahaya ponselnya. Kemudian Dara mulai mengeledah, mencari sesuatu yang bisa di makan.Ardi terbangun, ia merasakan haus dan bahkan lupa membawa air minum ke dalam tenda. Ia kemudian keluar dan masuk ke dalam rumah langsung menuju ke arah dapur. Alangkah kagetnya Ardi, menemukan dan menyaksikan seseorang dalam gelap sedang mengacak acak mencari sesuatu di lemari penyimpanan atas. Ia kemudian mengatur posisi waspada, bersiap menangkap orang yang dianggapnya pencuri itu.Karena ukuran sasaran yang lebih kecil darinya, Ardi dengan cepat mendekap dan menahan tangan orang itu dari belakang. Ia lalu menjatuhkan ke bawa
Dara kembali ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Dan kunci motornya ada di lantai atas, bagaimana ia melewati mereka dalam situasi seperti ini. Dara memberanikan langkah kakinya, ia lebih baik pulang sekarang, dia tidak mungkin mengatakan kepada Ibu Fani bahwa ia masih ingin tetap berada di rumah ini. Ia tidak punya hak untuk hal itu, dirinya bukanlah apa apa selain menyandang gelar bibi dari anak Ardi."Kak Ardi. Tante."Mendengar suara Dara, Ardi spontan menoleh ke arah suara. Ia bisa melihat raut pucat lesu gadis itu, sepertinya sakit perutnya belum hilang. Tapi ada yang membuat Ardi lebih gelisah, Dara pasti mendengar pembicaraannya dengan ibunya. Ia takut, Dara mungkin akan sedih dan berpikiran tidak bertemu Nadira lagi. Dara mendekati keduanya dengan langkah tertatih Ratih, ia kemudian melirik Ardi yang menatap dengan raut wajah khawatir."Aku nggak apa apa kak." Ucap Ratih bohong, tidak ingin pria itu merasa cemas padanya."Aku akan pulang." Ucap Dara menambahkan. Ardi m
"Kok gitu? Bukannya kamu yang ingin terus kesana. Lalu bagaimana dengan keponakan kamu?"Dara diam, titik pandangnya jatuh ke bawah. Bingung akan berkata apa. Di samping ia harus menjauh dari Ardi dan Nadira, di sisi lain ia merasa sulit meninggalkan bayi itu. Ia merasa tidak terima dengan situasi ini. Bagaimana keadaan Nadira nanti jika tanpa dirinya. Apakah ia akan tahan merindukan bayi yang sudah sangat di sayangnya itu.Namun terlepas dari hal itu, Dara harus menentukan arah keputusannya. Mau tidak mau, dia harus meninggalkan mereka. Meninggalkan Nadira."Kamu nggak apa apa?" Mendapati Dara hanya diam atas pertanyaan yang sudah ia lontarkan, ada resah di hati Winda memikirkan Dara yang mungkin sedang dilanda masalah.Dara tersadar dari lamunannya. Ia lalu mengangkat wajahnya melihat Winda yang terus menyorotkan pandangan kepadanya. "Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa apa."Sambil mengusap rambutnya ke belakang, Dara menghela napas berat dan mengalihkan pandangannya keluar jende