Share

Chapter 7

Seperti biasa malam itu, Ardi mendirikan tenda di luar dan Dara di dalam rumah bersama Nadira. Namun kali ini Dara tidak bisa tidur rasa lapar melanda nya sejak tadi. Ia menunggu beberapa saat, memastikan Ardi dan Nadira sudah terlelap.

Dengan langkah mengendap endap, Dara melangkahkan kakinya ke dapur. Karena aksinya diam diam ia tidak menyalakan lampu dan memilih mengunakan cahaya ponselnya. Kemudian Dara mulai mengeledah, mencari sesuatu yang bisa di makan.

Ardi terbangun, ia merasakan haus dan bahkan lupa membawa air minum ke dalam tenda. Ia kemudian keluar dan masuk ke dalam rumah langsung menuju ke arah dapur.

Alangkah kagetnya Ardi, menemukan dan menyaksikan seseorang dalam gelap sedang mengacak acak mencari sesuatu di lemari penyimpanan atas. Ia kemudian mengatur posisi waspada, bersiap menangkap orang yang dianggapnya pencuri itu.

Karena ukuran sasaran yang lebih kecil darinya, Ardi dengan cepat mendekap dan menahan tangan orang itu dari belakang. Ia lalu menjatuhkan ke bawah dan menahan tubuh atas sasaran dengan lengannya yang kuat, sehingga yang di tahannya tidak dapat menggerakkan tubuhnya untuk melawan.

Tubuh Dara melemah dan bergetar, menyaksikan apa yang sedang di alaminya. Napasnya memburu, jantungnya berdetak kian cepat dari biasanya. Napas mereka bahkan bergantian saling menerpa wajah. Dara bisa memastikan bahwa orang yang ada di atas tubuhnya ini adalah Ardi.

Ardi mematung sebentar ketika tidak sengaja menyentuh kedua belah dada yang menonjol itu. Pencurinya adalah sekarang wanita.

Ketika Dara merasakan Ardi menyentuh dadanya spontan ia menggerakkan tangan kanannya yang tidak tertahan, bermaksud mendorong Ardi dengan satu tangannya. Tapi percuma tenaganya bukanlah apa apa di banding Ardi apalagi kini ia sangat lapar.

"Ini aku kak. Dara." Rintih Dara lemah.

***

Mengenali suara orang yang di tindih nya, Ardi membelalakkan mata. Cepat cepat ia mengangkat badannya dan berpindah dari tubuh Dara

.

"Maafkan saya." Spontan Arya langsung bersuara.

Dengan gerakan yang lemah, Dara membangunkan badanya lalu melihat ke arah Ardi.

Ardi menjadi kikuk. Apa yang baru saja dilakukannya. Ia telah menyentuh adik iparnya. Sudah berani membawa Dara dalam kuasanya dan menyentuh bagian yang seharusnya ia tidak sentuh. Ia sudah melakukan kesalahan yang fatal.

"Saya minta maaf telah menyentuhmu." Ucap Ardi lagi.

Dara spontan menutup dadanya dengan tangannya lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. 'Sangat memalukan' batinnya.

Ada apa dengan situasi yang absurd dan aneh ini. Dara bingung, malu, dan seperti dilecehkan. Rasa laparnya bahkan menghilang. dia mengutuk seharusnya dirinya yang menghilang bukan laparnya.

Sayup sayup keduanya mendengar suara tangis Nadira. Inilah kesempatan Ardi untuk keluar dari situasi ini, dengan sigap ia menyorotkan sinar ponselnya dan berlari meninggalkan dapur terutama meninggalkan Dara.

Sedangkan Dara yang menjadi canggung dengan Ardi, hanya diam di tempat dan lagipula ia sudah tidak bertenaga untuk berlari kencang. Lambat laun ia kemudian mengangkat dirinya berdiri berjalan ke arah kamar dan menghampiri Nadira yang masih menangis.

***

Suara tangis Nadira kembali terdengar pagi itu, Dara terbangun dan menggeliat di atas tempat tidur, akibat terlambat makan kini ia merasakan sakit di perutnya.

Dengan wajah yang pucat dan lemah Dara bangkit dari tidurannya, seketika ia meringis karena perutnya lebih sakit lagi saat ia membangkitkan badannya. Dara menurunkan kakinya, membungkuk dengan tangan kanannya yang terus menekan nekan perut.

Karena suara Nadira, Ardi sudah berdiri di ambang pintu dan melihat Dara yang terlihat sedang menekan perut sambil menahan sakit. Ia kemudian mendekat dan meraih Nadira dari ranjang ayunannya lalu menghampiri Dara.

"Ada apa?" Tanya Ardi tiba tiba khawatir mendapati Dara yang meringis sakit.

"Perutku sakit kak. Aku terlambat makan." Sudah, ia tidak ingin berbohong lagi. Perutnya benar benar sakit sekarang.

Disertai suara tangis Nadira, Ardi bisa mendengar ucapan Dara. Alangkah kagetnya ia mendengar perkataan itu. Mengapa Dara tidak bilang bahwa ia lapar.

"Mengapa kamu tidak bilang?"

"Maaf kak. Aku malu."

Karena Nadira masih menangis, Ardi menyerahkan bayi mungil kecil itu kepada Dara. Ia tidak punya pilihan selain menyerahkannya kepada Dara yang masih lemah, daripada menunggu tangis Nadira reda.

Dengan langkah cepat Ardi berlari ke dapur. Ia baru menyadari ternyata Dara yang diam diam datang ke dapur malam tadi karena kelaparan. Akibat rasa canggung dan kejadian memalukan itu, Ardi menyalahkan dirinya karena tidak bertanya kepada Dara.

Setelah beraksi dengan langkah yang cepat, Ardi kembali dari dapur dan membawa semangkuk bubur. Ia kemudian meraih Nadira dan memberikan bubur yang telah ia buat kepada Dara.

"Apa kamu ingin ke rumah sakit?"

Sambil menelan buburnya, yang ditanya menggelenng, "Nggak usah kak. Sakit perutku akan reda setelah makan dan istirahat."

Ardi tidak berangkat kerja hari ini, ia tidak mungkin meninggalkan Nadira pada Dara dengan kondisi seperti ini, apalagi ia sangat khawatir dengan kondisi gadis itu.

Setelah membiarkan Dara untuk istirahat, Ardi membawa Nadira ke ruang keluarga. Ia tidak ingin mengganggu gadis itu.

Tidak lama bermain dengan anaknya, tiba tiba Ibu Fina muncul dari balik pintu dan berjalan mendekati Ardi yang sedang bercanda dengan Nadira. Betapa kagetnya Ardi melihat kedatangan Mamanya yang tiba tiba.

"Kok kamu kaget lihat Mama?" Tanya Ibu Fanny setelah melihat ekspresi Ardi.

"Mama nggak hubungi Ardi lebih dulu."

"Capek Mama hubungi kamu, nggak di angkat."

Ardi melirik ponselnya di atas meja. Tentu saja ia tidak melihat panggilan dari Mamanya karena sedang mengurus Dara yang sedang kesakitan dan kini mengendong Nadira. Mana sempat ia membuka ponselnya.

"Kamu nggak siap siap pergi kerja? Mana babysitter kamu?" Mata Ibu Fanny berkeliling mencari kehadiran seseorang di rumah ini selain Ardi.

"Aku nggak sewa babysitter, tapi aku minta bantuan sama Dara."

"Adik mendiang istri kamu?"

"Iya Ma."

"Apa kamu gila membawa gadis muda ke dalam rumah kamu. Mama maksudnya itu cari yang sudah berumur, sudah berpengalaman, bukan gadis muda. Apa kata orang nanti, ternyata kamu ternyata kamu menyembunyikan seorang gadis di rumahmu alih alih beralasan bahwa ia adalah bibi Nadira." Jelas Ibu FIna yang tidak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya.

Apa Ardi tidak memikirkan sebab akibat dari tindakannya. Jika orang orang tahu hal ini mereka tidak akan peduli dengan penjelasan mereka selain melihat kenyataan keduanya sedang berada dalam satu atap. Pikiran pikiran itu bermunculan di kepala Ibu Fina.

"Gini. Mama bukannya benci sama Dara, tapi yang kamu lakukan ini salah. Takutnya nanti ada berita berita buruk tentang mu. Jadi kamu harus memberitahu Dara untuk berhenti dan Mama akan bantu kamu mencarikan babysitter yang tepat dan sesuai."

"Nggak Ma. Aku nggak setuju. Nggak ada babysitter. Aku sudah memilih Dara untuk menjaga Nadira. Dan orang yang tepat itu untuk Nadira cuma Dara."

"Ardi, apa kamu nggak kasihan? Jika dia terus menerus menjaga Nadira, bagaimana dengan kehidupan pribadinya. Dia masih muda dan masih banyak yang harus ia capai."

Ardi diam, membenarkan semua perkataan Ibunya. Namun tetap saja, hanyalah Dara yang dia inginkan untuk menjaga Nadira. Apalagi melihat situasi beberapa hari ini, hanya Dara yang bisa menenangkan anaknya. Bagaimana jika orang baru datang tapi tidak bisa menenangkan Nadira seperti Dara walaupun sudah punya banyak pengalaman.

"Aku tetap nggak bisa Ma. Dara sangat menyayangi Nadira. Mereka juga punya ikatan darah karena itu aku lebih nyaman Nadira ada pada dia. Jadi Mama tidak usah melarang ku. Untuk omongan orang orang biar Ardi yang hadapi. Mama nggak usah khawatir." Jelas Ardi tetap kekeh dengan tekadnya.

Tanpa di sadari Ibu dan Anak itu, tidak jauh dari mereka berdiri sudah ada Dara yang menguping pembicaraan mereka. Diam diam Dara membenarkan perkataan Ibu Fina. Bagaimana bisa ia tidak memikirkan hal ini. Tapi Dara tidak bisa meninggalkan Nadira, apalagi melihat kondisi Nadira yang seringkali menangis. Apa yang harus dia lakukan. Pikiran Dara terus berkecamuk tanpa henti. Lagi dan lagi.

Dara kembali ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Dan kunci motornya ada di lantai atas, bagaimana ia melewati mereka dalam situasi seperti ini.

Dara memberanikan langkahnya, ia lebih baik pulang sekarang, dia tidak mungkin mengatakan kepada Ibu Fani bahwa ia masih ingin tetap berada di rumah ini. Ia tidak punya hak untuk hal itu, dirinya bukanlah apa apa selain menyandang gelar bibi dari anak Ardi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status