Share

Chapter 9

"Kok gitu? Bukannya kamu yang ingin terus kesana. Lalu bagaimana dengan keponakan kamu?"

Dara diam, titik pandangnya jatuh ke bawah. Bingung akan berkata apa. Di samping ia harus menjauh dari Ardi dan Nadira, di sisi lain ia merasa sulit meninggalkan bayi itu. Ia merasa tidak terima dengan situasi ini. Bagaimana keadaan Nadira nanti jika tanpa dirinya. Apakah ia akan tahan merindukan bayi yang sudah sangat di sayangnya itu.

Namun terlepas dari hal itu, Dara harus menentukan arah keputusannya. Mau tidak mau, dia harus meninggalkan mereka. Meninggalkan Nadira.

"Kamu nggak apa apa?" Mendapati Dara hanya diam atas pertanyaan yang sudah ia lontarkan, ada resah di hati Winda memikirkan Dara yang mungkin sedang dilanda masalah.

Dara tersadar dari lamunannya. Ia lalu mengangkat wajahnya melihat Winda yang terus menyorotkan pandangan kepadanya.

"Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa apa."

Sambil mengusap rambutnya ke belakang, Dara menghela napas berat dan mengalihkan pandangannya keluar jendela.

"Kami diminta untuk menikah Win. Jika aku masih berada di rumah itu."

"Hah!! Maksudmu dengan kakak ipar kamu?" Mulut Winda membulat sempurna dikala mendengar tutur kata yang keluar dari mulut Dara. Ia berdecak ketika mata Dara teralih menatap kepada nya dan dengan sorotan seolah mengiyakan tebakannya.

Kalian nggak lakuin hal hal yang... , " Winda menggantung kalimatnya, tidak mampu melontarkan isi pikiran yang tanpa ampun tiba tiba menyerang kepalanya, yang bisa menjadi kemungkinan alasan atas perkataan Dara.

"Nggak Winda." Dara langsung menyala pikiran kotor Winda terhadapnya.

"Lalu?" Tanya Winda tidak sabar mendengar penjelasan dari Dara.

"Aku sudah beberapa kali bermalam di sana."

"Astaga Dara." Winda tidak habis habis nya tercengang setiap lisan yang keluar dari mulut Dara. Ia berpikir bahwa sahabatnya ini benar benar sudah kehilangan akal. Mengapa ia tidak memikirkan hal tabu yang sudah jelas.

"Untuk itu, aku tidak akan kesana lagi. Rasanya aku akan menjadi orang paling jahat jika hal itu terjadi."

"Apa Reno sudah tau hal ini?"

Dara menggeleng saat teringat akan Reno. Ia tidak bisa membayangkan reaksi Reno saat tau dirinya akan dinikahkan dengan pria lain.

"Tolong jangan beritahu dia." pinta Dara membuat Winda langsung menganggukkan kepalanya.

Winda melihat keluar jendela rumah sakit, hari sudah gelap ia merasakan perutnya sudah mulai bernyanyi nyanyi. Lantas ia melirik jam tangannya, "Aku cari makan dulu Dar, kamu mau makan apa?"

"Seperti biasa."

"Kalau gitu aku keluar dulu." Winda langsung berdiri dari tempat duduknya dan melangkah keluar.

Setelah Winda menghilang dari balik pintu, Dara melirik ponselnya di atas meja. Ponsel itu sudah ia matikan setelah menghubungi Winda siang tadi. Walaupun ia tidak yakin Ardi akan menghubunginya, tapi lebih ia benar benar menghindar sekarang.

Namun, lagi dan lagi. Dara teringat pada Nadira. Sejumlah pertanyaan pertanyaan menghujam pikirannya. Apakah Nadira sedang menangis sekarang. Bagaimana jika Ardi tidak bisa menenangkan lagi bayi itu. Ataukah Nadira sedang tidur di pangkuan Ardi.

Mata Dara terasa panas, perlahan matanya menjadi berkilau. Tampak air mata itu menumpuk di pelupuk mata. Ia mengangkat wajah ke atas menahan air matanya untuk tidak keluar. Ia menjadi bertanya tanya, mengapa ia sangat menyayangi dan mencintai bayi itu. Apakah benar alasannya karena dia anak Mira, Apakah karena Nadira kehilangan ibunya saat lahir, atau apakah karena dia kasihan pada bayi itu.

Dara tidak sanggup. Kini air matanya perlahan mengalir di pipinya. Apapun alasannya, intinya dia sangat menyayangi Nadira. Tapi ia sadar dia tidak punya banyak hak pada bayi itu, dan sekarang ia tidak bisa lagi bertemu dengannya. Walaupun ia mau, Dara tidak bisa melakukannya lagi.

Pintu terbuka, buru buru Dara menghapus air matanya. Tidak ingin Winda terus melihat dalam pedih pilu hatinya. Tapi ia terlambat, Winda justru sudah menyadari dirinya sedang menangis. Sahabatnya itu kini menatap sendu kepadanya.

Winda sigap memeluk Dara, ia merasakan bahu sahabat ini tambah bergetar ketika berada dalam rengkuhan pelukannya. Bahkan air mata itu dengan hangat merembes ke bajunya. Winda ikut berlinang ketika sedih Dara merambat ke hatinya.

"Aku sangat menyayangi Nadira."

Mengapa gadis ini terus di landa kesedihan. Dara belum lama ini kehilangan kakak tersayangnya dan kini ia tidak punya banyak kemampuan hanya untuk bertemu Nadira, anak kakaknya sendiri.

Tiba tiba Winda merasakan ponselnya bergetar, Winda pelan melepas tangannya dari Dara dan meraih ponsel dari dalam sakunya. Ia melihat nama yang tertera dalam layar ponsel itu. Dari Reno. Winda melirik Dara yang masih sesenggukan dalam peluknya. Ia kemudian menolak panggilan itu dan mematikan ponselnya.

***

Setelah hari itu, Ardi kini kembali kewalahan mengurus anak nya seorang diri. Sudah dua hari sejak hari terakhir Dara di rumahnya kini gadis itu benar benar tidak datang lagi.

Ia bahkan sudah menghubungi Dara berkali kali, namun tetap saja nomor gadis itu selalu berada di luar jangkauan. Sepertinya Dara mendengarkan ketika Ardi melarang nya datang kecuali untuk merawat dan mengasuh Nadira kembali. Untuk saat ini, itulah yang di pikirkan Ardi.

Setelah Nadira menangis kencang kini bayi mungil kecil itu tertidur akibat kelelahan, Namun ada hal lain lagi yang membuat Ardi tidak berhenti cemas. Di rasakan juga Nadira mulai sedikit panas setelah tertidur. Hal itu langsung membuat Ardi kalang kabut hingga spontan ia menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar rumah.

Sambil memutar memegang setir mobilnya Ardi berkali kali menghubungi Dara, tapi tetap saja panggilan tidak terhubung dari ponsel gadis itu. Ia melirik Nadira yang masih menangis tidur. Ardi menjadi was was takut terjadi apa apa dengan Nadira.

Hari ini juga Dara keluar dari rumah sakit, dengan bantuan tongkat ia turun dari ranjang pasien. Dengan gerakan hati hati Dara menyempurnakan tegak kakinya dan berjalan dengan Winda membantunya dari samping, Menahannya agar tidak terjatuh. Keduanya melangkah pelan dan lambat keluar dari bangsal rumah sakit.

Dengan gerakan cepat dengan pikiran yang di penuhi Nadira, Ardi bergegas cepat berlari ke dalam rumah sakit.

Dara yang melihat orang di kenalnya dengan wajah penuh ketegangan di wajahnya hampir tidak sadar menjatuhkan tongkatnya. Ia ingin berlari mengejar mereka.

Melihat reaksi Dara yang tiba tiba, Winda mengikut arah pandangnya. Terlihat Ardi sedang berlari dengan bayi di gendongannya mencari dokter spesialis anak.

"Winda, tolong aku ingin melihat Nadira. Aku takut dia kenapa napa." Dara yang sudah panik, mencoba berlari tapi ia tidak bisa.

"Kita pelan pelan Dara, kaki kamu lagi sakit." Ujar Winda masih memegang sisi kiri Dara.

Ardi sudah berada di ruangan salah satu dokter di rumah sakit itu. Kini tangis Nadira sudah berhasil di hentikan. Dokter perempuan itu kini dengan teliti memeriksa keadaan Nadira.

"Saya melihat bapak datang kesini sendiri, apa ibunya sedang pergi?"Dokter itu memperhatikan karena sejak tadi Ardi masih sendiri tanpa ada yang menyusul."

Setelah mengatakan itu, pintu ruangan dokter terbuka pelan menampilkan Dara yang sudah berdiri di ambang pintu.

Ardi mengikuti arah sorot mata Dokter ke belakangnya, betapa kagetnya ia menemukan Dara melangkahkan kakinya pincang berusaha meraih kursi kosong samping dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status