Share

Chapter 4

Sebelum membalikan badan, Arya mencium Nadira lebih dulu, membuat Dara yang sedang mengendong Nadira merasakan sensasi yang berbeda. Ia buru buru menepis pikiran anehnya itu sebelum menguasai seluruh otaknya.

Ardi menghilang dari jangkauan pandangan Dara, ia sendiri kini kembali memerhatikan Nadira yang sudah tertidur. Dengan gerakan pelan dan hati hati Dara berdiri dari duduknya dan kemudian perlahan melangkahkan kaki ke kamar Nadira.

Di samping tempat tidur bayi, sudah ada ranjang sedang dan sofa yang memang sudah disiapkan untuk menjaga Nadira di sana. Dara mendaratkan diri di sofa itu lalu menyandarkan punggung kebelakang dengan masih ada Nadira dalam pangkuannya. Ia benar benar betah dengan kehadiran Nadira diantara pelukan tangannya.

Tidak berselang lama, di dalam rumah yang senyap itu Dara dapat mendengar suara deruman mobil Ardi perlahan redup menghilang dari jangkauan telinganya. Kini sekarang tinggal dirinya dan Nadira yang berada dalam rumah.

Saat Nadira tidur di tempat tidurnya, Dara mengambil ponselnya yang sudah di letakan Ardi di atas meja ruang tamu. Lalu kembali ke masuk ke kamar Nadira. Sambil bersandar di sofa ia membuka ponselnya. Ada empat panggilan tidak terjawab dari Reno dua jam lalu saat dirinya sibuk berkutat dengan alat dapur. Dara menghela nafas, kata kata seperti apa yang akan di sampaikan nya kepada Pacarnya itu. Ia benar benar tidak tahu.

Suara mobil Ardi kembali datang menghampiri indra pendengaran Dara. Ardi sudah pulang. Karena Nadira masih tidur, Dara tetap berada di sana. Beberapa saat justru munculah Ardi di ambang pintu.

"Nadira tidur?" Ardi masuk langsung mendekati tempat tidur Nadira. Ia memperhatikan anaknya yang kini tertidur pulas.

"Iya kak. Baru."

"Kamu sudah makan? Saya sudah beli makanan saat perjalanan pulang.

"Iya kak sudah. Bahkan aku juga sudah siapin untuk kak Ardi di atas meja makan. Nggak enak kalau masak untuk makan sendiri saja. Jadi aku banyakin untuk kak Ardi juga."

Ardi diam mendengar perkataan Dara, perhatian dan kelembutan yang di tunjukan Dara mirip sekali dengan Mira. Hal itu memang wajar karena mereka adalah adik kakak. Tapi yang tidak wajar untuk Ardi adalah ia seperti melihat Mira pada diri Dara.

Melihat raut wajah Ardi yang hening, Dara berpikir bahwa Ardi mungkin tidak menyukai tindakannya yang kelewatan.

"Nanti kalau kak Ardi nggak suka, aku nggak akan ulangi lagi."

"Nggak apa apa. Kamu bisa melakukannya. Dan untuk makanan yang baru saya beli kamu bisa bawa ke kosan mu. Saya akan juga memakan masakan kamu."

"Iya kak. Makasih."

"Kalau begitu saya gantian dulu, setelah itu kamu boleh pulang."

"Iya kak."

Setelah Ardi selesai ganti baju kerja dengan baju santainya. Ia kemudian kembali menghampiri kamar Nadira. Sedangkan Dara juga sudah siap siap dengan tas dan polesan tipis bedak di wajahnya.

Sebelum pulang Dara memperhatikan dulu wajah Nadira yang masih tidur, menyimpan semua garis dan bentuk wajah itu dalam otaknya. Ia tidak menyentuhnya karena tidak mau membangunkan Nadira dalam tidur damainya. Kemudian Dara berbalik keluar hendak keluar.

"Nanti kamu ambil ya makanan nya. Saya taruh di meja depan."

"Iya kak. Aku pulang dulu."

"Hati hati."

Dara keluar dari rumah, ia menaiki motornya yang terparkir lama di depan. Ia pun melakukan motor meninggalkan rumah Ardi.

Alangkah kagetnya Dara ketika melihat Reno sudah berada di depan kosannya. Dara tidak mungkin menghindari Reno sekarang. Jalan terbaik ia harus berbicara padanya. Dara mendekat, kini Reno sudah melihat dirinya dengan tatapan marahnya.

"Kamu darimana?" Tanya Reno tanpa basa basi lagi, tentu ia akan marah beberapa kali ia menghubungi Dara, tapi gadis itu tidak menjawabnya.

Dara bingung mau menjawab apa. Ia memutar bola matanya mencoba mencari alasan untuk menjawab pertanyaan Reno. Dan... Dara menemukan kantung tas makanannya yang tergantung di gantungan motor.

"Aku habis beli makanan."

"Selama itu?" Tanya Reno sambil menatap mata Dara mencari kejujuran di sana.

Tidak ada gunanya Dara berbohong sekarang. Reno bukanlah orang yang bodoh. Pria itu pasti tau ada yang ia sembunyikan. Dan dia sekarang meminta penjelasan darinya, bukan kebohongan lagi yang terus ia ciptakan dalam kepalanya.

"Aku pergi ke rumah almarhumah kakakku untuk menjaga keponakanku di sana." Jawab Dara akhirnya mengakui. Sudah, biarkan saja Reno marah. Ia sudah membulatkan tekadnya. Apalagi bagaimana ia melihat Nadira terus menangis. Nadira membutuhkan dirinya. Ia tidak bisa meninggalkannya.

"Sial." Desis Reno geram. Matanya berkilat tajam dikala mengetahui Dara tidak menurutinya.

"Maksud kamu apa Dara, kamu jelas tau kalau aku nggak mau kamu kesana."

"Aku nggak bisa Ren. Nadira itu keponakan aku. Anak kakak aku. Dia baru kehilangan ibunya. Bagaimana bisa aku mengabaikan dia."

Reno diam, sebenarnya bukanlah ini yang ia maksud. Bukanlah ini yang menjadi ketakutan dalam dirinya.

"Apa kamu nggak punya hati, melarang aku untuk bertemu keponakan aku." Tambah Dara, tidak habis pikir. Ia masih tidak menyangka pria yang di pacari nya selama dua tahun ini berpikiran dangkal seperti sekarang. Ada apa sekarang dengan Reno. Kalimat itu terus berputar dalam kepala Dara. Melihat tingkah Reno yang tidak seharusnya. Ia seperti berubah

Reno mengepalkan tangannya. Marah. Ia melarang Dara bukan tanpa alasan. Ia takut dan punya firasat buruk tentang kepergian Dara ke rumah itu. Masalahnya bukan terletak pada keponakan Dira tapi ayah dari bayi itu. Ada seorang pria di dalam rumah itu.

"Aku begini justru aku punya hati, Dara. Apa kamu nggak bisa ngerti?"

"Nggak. Aku nggak bisa mengerti cara berpikir kamu." Sambil mengambil makanannya Dara turun dari motornya lalu berjalan melewati Reno di sana.

Dengan sigap Reno menahan tangan Dara, ia butuh jawaban. Butuh kesimpulan dari hubungan mereka. Dia benar benar tidak bisa, tidak tenang jika Dara terus menerus berada di rumah itu. Bagaimana jika apa yang di dikhawatirkannya terjadi.

"Dara ini demi hubungan kita." Mohon Reno.

Dara menghempas tangan Reno. Dengan kilatan emosi dan kecewa yang terlukis di wajahnya ia berbalik menatap pria itu, "Nggak Ren. Apapun itu jangan melarang aku untuk menemui keponakan aku. Kumohon. Tolong mengerti."

"Aku tidak pernah melarang mu menemui keponakan mu. Tapi Ayah dari keponakan mu." Jujur Reno. Terlihat dari raut wajahnya. Ia khawatir dan cemas Dara dekat dengan pria itu.

Mulut Dara menganga. Dahinya pun berkerut. Tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Semua dari larangan Reno karena ia cemburu pada Ardi.

"Apa yang kamu pikirkan!?" Seru Dara.

"Dara. Aku takut kamu berada di sana karena suami dari almarhumah kakakmu. Dia seorang pria yang pasti butuh pendamping. Butuh ibu untuk anaknya. Aku takut dia merebut kamu dariku. Itu bisa saja terjadi."

"Kamu tau nggak, kamu berubah. Picik. Kamu meragukan aku Ren. Meragukan hubungan kita." Dengan rasa kecewa, Dara meninggalkan Reno di depan kosannya.

"Aku melakukan ini karena aku sangat cinta sama kamu Dara." Teriak Reno frustasi. Ia bisa mengerti bahwa Dara menyayangi keponakannya itu, tapi ia tidak bisa. Benar benar tidak bisa mengizinkan Dara untuk berada di rumah itu bersama dengan seorang pria dewasa.

"Jika kamu mencintai aku, tolong mengerti dengan perasaanku. Aku tetap tidak bisa meninggalkan bayi itu." Putus Dara dan berlalu dari sana meninggalkan Reno dengan perasaan frustasi nya.

Reno mengacak acak rambutnya. Tidak ada solusi dari masalahnya kini. Rasa cemburunya, rasa takutnya. Keinginan Dara untuk merawat anak kakaknya, benar benar membuat nya marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status