Share

Chapter 6

Dara kembali ke kosannya sore ini. Ia membaringkan diri mengistirahatkan badannya sebentar lalu mengeluarkan ponsel dari tasnya yang tergeletak di sampingnya.

Dara membaca pesan dari Reno yang masuk sejak ia berada di rumah Ardi. Pesan dengan isi, Reno memintanya untuk bertemu malam ini. Dara memang harus bertemu Reno, ia harus menyelesaikan ketegangan yang terjadi di antara mereka.

Setelah selesai menutup pintu, dengan cepat Dara menaiki dan memutar kunci motornya melaju meninggalkan kosannya. Setelah sampai ke tempat yang sudah di tentukan Reno untuk bertemu, tiba tiba Dara mendapat panggilan dari Ardi. Lagi. Ardi tidak bisa menghentikan tangis Nadira.

Tanpa kata kata lagi, Dara langsung memutar motornya. Ia tidak sanggup membiarkan Nadira terus menangis. Ia harus segera berada di sana, mendekap sang bayi mungil itu.

Dara langsung berlari ke dalam rumah, lalu meraih Nadira dari Ardi. Dengan wajah panik Dara menghentikan tangis Nadira.

Nanap. Ardi menatap aneh. Ada apa sebenarnya. Mengapa Nadira kembali tenang ketika berada pangkuan Dara, padahal Ardi adalah ayahnya dan Dara bukanlah ibunya walaupun mereka punya hubungan darah.

Setelah Nadira kembali tenang, Dara mengambil tasnya yang ia buang sembarang ke sofa. Dia harus bertemu Reno sekarang. Pria itu pasti sudah menunggunya sekarang.

Namun melihat hal itu, Ardi langsung membuka suaranya dan menahan Dara untuk tidak pergi.

"Bisakah kamu tetap disini malam ini. Saya khawatir mungkin Nadira akan menangis lagi. Aku tidak tau apa yang terjadi, tapi sepertinya ia nyaman berada di dekatmu. Saya mohon. Saya tidak tau harus berbuat apa lagi." Dengan tatapan kecemasan dalam raut wajahnya, Ardi menatap Dara dengan harap harap gadis di depannya ini bersedia.

Dara melirik jam tangannya, Reno pasti masih menunggunya. Tapi jika ia pergi dari sana, bagaimana dengan Nadira. Ardi benar, Nadira akan berhenti menangis saat sudah berada dalam dekapannya. Dara kemudian menengok Nadira di dalam ranjang ayunnya. Ia menjatuhkan tangannya, hingga Tasnya juga ikut terjatuh dari lengannya. Matanya tetap terpaku pada wajah Nadira. Bagaimana bisa ia tega meninggalkan bayi kecil ini.

"Aku akan menemani Nadira." Ucapan Dara memunculkan ketenangan di hati Ardi. Pria itu menghela napas lega.

Ardi kini baru menyadari penampilan Dara yang terlihat rapi dengan dandanan lebih dari biasanya, "apa saya sudah mengganggu kencanmu?"

"Tidak. Sahabatku meminta bertemu di cafe untuk membahas Skripsinya, dia agak kesulitan. Sekalian kami mau refresh." Dara sengaja berbohong tidak ingin membuat Ardi merasa bersalah karena sudah mengganggu rencana kencannya dengan Reno, apalagi dia melakukan ini karena Nadira.

"Baiklah. Kalau begitu saya akan membawakan kamu beberapa pakaian santai milik Mira."

"Iya kak."

"Apa kamu sudah makan?"

Karena sudah terlanjur berbohong, Dara harus kembali berbohong lagi. Jika ia mengatakan sudah, maka Ardi akan mengetahui bahwa ia berbohong tentang dia dan sahabatnya pergi ke kafe dan mencari tempat untuk makan.

"Sudah kak."

"Okay. Tunggu sebentar."

Setelah Ardi menghilang dari pandangan Dara, panggilan telfon muncul di ponsel Dara, sang pemilik ponsel tidak perlu lagi menebak siapa orang itu. Karena ia tahu bahwa Reno pasti akan menghubunginya karena ketidak munculan dirinya.

Dara tidak bisa mengangkat panggilan itu, ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah Ardi malam malam dan membatalkan rencana pertemuan mereka.

Alasan apa yang ia akan pakai untuk mengatakan ketidak datangannya. Jika ia beralasan sedang sakit dalam kosan, maka Reno akan datang. Bila ia mengatakan ada di rumah Winda, maka dia akan muncul juga. Dan jika ia beralasan pulang ke kampung halaman, maka Reno tidak akan percaya juga bahwa dirinya berangkat malam secara mendadak tanpa alasan yang pasti. Jika ia membiarkan begitu saja, Reno akan marah lagi. Tapi lebih baik begini daripada ia berbohong lagi.

Saat sedang terus larut dalam pikirannya, Dara tidak menyadari bahwa Ardi sudah berdiri tidak jauh darinya, memperhatikan dia yang hanya diam.

"Saya sudah menyimpan pakaian gantimu di atas. Kamu berganti lah."

"Baik kak, aku akan berganti lebih dulu."

Dara mengambil barang barangnya dan keluar menuju kamar lantai atas. Sesampainya di sana, Dara melirik lagi ponselnya. Melihat lagi daftar nama yang masuk 'panggilan tidak terjawab'. Walaupun dia tidak bisa mengangkat panggilan itu, Dara lebih baik memberitahunya atas ketidak datangnya. Atau ia akan merasa sangat jahat sekarang, dengan membiarkan kekasihnya menunggu dirinya yang hilang tanpa kabar malam ini.

Deretan kata terketik dalam ponsel itu. Setelah terkirim buru buru Dara mematikan ponselnya.

Usai bergantian, Dara turun kebawah menghampiri keberadaan Ardi dan Nadira. Ayah dan anak itu sekarang berada di ruang keluarga. Nadira sepertinya sudah bagun, tapi bedanya kali ini bayi itu tidak menangis.

Terlihat raut wajah Ardi terus mengukir senyum ketika sekali kali sudut bibir Nadira terangkat. Dara terus memperhatikan, sepertinya pria yang baru di tinggal istri untuk selamanya itu sedang bahagia sekarang.

"Kak Ardi!" Panggil Dara sambil menghampiri Ardi.

Masih dengan senyum antusias di wajahnya, Ardi menoleh kepada Dara, "Lihatlah Nadira sudah bisa tersenyum sekarang."

Dara menengok keponakannya itu, terlihat Nadira mulai menunjukan senyumnya dalam gendongan Ardi. Senyum itu membuat Dara dan Ardi terlihat bahagia sekarang.

"Kamu gendong Nadira ya, saya mau buat makan malam dulu."

Mendengar Ardi akan membuat makan malamnya, Dara mengajukan tawaran. Lebih baik Ardi bersama Nadira sekarang, ia tidak mau mengganggu senyum bahagia itu.

"Biar aku aja. Kak Ardi sama Nadira saja."

Setelah mendapat anggukan pelan dari Ardi, Dara langsung melejit berjalan ke dapur. Setibanya di sana tanpa pikir lagi ia mengambil bahan bahan yang akan di masaknya malam ini.

Masakan Dara siap, dengan gerakan gesit segera menyajikan masakan nya di atas meja untuk satu orang.

Ardi dengan Nadira di gendongannya juga berada di sana, memperhatikan setiap gerak Dara sejak tadi. Ia terpaku seperti melihat sosok Mira pada Dara. Gerakannya, fokusnya, langkah, dan hampir semua sisi Dara mirip sekali dengan mendiang istrinya.

Apakah saudara kandung harus semirip ini. Ardi jadi merasa aneh, seperti melihat Mira ada di hadapannya. Karena hal ini muncul keganjilan dalam hatinya. Ia ingin memeluk sosok itu. Ardi memejamkan mata, menyadarkan dirinya. Seharusnya ia tidak membiarkan Dara memakai pakaian Mira.

Dara yang memang menyadari kehadiran Ardi tidak jauh darinya, segera menghampirinya, "Makanan sudah siap, kak Arya silahkan nikmati."

"Iya terimakasih."

"Sama sama kak. Ayo Nadira sama Bibi." Setelah menjawab Ardi, Dara langsung mengalihkan pandangannya ke Nadira.

Dara tidak pergi dari dapur, ia memperhatikan Ardi melahap makanannya dengan harap harap masakannya itu tidak terlahap habis. Dara meneguk ludah, ingin sekali juga ia ikut makan. Memasukan makanan itu kedalam mulutnya sekarang. Dara meringis dalam hati, ia juga lapar.

Amblas, tidak ada yang tersisa. Dara bertanya tanya dalam hati. Apa ia memasak terlalu sedikit, apa Ardi benar benar lapar atau porsi makan pria ini yang memang banyak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status