"Apa jangan-jangan Lisa hamil di luar nikah?" Mario segera menggelengkan kepalanya, menyesali fakta bahwa dirinya baru saja menuduh adik iparnya sendiri.
Ketika Mario masih disibukkan dengan konflik batinnya, Lisa tiba-tiba sudah berada di depan Mario.
"Mas. Mas Mario?"Manik Mario melihat betapa kemeja putih miliknya itu tampak kedodoran di badan Lisa. Tangan wanita itu memegang baju basahnya yang sudah ia lipat dengan canggung.
"Eh, Lisa. Maaf ya, saya melamun. Ayo segera masuk mobil, takutnya kamu masuk angin." Mario yang melamun langsung gugup. Ia segera membukakan pintu penumpang di depan dan meminta Lisa masuk.
Mario yang sudah menyalakan mesin mobilnya itu tampak menunggu hingga Lisa memasang sabuk pengamannya. Ia kelihatan tidak nyaman ketika benda itu menyilang melintasi tubuh bagian depannya. Bibirnya tampak sedikit meringis seperti menahan sakit.
Sebagai pria yang sudah beristri, Mario tahu mungkin Lisa mengalami nyeri karena salah satu kelenjar penting di tubuhnya itu mengalami banyak perubahan setelah melahirkan. Istrinya juga mengalami itu beberapa pekan terakhir dan ia paham.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Mario setelah melihat wajah Lisa yang meringis menahan sakit.
"Aku tidak apa-apa, Mas Mario."
Mendengar tak ada jawaban lanjut dari adik iparnya, Mario pun membuka pembicaraan lebih lanjut, "Apakah suamimu tidak menjemputmu, Lisa? Jika memang tidak, biar aku yang antar. Kamu tinggal di mana?" tanya Mario.
Lisa terdiam. Ia tampak kebingungan. Tak mungkin ia menceritakan kepada kakak iparnya bahwa dirinya sudah tak memiliki suami. Wanita itu juga segan jika harus berhubungan dengan kakak kandungnya yang posesif terhadap suaminya, sehingga selalu menuduhnya ingin merebut Mario darinya.
Mario ikut terdiam. Ia pikir Lisa diam saja karena tidak ingin keberadaannya atau tempat tinggalnya diketahui. Maka dari itu ia tidak berani membahasnya lagi. Ia hanya bisa menebak-nebak dalam hati. Bebrapa tahun menghilang begini, rahasia apa lagi yang disembunyikan Lisa?
Hening.
Entah kenapa percakapan ini menjadi canggung. Apalagi mereka hanya berduaan saja di dalam mobil.
Diam-diam Mario mencuri pandang pada adik iparnya yang cantik itu. Sungguh, wajah cantik itulah yang dulu mengalihkan dunianya, hingga Mario yang pemalu nekat menuliskan pesan rahasia untuknya 2 tahun lalu.
***
"Mas, kasih ke meja nomor 16 ya." Mario menyelipkan kertas dan selembar uang tips pada pelayan cafe itu.
Sang pelayan mengangguk lalu berlalu pergi. Sayangnya ada pengujung yang memanggilnya, sehingga pelayan itu tidak langsung ke meja 16. Mario menunggu dengan tegang.
Sampai akhirnya kesalahpahaman pertama itu terjadi. Lisa yang sedang duduk sambil asyik dengan laptopnya itu tiba-tiba pergi ke kamar mandi saat kakaknya alias Risa datang. Mereka rupanya janjian untuk makan berdua di tempat itu.
Mario panik. Di meja 16 bukan Lisa lagi yang duduk, tapi Risa. Dan surat itu pun diberikan pelayan untuk Risa.
[Hai, saya tahu ini cara norak untuk berkenalan dengan seorang gadis. Tapi dari tadi kamu mengalihkan perhatian saya. Nama saya Mario. Saya pemalu kalau berkenalan secara langsung. Apa kamu ingin berteman? Kamu bisa hubungi saya nomor saya. Tenang, saya bukan pria jahat. Saya hanya malu berkenalan.]
Lalu di bawah surat itu ada nomor ponsel Mario. Entah kenapa hari itu Mario berani melakukan hal senekat itu. Mungkin ia lelah diledek teman sekantornya karena tak kunjung punya istri.
Sore itu untuk pertama kali Mario mendapatkan respon dari seorang gadis. Risa tampak tersenyum ke arahnya.
Mario panik. Karena merasa salah orang dan makin gugup, Mario pun buru-buru pergi meninggalkan cafe hingga dompetnya ketinggalan di meja.
Risa tertawa. Wajahnya berbunga-bunga. Pria yang ia senyumi itu memang benar-benar pemalu seperti yang ia katakan dalam suratnya. Buktinya ketika Risa meresponnya ia malah kabur dan pergi. Dompetnya sampai ketinggalan lagi. Begitu pikirnya waktu itu.
Singkatnya Risa yang memungut dompet itu dan menghubungi nomor Mario yang dituliskan di surat. Hubungan mereka berlanjut serius. Mario yang cupu sejak masa sekolah maupun kuliah itu akhirnya punya pacar.
Risa pun sama. Ia punya masalah soal kepercayaan diri karena wajahnya memang tidak secantik Lisa walaupun mereka kakak beradik kandung. Mereka sering dibanding-bandingkan dan hal itu membuat Risa merasa minder di pergaulan.
Mario adalah cinta pertama Risa. Cinta yang berbalas tentunya. Karena sebelumnya hati Risa selalu patah karena semua lelaki yang ia sukai tidak membalas cintanya.
***
"Lisa, andai saja dulu kamu tidak beranjak dari kursi itu, mungkin kita tidak bertemu seperti ini," batin Mario, maniknya masih menatap Lisa yang terus menunduk sejak tadi.
Saat itu, Mario segera menghilangkan pikirannya. Bisa-bisanya dia masih memikirkan masa lalu, terutama ketika istrinya saat ini sedang terbaring lemah tak sadarkan diri di rumah sakit.
"L--lisa, saya tidak tahu bagaimana harus menghadapi situasi ini. Saya minta maaf kalau mungkin nanti saya menanyakan sesuatu yang sensitif atau membuat kamu tersinggung. Tapi, setidaknya saya harus tahu kamu ingin diantar ke mana." ucap Mario, merasa gemas karena wanita yang terduduk di bangku penumpang itu hanya terdiam, tak lagi bersuara.
Setelah diam sekian lama akhirnya Lisa memberanikan diri untuk menoleh dan menatap mata kakak iparnya itu. Ia masih terlihat takut.
"Mas, saya bisa pulang sendiri, kok. Saya bisa naik taksi. Tolong ya, Mas. Mas nggak usah cari saya. Saya takut mbak Risa marah. Saya nggak ingin ada kesalahpahaman lagi. Biarkan saya turun. Kembalikan tas saya, Mas," ucap Lisa sambil menatap ke arah tasnya yang teronggok di jok baris tengah di mobil Mario ini.
Mario menarik napas panjang. Harus bagaimana ia meyakinkan Lisa kalau ia aman dari kakaknya?
"Lisa, kakak kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat."
"Lisa, kakak Kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat." Mendengar kabar itu, Lisa benar-benar terkejut. Maniknya kini mulai buram karena dipenuhi dengan air mata. "Mbak Risa kenapa, Mas?" Pipi wanita berambut panjang itu kini mulai basah, air mata yang sebelumnya tertahan di matanya tak bisa terbendung lagi. Lisa sadar jika hubungan antara dirinya dengan sang kakak kandung memang tidak baik, bahkan Lisa pernah menaruh dendam kepada Risa sejak dirinya diusir pergi dari rumah. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Risa masih memiliki hubungan darah dengannya, tak mungkin Lisa tak merasakan sedikitpun kesedihan ketika mengetahui kabar ini. Mario menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada istrinya. "Kecelakan, Lis. Sekitar seminggu yang lalu. Risa ke luar kota bersama atasannya untuk urusan kerja. Saat itu, cuaca sangat buruk, hujan turun dengan lebat, bahkan terjadi badai. Aku sudah bilang agar dia menginap saja dulu di hotel, tapi dia tetap ne
"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar. "Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras."Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah. "Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soa
"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin jika Lisa membantunya menjadi ibu susu untuk Marsa?" Mario terus memikirkan hal itu ketika Lisa masih sibuk berurusan dengan suster di Rumah Sakit. Jika memang Lisa menjadi ibu susu untuk anaknya, Mario tidak perlu bersusah payah untuk bergantung kepada Daniel demi mencarikan donor ASI untuk Marsa. Suasana canggung meliputi Risa dan Mario. Mario tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berdiri dari duduknya. "Kamu sudah selesai, Lisa? Kalau sudah, ayo kita ke mobil." Mario berkata dengan terbata. Lisa hanya mengangguk lalu berjalan perlahan hingga langkah mereka sejajar. Mario tampak melirik beberapa kali ke arah adik iparnya itu. Pria itu sudah mengambil keputusan, setidaknya dia harus membicarakan hal ini kepada si adik ipar. Namun, ia bingung bagaimana membuka obrolan ini. Ia tahu Lisa adalah wanita baik hati. Mengingat Marsa adalah keponakan dari Lisa, apakah mungkin jika Lisa menol
"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkanASI untuk anakku?" Permintaan Mario membuat manik mata Lisamembesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasatakut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akanorang-orang sekitarnya katakan? "Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?"tanya Lisa sembari menatap Mario nanar. "Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmudengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yangdibutuhkan Marsa." Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu,Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainyamenemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan memintabantuan dari adik iparnya sendiri. "Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi,bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--" "Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkananalisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekatmengingat kondisinya saat ini." potong Mar
Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu. Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil. '3 panggilan tak terjawab dari Aryo.' Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah. Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah. Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat. "Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..." "Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami. Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu den
Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario. Adik iparnya itu ternyata punya utang? Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar. Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja. Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa. Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa. Tring! Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip. Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman. Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangann
Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci. "Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik. Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini. Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun. Gawat! Ia harus segera bertindak! Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu. "Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa. Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah me
Lisa pucat pasi. Ia tak tahu kalau sejak tadi Aryo menunggunya. "Jawab! Kenapa telponku nggak diangkat. Kamu mau kabur? Ingat perjanjian kita. KTP kamu masih aku bawa. Aku juga punya foto terlarangmu. Mau semua aku sebar?" Aryo mengancam dengan membabi buta. Mungkin karena pengaruh minuman memabukkan itu juga yang membuat emosinya makin naik. Lisa merasa terpojok. Ia yang dari tadi sibuk menangis itu mendadak mengering air matanya. "Aryo, tenang dulu. Ponselku mati. Aku habis dari rumah sakit ngurusin dokumen kematian bayiku. Please kamu lebih ngertiin aku, Yo. Dulu janjinya kan dua bulan setelah selesai melahirkan aku akan siap nebus hutang." Lisa mencoba bernegosiasi. Aryo adalah pria paling menjengkelkan dan manipulatif yang pernah Lisa kenal. Tapi mau bagaimana. Lisa mau tak mau berurusan dengannya karena butuh. Karena ia tidak tahu lagi mau berhutang ke siapa. Aryo yang berdiri dengan sempoyongan itu akhirnya kembali duduk di sofa rusak. Ia tertawa dengan sengau. "Dua bulan