Share

Chapter 3

Keheningan merambat ke seluruh kamar kos Dara, ia belum menghubungi Winda perihal besok ia tidak pergi lagi ke Minimarket tempat biasanya ia bekerja.

Ia pun segera meraih ponsel yang tergeletak asal di tempat tidurnya. Sebuah nama kontak mulai di carinya lalu segera ia menempelkan ponsel ke telinga nya.

Sambungan telfon terhubung. Ia mulai menyapa dan memberitahu sahabatnya itu tentang berhenti nya dia dari pekerjaan dan alasan di baliknya.

"Mulai besok aku nggak masuk lagi, Aku mau jaga Nadira." Ungkap Dara.

"Serius Dar.... , Kamu udah kasih tau Reno nggak?" Tanya Winda setelah mendengar rencana dari sahabatnya ini.

Dara sebenarnya sudah memberitahu Reno perihal hal ini, tapi pacarnya itu justru tidak menyetujuinya dan menolak keinginannya, tanpa ia jelaskan apa alasan dia melarang dirinya untuk menjaga Nadira. Dan sekarang ia tetap melakukannya, yang pastinya jika ia menghubungi pria itu sekarang ia pasti akan marah besar.

"Aku sudah beritahu, tapi dia tidak setuju. Aku nggak tau alasan dia ngelarang aku. Aku sangat ingin merawat Nadira. Kasihan dia kehilangan Ibu saat lahir. Apalagi ini adalah bentuk abdi Aku kepada kakakku selama ini. Aku belum melakukan apa apa untuknya. Jadi aku nggak bisa tidak melakukannya. Aku punya banyak alasan untuk ini. Karena itu aku mohon sama kamu, jangan beritahu Reno bahwa mulai besok akan berada di rumah kak Mira."

"Tapi.... Reno cepat atau lambat Reno pasti akan tahu." Ujar Winda khawatir.

"Untuk itu, biar jadi urusan aku nanti. Aku benar benar nggak bisa mengikuti permintaan dia. Ku harap kamu juga mengerti dengan maksudku." Mohon Dara agar Winda mengerti dan membantunya.

"Aku paham padamu Dara. Aku paham sekali."

Sebagai sahabat yang paling tau situasi Dara, Winda tentu saja paham dengan maksud sahabatnya itu. Jika Dara sudah membulatkan tekad begini ia juga tidak hak untuk melarang, ia hanya bisa memberi tahu sebab akibat yang mungkin akan di hadapi Dara ke depannya. Yang pasti ia hanya bisa mendukung Dara setiap saat.

"Baiklah aku akan menutup mulut. Jika Reno bertanya padaku, Aku bisa mengatakan kamu sedang mengunjungi kampung halamanmu atau apa pun itu. ." Tambah Winda lagi.

"Makasih ya sahabatku sayang."

"Sudah. Aku sibuk. Selamat malam." Winda mengakhiri obrolan.

"Baiklah." Ketika sambungan telepon terputus, Dara meletakan ponsel nya begitu saja.

Setelah selesai berbicara dengan Winda, ia membaringkan tubuhnya. Pikiran tentang reaksi Reno terbayang di kepalanya. Siap atau tidak, ia akan menemukan murka dari pria yang telah menjadi kekasihnya itu.

***

Cahaya matahari mulai terlihat, perlahan menunjukan kehangatan sinarnya pada siapapun dan apapun yang di kenainya. Dara bangun dari tidurnya, seraya menguap ia merenggangkan otot ototnya. Hari bertemu Nadira telah tiba. Dara segera bangkit dari kasur kecilnya dan mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandinya.

Usai bersiap siap, sebelum berangkat Dara menghangatkan motor matic nya lebih dulu. Di saat itu tiba tiba ponselnya berbunyi, Dara segera membuka tas dan mengambil ponselnya. Alangkah terkejutnya melihat nama yang tertera di layar ponselnya itu. Panggilan dari Reno.

Dara tidak berniat mengangkat panggilan telfon Reno. Karena jika kekasihnya tahu sekarang, ia pasti tidak akan bertemu Nadira sekarang. Dara kemudian memasukan ponselnya kembali setelah panggilan Reno berhenti. Ia segera menyalakan motor dan pergi dari kosannya.

Dara menekan tombol bel rumah Ardi, dan tidak lama suami kakaknya itu muncul di sana dengan Nadira yang berada di gendongannya dan penampilan Ardi yang err... Membuat Dara langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Maaf. Sebelum kamu tiba saya baru saja akan memakai pakaian, tapi tiba tiba Nadira menangis tidak berhenti sampai kamu datang."

Melihat hal ini justru keinginan Dara untuk menjaga Nadira semakin kuat lagi. Tentang Reno yang tidak setuju, ia tidak peduli.

Dara memfokuskan arah matanya ke Nadira tidak ingin melihat suami almarhumah kakaknya itu dengan celana pendek jauh diatas lutut dan kemeja baju putih yang belum ter kancing. Walaupun Ardi sudah memakai kaos singlet tetap saja Dara bisa melihat bentuk otot dada yang dimiliki Ardi.

Segera Dara mengambil Nadira yang masih menangis dari gendongan Ardi dan mengayunkan badan pelan.

Ardi memperhatikan tindakan Dara yang bahkan menjatuhkan tas nya tidak sadar karena melihat Nadira terus menangis.

"Kak Ardi udah kasih susu, mungkin lapar."

"Sudah. Sebelum tidur. tidak lama setelah itu bangun lagi sambil menangis. Saya bahkan mandi nya cepat dan sudah buru buru berpakaian." Jawab Ardi dengan cemas di wajahnya.

Sementara Nadira terus menangis. Dara membawanya ke dalam dan duduk di sofa. Ia terus mengayun ayunkan gendongannya lalu menggosok gosok lembut punggung Nadira. Di dalam aksinya itu di sertai nyanyian yang dulu Ibunya nyanyikan juga untuk Dirinya dan Mira.

Perlahan tangis Nadira mereda, membuat Ardi langsung lega melihatnya. Bayi mungil itu sekarang mulai diam dan membuka matanya. Dara yang bingung karena Nadira berhenti menangis saat ia menyanyikan lagu lama Ibunya, ia menoleh kepada Ardi. Tapi sepertinya pria itu tidak peduli dengan kebingungannya, selain keberhentian tangis anaknya itu.

Kini kemeja Ardi sudah di kancing semua dan juga sudah sarungan saja. Tidak lupa ditangannya juga sudah ada botol dot yang sudah terisi susu. Entah kapan Ardi melakukannya. Sepertinya kakak Iparnya ini sudah pandai bergerak dalam sekejap mata.

Namun menyadari, serba keburu buruan Ardi pagi ini, Dira langsung merasa bersalah. Seharusnya ia datang lebih pagi lagi, atau bahkan sebelum mentari belum menampakan cahayanya di bumi.

"Maaf ya kak. Gara gara aku terlambat." Ucap Dara tulus.

"Nggak apa apa. Saya juga yang salah, nggak kasih tau sepagi apa yang dimaksud."

"Kak Ardi silahkan berangkat. Matahari udah mau tinggi loh. Udah terlambat." Perintah Dara pada Ardi yang masih berdiri di sana.

"Iya."

Ardi mengangguk ragu. Matanya masih terpaku pada anaknya. Rasanya ia tidak mampu meninggalkan Nadira di rumah. Apalagi anaknya itu selalu menangis. Mungkin karena kepergian ibunya. Hal itu membuat Ardi agak ragu sekarang. Padahal ia baik baik saja sebelumnya.

Dara menyadari ketakutan dan ke khawatiran Ardi. Ia kemudian menatap wajah Nadira yang sedang bermain dengan dunianya itu.

"Nggak apa apa kak. Nadira aman sama aku. Kalau ada apa apa aku langsung hubungi kak Ardi." Ucap Ratih menenangkan, ingin menghilangkan rasa khawatir pria yang kini berstatus duda satu anak itu.

"Baiklah. Saya siap siap dulu. Kamu jangan sungkan. Anggap saja seperti sedang di rumah sendiri." Mendengar ucapan Dara ada sedikit ketenangan yang menghinggapi hati Ardi. Ia memang sudah memilih Dara untuk menjaga Nadira karena ia percaya padanya.

"Iya kak." Jawab Dara sopan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status