"Lisa? Ngapain kamu di sini?" Mario Guntoro terkejut setengah mati. Sekitar lima meter di depannya, Lisa sedang berdiri dengan sebuah tas besar. Penampilannya sungguh kacau, seperti orang yang tak terurus. Melihat kondisi adik iparnya yang setahun lalu diusir dari rumah itu membuat Mario tak kuasa untuk menahan diri dan menghampiri wanita itu.
Wanita yang dipanggil Lisa itu menunduk. Rambutnya kusut, wajah ayu blasteran yang dulu selalu memukau para lelaki itu kini tampak kuyu. Apa dia sakit? Mario membatin dengan penasaran.
"Lisa?" Mario mulai makin menatap cemas pada adik istrinya itu. Tak sengaja matanya menangkap baju warna cokelat muda yang dikenakan Lisa itu tampak basah di bagian dadanya.
"Bu Lisa? Ini berkasnya. Surat kematian anak Ibu di dalam, ya. Administrasi sudah beres juga, ya." Seorang perawat tampak mengulurkan sebuah dokumen dalam map warna cokelat.
Lisa menerima map itu dengan cepat dan buru-buru. Ia mengucapkan terima kasih dengan lirih. Lalu dengan kepala masih tertunduk ia bergegas pergi tanpa menghiraukan keberadaan Mario, ia pergi begitu saja.
"Lisa! Lisa!" Mario berlari mengejar Lisa yang rupanya juga berlari menghindarinya.
Lisa berlari makin cepat. Hingga akhirnya di lorong rumah sakit yang sepi itu Mario berhasil menarik tangan Lisa. Lisa memberontak dan ingin melepaskan diri, tapi rupanya tangan Mario lebih kuat menggengamnya.
Bugh!
Hingga akhirnya tas yang dibawa Lisa itu terjatuh. Isinya berhamburan keluar dari kancing yang tadinya memang sudah terbuka karena tak muat menampung isinya yang banyak.
Mario menatap isi tas itu dengan mata membulat. Ia amat terkejut. Baju-baju bayi? Botol minum bayi? Popok bayi?
"Li--lisa. Katakan apa yang terjadi sama kamu selama menghilang setahun ini. Itu barang-barang bayi siapa? Lalu perawat tadi bilang apa? Surat keterangan kematian anak kamu? Lisa, katakan pada saya! Kamu punya anak?" Mario tampak makin terkejut. Tangan Lisa masih ia genggam agar adik iparnya itu tidak melarikan diri.
Lisa tak menjawab. Bibirnya terkatup rapat tapi air matanya mulai bercucuran.
Mario paling tak tega melihat perempuan menangis. Apalagi Lisa ini bukan orang lain baginya. Dengan spontan ia memeluk wanita itu. Mario berusaha menenangkannya.
Entah berapa lama pelukan itu berlangsung. Yang jelas ketika mereka saling melepaskan diri, Lisa langsung panik saat menyadari kemeja Mario ikut basah karenanya.
"Maaf, Mas. Baju Mas basah karena air susu saya." Lisa tampak malu. Ia menutupi bajunya yang basah di bagian dada itu lalu berjongkok memunguti barang-barangnya yang berserakan.
Mario menatap tak percaya. Masih dengan kepala yang menyimpan banyak tanya, ia segera ikut berjongkok dan membantu Lisa merapikan dan memasukkan barang-barang itu kembali ke dalam tas.
Lisa tampak canggung. Ia seperti ingin kabur dan menghindari Mario. Mana ia menyangka kalau kakak iparnya itu ada di kota ini. Ada di rumah sakit yang sama pula dengan dirinya.
"Kamu sendiri? Suami kamu mana? Saya antar pulang, ya?" Mario tampak ikut berdiri dan mengimbangi langkah Lisa begitu wanita itu berjalan terburu-buru meninggalkan lorong.
Lisa hanya menggeleng. Sambil mendekap tas besar itu di dada agar menutupi baju basahnya, ia menengok ke kiri dan kanan dengan penuh waspada. Sungguh wajahnya tampak seperti orang yang sedang ketakutan.
"Lisa! Jawab saya!" Mario makin tak bisa menahan dirinya.
Mario melupakan semua urusannya di rumah sakit ini sejenak. Ada yang lebih penting, yaitu keanehan Lisa. Ia harus menyelidikinya. Ia harus tahu apa yang terjadi setahun belakangan ini selama adik iparnya itu pergi meninggalkan rumah.
"Mas. Udah, Mas. Jangan ikuti saya. Sana pergi. Anggap kita nggak pernah ketemu. Nanti kalau mbak Risa lihat, dia bisa marah sama aku. Aku nggak mau itu terjadi," ucap Lisa pada akhirnya.
Mereka rupanya telah sampai di area luar rumah sakit. Lisa tampak makin kelihatan kusut berada di bawah sinar matahari langsung begini.
Mario melirik ke arah mobilnya yang kebetulan berjarak tak begitu jauh dari sana. Ya, saatnya memakai trik ini.
Tiba-tiba saja disahutnya tas itu dari tangan Lisa. Lisa tampak terkejut. Mario berjalan cepat menuju mobilnya dan melemparkan tas itu ke jok belakang.
"Mas! Mas Mario! Tas saya!" Lisa tampak panik. Ia berusaha mengejar Mario. Tatapannya sungguh menyedihkan dan membuat iba.
Mario tentu tidak tega melihat adik iparnya begini. Tapi dia tidak punya pilihan lain.
"Dengar, Lisa. Kakak kamu nggak akan tahu. Dia nggak akan lihat kita. Sekarang kamu masuk mobil. Atau mungkin kamu mau ganti baju dulu? Saya tungguin," ucap Mario sambil melirik sekilas ke arah baju Lisa yang makin kelihatan basah di bagian dadanya.
Lisa tampak frustasi. Ingin ia kabur tapi barang-barangnya ada di tas itu. Begitu pula dengan ponsel dan dompetnya. Semua ada di dalam tas yang kini teronggok di mobil Mario.
"Saya nggak bawa baju ganti. Tadi buru-buru ke sini karena kata perawat kamar rawat bayi saya sudah mau ditempati pasien baru." Lisa menjawab dengan lirih.
Ya ampun, mata sendu itu. Mario makin tak tega melihatnya. Berbagai pertanyaan dan rasa penasaran di kepalanya makin meledak minta dikeluarkan, tapi ia tahan. Setidaknya ia harus membuat Lisa percaya dulu padanya. Setidaknya ia harus membuat Lisa merasa aman di dekatnya. Siapa tahu nanti ia akan cerita sendiri. Jangan sampai Lisa kabur lagi darinya.
"Saya punya beberapa potong kemeja. Mungkin agak kebesaran di kamu. Tapi coba kamu pakai kalau mau. Ada yang warna putih. Jadi misalkan basah lagi nggak terlalu kelihatan," ucap Mario yang tanpa menunggu respon dari Lisa ia segera mengambilnya dari dalam mobil.
Lisa diam saja. Ia berdiri mematung seperti orang ling-lung. Dari sorot matanya ia masih kelihatan cemas dan takut. Ia takut kakaknya yang ia takuti itu melihatnya dan mengamuk karena salah paham. Risa adalah wanita pencemburu. Lisa tahu betul itu.
"Ini. Pakai. Ganti di toilet sebelah sana," ucap Mario sambil menunjuk ke arah sebuah toilet di dekat area parkir.
Lisa menatap kemeja putih bersih itu dengan ragu. Mario terus menyodorkan padanya. Akhirnya dengan keraguan hatinya, Lisa menerima kemeja itu dan mengganti baju.
Sembari menunggu Lisa, Mario menyandarkan punggungnya ke mobil. Wajah pria itu mengernyit dalam seakan memikirkan suatu hal yang rumit. Pikirannya kini membayangkan baju sang adik ipar yang basah karena air susunya. Selain itu, bukankah istrinya mengatakan bahwa Lisa pergi ke luar kota setelah diusir dari rumah? Mengapa wanita itu kini muncul di hadapannya?
"Surat kematian anak? Apa Lisa sudah menikah?" batin Mario.
Mario memejamkan matanya. Merangkai beberapa kemungkinan di kepalanya. Jika memang adik iparnya itu sudah menikah, ke mana suaminya? Suami mana yang meninggalkan istrinya sendiri ketika anaknya baru saja meninggal dunia?
Tiba-tiba, Mario membuka matanya lebar-lebar.
"Apa jangan-jangan..."
"Apa jangan-jangan Lisa hamil di luar nikah?" Mario segera menggelengkan kepalanya, menyesali fakta bahwa dirinya baru saja menuduh adik iparnya sendiri.Ketika Mario masih disibukkan dengan konflik batinnya, Lisa tiba-tiba sudah berada di depan Mario. "Mas. Mas Mario?" Manik Mario melihat betapa kemeja putih miliknya itu tampak kedodoran di badan Lisa. Tangan wanita itu memegang baju basahnya yang sudah ia lipat dengan canggung. "Eh, Lisa. Maaf ya, saya melamun. Ayo segera masuk mobil, takutnya kamu masuk angin." Mario yang melamun langsung gugup. Ia segera membukakan pintu penumpang di depan dan meminta Lisa masuk. Mario yang sudah menyalakan mesin mobilnya itu tampak menunggu hingga Lisa memasang sabuk pengamannya. Ia kelihatan tidak nyaman ketika benda itu menyilang melintasi tubuh bagian depannya. Bibirnya tampak sedikit meringis seperti menahan sakit. Sebagai pria yang sudah beristri, Mario tahu mungkin Lisa mengalami nyeri karena salah satu kelenjar penting di tubuhnya itu
"Lisa, kakak Kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat." Mendengar kabar itu, Lisa benar-benar terkejut. Maniknya kini mulai buram karena dipenuhi dengan air mata. "Mbak Risa kenapa, Mas?" Pipi wanita berambut panjang itu kini mulai basah, air mata yang sebelumnya tertahan di matanya tak bisa terbendung lagi. Lisa sadar jika hubungan antara dirinya dengan sang kakak kandung memang tidak baik, bahkan Lisa pernah menaruh dendam kepada Risa sejak dirinya diusir pergi dari rumah. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Risa masih memiliki hubungan darah dengannya, tak mungkin Lisa tak merasakan sedikitpun kesedihan ketika mengetahui kabar ini. Mario menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada istrinya. "Kecelakan, Lis. Sekitar seminggu yang lalu. Risa ke luar kota bersama atasannya untuk urusan kerja. Saat itu, cuaca sangat buruk, hujan turun dengan lebat, bahkan terjadi badai. Aku sudah bilang agar dia menginap saja dulu di hotel, tapi dia tetap ne
"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar. "Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras."Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah. "Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soa
"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin jika Lisa membantunya menjadi ibu susu untuk Marsa?" Mario terus memikirkan hal itu ketika Lisa masih sibuk berurusan dengan suster di Rumah Sakit. Jika memang Lisa menjadi ibu susu untuk anaknya, Mario tidak perlu bersusah payah untuk bergantung kepada Daniel demi mencarikan donor ASI untuk Marsa. Suasana canggung meliputi Risa dan Mario. Mario tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berdiri dari duduknya. "Kamu sudah selesai, Lisa? Kalau sudah, ayo kita ke mobil." Mario berkata dengan terbata. Lisa hanya mengangguk lalu berjalan perlahan hingga langkah mereka sejajar. Mario tampak melirik beberapa kali ke arah adik iparnya itu. Pria itu sudah mengambil keputusan, setidaknya dia harus membicarakan hal ini kepada si adik ipar. Namun, ia bingung bagaimana membuka obrolan ini. Ia tahu Lisa adalah wanita baik hati. Mengingat Marsa adalah keponakan dari Lisa, apakah mungkin jika Lisa menol
"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkanASI untuk anakku?" Permintaan Mario membuat manik mata Lisamembesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasatakut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akanorang-orang sekitarnya katakan? "Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?"tanya Lisa sembari menatap Mario nanar. "Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmudengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yangdibutuhkan Marsa." Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu,Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainyamenemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan memintabantuan dari adik iparnya sendiri. "Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi,bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--" "Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkananalisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekatmengingat kondisinya saat ini." potong Mar
Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu. Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil. '3 panggilan tak terjawab dari Aryo.' Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah. Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah. Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat. "Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..." "Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami. Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu den
Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario. Adik iparnya itu ternyata punya utang? Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar. Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja. Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa. Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa. Tring! Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip. Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman. Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangann
Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci. "Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik. Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini. Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun. Gawat! Ia harus segera bertindak! Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu. "Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa. Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah me