Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
"Lisa? Ngapain kamu di sini?" Mario Guntoro terkejut setengah mati. Sekitar lima meter di depannya, Lisa sedang berdiri dengan sebuah tas besar. Penampilannya sungguh kacau, seperti orang yang tak terurus. Melihat kondisi adik iparnya yang setahun lalu diusir dari rumah itu membuat Mario tak kuasa untuk menahan diri dan menghampiri wanita itu. Wanita yang dipanggil Lisa itu menunduk. Rambutnya kusut, wajah ayu blasteran yang dulu selalu memukau para lelaki itu kini tampak kuyu. Apa dia sakit? Mario membatin dengan penasaran. "Lisa?" Mario mulai makin menatap cemas pada adik istrinya itu. Tak sengaja matanya menangkap baju warna cokelat muda yang dikenakan Lisa itu tampak basah di bagian dadanya. "Bu Lisa? Ini berkasnya. Surat kematian anak Ibu di dalam, ya. Administrasi sudah beres juga, ya." Seorang perawat tampak mengulurkan sebuah dokumen dalam map warna cokelat. Lisa menerima map itu dengan cepat dan buru-buru. Ia mengucapkan terima kasih dengan lirih. Lalu dengan kepala mas
"Apa jangan-jangan Lisa hamil di luar nikah?" Mario segera menggelengkan kepalanya, menyesali fakta bahwa dirinya baru saja menuduh adik iparnya sendiri.Ketika Mario masih disibukkan dengan konflik batinnya, Lisa tiba-tiba sudah berada di depan Mario. "Mas. Mas Mario?" Manik Mario melihat betapa kemeja putih miliknya itu tampak kedodoran di badan Lisa. Tangan wanita itu memegang baju basahnya yang sudah ia lipat dengan canggung. "Eh, Lisa. Maaf ya, saya melamun. Ayo segera masuk mobil, takutnya kamu masuk angin." Mario yang melamun langsung gugup. Ia segera membukakan pintu penumpang di depan dan meminta Lisa masuk. Mario yang sudah menyalakan mesin mobilnya itu tampak menunggu hingga Lisa memasang sabuk pengamannya. Ia kelihatan tidak nyaman ketika benda itu menyilang melintasi tubuh bagian depannya. Bibirnya tampak sedikit meringis seperti menahan sakit. Sebagai pria yang sudah beristri, Mario tahu mungkin Lisa mengalami nyeri karena salah satu kelenjar penting di tubuhnya itu
"Lisa, kakak Kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat." Mendengar kabar itu, Lisa benar-benar terkejut. Maniknya kini mulai buram karena dipenuhi dengan air mata. "Mbak Risa kenapa, Mas?" Pipi wanita berambut panjang itu kini mulai basah, air mata yang sebelumnya tertahan di matanya tak bisa terbendung lagi. Lisa sadar jika hubungan antara dirinya dengan sang kakak kandung memang tidak baik, bahkan Lisa pernah menaruh dendam kepada Risa sejak dirinya diusir pergi dari rumah. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Risa masih memiliki hubungan darah dengannya, tak mungkin Lisa tak merasakan sedikitpun kesedihan ketika mengetahui kabar ini. Mario menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada istrinya. "Kecelakan, Lis. Sekitar seminggu yang lalu. Risa ke luar kota bersama atasannya untuk urusan kerja. Saat itu, cuaca sangat buruk, hujan turun dengan lebat, bahkan terjadi badai. Aku sudah bilang agar dia menginap saja dulu di hotel, tapi dia tetap ne
"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar. "Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras."Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah. "Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soa
"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin jika Lisa membantunya menjadi ibu susu untuk Marsa?" Mario terus memikirkan hal itu ketika Lisa masih sibuk berurusan dengan suster di Rumah Sakit. Jika memang Lisa menjadi ibu susu untuk anaknya, Mario tidak perlu bersusah payah untuk bergantung kepada Daniel demi mencarikan donor ASI untuk Marsa. Suasana canggung meliputi Risa dan Mario. Mario tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berdiri dari duduknya. "Kamu sudah selesai, Lisa? Kalau sudah, ayo kita ke mobil." Mario berkata dengan terbata. Lisa hanya mengangguk lalu berjalan perlahan hingga langkah mereka sejajar. Mario tampak melirik beberapa kali ke arah adik iparnya itu. Pria itu sudah mengambil keputusan, setidaknya dia harus membicarakan hal ini kepada si adik ipar. Namun, ia bingung bagaimana membuka obrolan ini. Ia tahu Lisa adalah wanita baik hati. Mengingat Marsa adalah keponakan dari Lisa, apakah mungkin jika Lisa menol