Share

Chapter 8

Dara kembali ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Dan kunci motornya ada di lantai atas, bagaimana ia melewati mereka dalam situasi seperti ini.

Dara memberanikan langkah kakinya, ia lebih baik pulang sekarang, dia tidak mungkin mengatakan kepada Ibu Fani bahwa ia masih ingin tetap berada di rumah ini. Ia tidak punya hak untuk hal itu, dirinya bukanlah apa apa selain menyandang gelar bibi dari anak Ardi.

"Kak Ardi. Tante."

Mendengar suara Dara, Ardi spontan menoleh ke arah suara. Ia bisa melihat raut pucat lesu gadis itu, sepertinya sakit perutnya belum hilang. Tapi ada yang membuat Ardi lebih gelisah, Dara pasti mendengar pembicaraannya dengan ibunya. Ia takut, Dara mungkin akan sedih dan berpikiran tidak bertemu Nadira lagi.

Dara mendekati keduanya dengan langkah tertatih Ratih, ia kemudian melirik Ardi yang menatap dengan raut wajah khawatir.

"Aku nggak apa apa kak." Ucap Ratih bohong, tidak ingin pria itu merasa cemas padanya.

"Aku akan pulang." Ucap Dara menambahkan.

Ardi meletakan Nadira yang sudah tidur ke ranjang dorong nya lalu menatap intens Dara, memperhatikan kondisi adik iparnya itu. Bagaimana bisa ia membiarkan pulang Dara dalam kondisi fisik lemah begini.

"Nggak bisa. Kamu masih sakit, bagaimana jika terjadi apa apa denganmu." Sergah Ardi tidak terima.

Dara tidak mengindahkan penolakan Ardi, ia kemudian menoleh kepada Ibu Fina, "Aku akan pergi tante."

"Maafkan tante Dara. Tante tidak bermaksud buruk padamu. Tante hanya tidak mau kejadian buruk menimpa kalian."

"Nggak apa apa. Dara bisa mengerti perasaan dan maksud tante." Ardi naik pitam mendengar ucapan Dara yang setuju dengan pendapat Ibunya.

"Kamu nggak bisa pergi. Kamu harus tetap menjaga Nadira dan tetap kamu." Ardi menegaskan keputusannya, tidak mengizinkan Dara pergi dan meninggalkan Nadira.

"Kak. Aku akan datang kapan kapan untuk menengok Nadira."

"Saya tidak akan mengizinkan kamu menengok Nadira, kecuali kamu datang untuk menjaga dan mengasuhnya. Jika kamu masih ingin bertemu Nadira saya mohon kamu tidak merubah niat kamu hanya menakutkan hal yang tidak perlu."

"Ardi, kamu sudah menjadi egois." Ibu Fina menyela, tidak habis pikir dengan keegoisan Ardi. Apa dia gila membiarkan seorang gadis yang bukan muhrimnya berada satu atap dengannya. Ia membatin.

"Ma. Aku melakukan ini untuk Nadira. Mengapa aku harus lebih peduli pendapat orang lain daripada peduli tentang Nadira."

"Kamu belum membiarkan orang lain untuk menjaga Nadira, Ardi. Mengapa kamu menolak disaat kamu belum mencobanya" Ibu Fina mencoba memberi pemahaman kepada Ardi. Mencoba Untuk membuatnya mengerti.

"Nggak. Mama salah. Aku yakin orang lain nggak akan bisa, bahkan aku sendiri juga nggak bisa."

"Kenapa kamu seyakin itu?"

"Karena aku sudah melihatnya Ma. Aku yakin Mira sudah memilih adiknya sendiri untuk menjaga Nadira."

"Baiklah. Jika kamu tidak ingin berubah pikiran untuk mengganti pengasuh anak kamu, dan kamu yakin keberadaan Dara karena Mira. Mama akan menyetujui itu, lagipula mama menolak Dara karena situasi di antara kalian berdua, dua orang dewasa berada dalam satu rumah tanpa ikatan apapun."

Ibu Fina berhenti sejenak lalu melirik ke arah Dara yang dari tadi mendengarkannya dan Ardi. Ia bisa melihat dan menebak dari ke dua ekspresi wajah itu bahwa mereka mengerti dengan apa yang maksudnya.

"Maka kalian harus menikah."

Seperti di jatuhi bom Ardi dan Dara terperangah. Mata mereka terbuka lebar lebar atas perkataan yang mereka dengar. Mereka tidak percaya Ibu Fina melontarkan hal yang tidak di sangka sangka.

"Jika kalian tidak mau, Mama akan menemukan pengasuh yang sesuai." Ibu Fina meletakan paper bag yang berisi baju baju bayi di atas meja dan pergi dari sana meninggalkan Dara dan Ardi yang masih terpaku dengan ke kagetan mereka.

Hening. Tidak ada yang bersuara, keduanya masih membeku. Segudang deretan kalimat terus mengalir dalam pikirannya mereka.

Apa Ardi harus menikahi Dara, adik iparnya. Mira bahkan belum lama pergi, bagaimana bisa ia akan menikah lagi. Ia terlalu cepat mendengar kata pernikahan saat ia baru kehilangan istrinya. Lalu apakah ia harus menolak perkataan ibunya. Bagaimana keadaan Nadira jika Dara pergi. Apakah ia yakin bahwa Mira lah yang memilih Dara untuk Nadira. Ardi memohon penjelasan, butuh titik terang apa yang selanjutnya yang ia harus lakukan. Dia butuh jawaban.

Dan Dara ia tidak mungkin melakukan hal itu. Bagaimana bisa ia menggantikan posisi kakaknya. Rasanya seperti ia akan mengkhianati kakaknya. Rasanya ia muncul hanya untuk merebut Ardi dan Nadira jika mengiyakan perkataan Ibu Fina. Sangat gila.

Setelah berdiam lama, Dara menengok Ardi yang situasinya juga sama dengannya lalu membuka mulutnya, "Aku pulang dulu kak."

Ardi membiarkan Dara berlalu dari hadapannya, tidak tau harus berbuat apa. Jika ia harus menahan Dara sekarang, apa yang akan dia jelaskan pada gadis itu. Apa dia akan meminta Dara untuk menikah dengannya sedangkan ia sendiri belum yakin dengan hal itu.

Ardi menjatuhkan badannya ke sofa kasar, di rasakan kepalanya seperti akan pecah, sambil memejamkan mata ia lalu memijat pelipisnya menghilangkan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Hanya satu yang ditunggunya sekarang. Jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang antri dalam otaknya.

Di tempat lain, Masih dengan kebimbangan hatinya. Dara melajukan motor matic nya. Pikirannya masih berada pada situasi tadi. Ia lalu membenarkan perkataan Reno. Walaupun niatnya hanya untuk Nadira, tidak seharusnya ia berada di rumah itu. Seharusnya ia tidak membiarkan dirinya berada di rumah kakak iparnya sendiri.

Masih dengan pikiran yang penuh dan kondisi tubuh yang sedang lemah. Dara kehilangan fokus saat mengendarai maticnya. Tangannya melemas hingga tidak sadar motornya menyerong ke samping kanan dan membuat pemotor yang sedang melaju dari arah belakang tidak sengaja menabraknya.

Dalam sekejap semua menghilang. Semua kosong. Dara tidak merasakan apa apa sebelum menyadari tubuhnya sudah terjatuh ke jalanan. Yang ia lihat sekarang, dirinya sedang terduduk di aspal dengan pergelangan kaki yang tidak biasa ia gerakan. Dara menangis ketika wajah Ayah, Ibu, dan kakaknya tergambar jelas dalam ingatannya. Ia ingin pulang. Ingin kembali ke masa masa itu.

***

Dara memperhatikan sahabatnya dengan wajah khawatir bercampur kesal sedang melotot kan mata seperti akan menusuk dirinya.

"Aku nggak apa apa Win, serius."

"Apanya yang nggak serius, lihat kaki kamu." Menyaksikan sikap Dara yang biasa saja setelah kakinya cedera membuat Winda tidak habis pikir. Bisa bisanya sahabatnya itu santai saja setelah mengalami kecelakaan.

"Itu cuma cedera sebentar, palingan satu minggu atau dua minggu ke depan sudah sembuh." Jawab Dara sambil mengamati pergelangan kakinya yang lebam dan tergores

"Terus apa kamu nggak akan lagi ke rumah kakak iparmu itu." Setelah melontarkan pertanyaannya itu Winda menemukan raut wajah Dara langsung berubah. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu, apalagi setelah mengetahui kronologi kecelakaan yang di alami Dara hari ini.

Mengingat kembali kejadian tadi pagi saat berada di rumah Ardi, Dara menggeleng, "Aku tidak akan lagi ke sana Win."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status