"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin jika Lisa membantunya menjadi ibu susu untuk Marsa?"
Mario terus memikirkan hal itu ketika Lisa masih sibuk berurusan dengan suster di Rumah Sakit. Jika memang Lisa menjadi ibu susu untuk anaknya, Mario tidak perlu bersusah payah untuk bergantung kepada Daniel demi mencarikan donor ASI untuk Marsa.
Suasana canggung meliputi Risa dan Mario. Mario tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berdiri dari duduknya.
"Kamu sudah selesai, Lisa? Kalau sudah, ayo kita ke mobil." Mario berkata dengan terbata.
Lisa hanya mengangguk lalu berjalan perlahan hingga langkah mereka sejajar.
Mario tampak melirik beberapa kali ke arah adik iparnya itu. Pria itu sudah mengambil keputusan, setidaknya dia harus membicarakan hal ini kepada si adik ipar. Namun, ia bingung bagaimana membuka obrolan ini. Ia tahu Lisa adalah wanita baik hati. Mengingat Marsa adalah keponakan dari Lisa, apakah mungkin jika Lisa menolak untuk membantunya mendonorkan ASI untuk keponakannya sendiri?
Tapi Lisa kan juga baru kehilangan bayinya. Sanggupkah ia membagi cairan yang berharga dari tubuhnya itu untuk bayi lain?
Mario kembali mengingat ketika dokter di rumah sakit mengharuskannya untuk mencarikan donor untuk Marsa. Dokter bilang kesehatan bayi itu makin menurun drastis dan berat badannya makin menyusut juga. Aneka alternatif susu lain sudah dicoba dokter. Susu formula soya, asam amino, hidrolisa ekstensif. Semua sudah dicoba. Anak itu tetap diare parah.
Bayi yang belum genap sebulan itu hanya bisa minum susu. Lalu mencari pendonor ASI juga tidak mudah.
"Lisa, maaf tapi tadi aku tak sengaja mendengar pembicaraanmu. Oleh karena itu, nanti saya bisa antar kamu mampir ke apotek untuk beli ... apa itu tadi yang dibilang suster?" Mario mencoba bicara sambil mereka terus berjalan ke area parkir.
"Breastpad? Nanti saya beli sendiri, Mas." Lisa menjawab sungkan. Pipinya memerah karena merasa malu harus membicarakan hal ini kepada pria yang merupakan kakak iparnya sendiri.
"Jangan menolak, Lisa. Anggap saja ini permintaan maafku sebagai kakak ipar yang membiarkanmu diusir dari rumah."
***
Sepanjang perjalanan menuju apotek, Lisa termenung mengingat bagaimana kakaknya sendiri mengusirnya dari rumah karena dianggap ingin merebut suaminya.
Pertengkaran hebat yang terjadi di rumah itu terjadi karena sebuah kecemburuan Risa terhadap Lisa. Kakaknya menganggap Lisa menggoda Mario. Padahal itu cuma salah paham. Mario pun sudah menjelaskan tapi Risa masih mengamuk dan tak percaya.
Mario yang datang ke rumah malam itu untuk menemui Risa, justru melihat Lisa tiba-tiba terkulai lemas dengan bibirnya yang memucat. Perutnya kram karena saat itu dia sedang datang bulan.
Mario menolongnya dan nekat menginap. Lisa bilang ia tidak apa-apa tapi Mario tidak tega meninggalkan Lisa sendirian di rumah dalam keadaan begitu.
Kesalahpahaman terjadi. Paginya Risa pulang dari luar kota dan terkejut menemukan Mario berada di rumah bersama dengan Lisa. Ia menuduh Lisa yang gatal dan menggoda. Mario berusaha menjelaskan tapi tak didengar.
"Kamu keterlaluan, Lisa! Sudah merepotkan, dan sekarang kamu coba-coba godain calon suamiku? Lancang ya kamu! Kamu cuma bisa bikin kecewa. Kamu pergi aja dari rumah ini. Jangan anggap aku kakakmu lagi. Sana! Terserah kamu! Urus hidup kamu sendiri!"
Dan kata-kata itu terlontar juga dari mulut Risa. Lisa hanya menunduk dan diam. Sore itu juga, ia diam-diam pergi membawa ransel dijemput lelaki. Dan semenjak sore itu dia menghilang, tak pernah pulang.
Pernikahan Mario dan Risa tetap berjalan. Mereka jauh dari keluarga besar. Apalagi keluarga dari pihak ayah mereka di luar negeri. Tak ada yang menanyakan Lisa ke mana.
***
"Lisa, Lis?"
Lamunan Lisa dihentikan oleh sentuhan Mario di pundaknya. Tak hanya itu, mereka bahkan sudah sampai di apotek dan Mario sudah membawa sebuah kantong plastik berisikan breastpad yang dibutuhkan Lisa.
"Ah, maaf Mas Mario. Karena aku, Mas sendiri yang harus beli barang ini ke apotek" ucap Lisa.
Melihat Lisa yang ingin meluruskan sandaran kursi mobil, Mario menahannya. Dia tak ingin mengganggu Lisa, karena dia saar bahwa wanita di hadapannya ini jelas membutuhkan istirahat.
"Tidak apa-apa, Lisa. Kamu istirahat saja," tutur Mario. Pria itu pun terduduk kembali di bangku kemudi dan memasang sabuk pengaman.
Ketika tangannya menggenggam rem, Mario menatap Lisa nanar. Dia merasa bahwa dia harus membicarakan tentang Marsa kepada Lisa saat ini juga.
"Lisa, ada yang ingin saya bicarakan denganmu,"
Mendengar Mario, Lisa pun menoleh. "Bicara apa, Mas?"
"Sebetulnya, Risa sudah memiliki anak." Suara Mario terdengar pelan, namun ucapan itu tetap terdengar oleh Lisa.
Lisa cukup terkejut dengan kabar itu, karena yang dia tahu, dulu Kakaknya pernah mengakui bahwa dia tidak menginginkan seorang anak.
Tersadar bahwa Lisa tak memberikan respon, Mario melanjutkan pembicaraannya. "Namanya Marsa. Belum ada sebulan umurnya.
Perempuan, cantik, lucu. Kamu punya keponakan, Lisa."Mario kini menatap Lisa lebih dalam, dia menyaksikan ekspresi adik iparnya yang terlihat mengernyit, namun terkejut di saat yang bersamaan. Pria itu juga merasa khawatir jika emosi Lisa justru akan meledak-ledak, mengingat wanita itu juga baru saja kehilangan anak. Namun, kekhawatirannya menghilang ketika melihat Lisa mengeluarkan senyuman tipis di bibirnya.
"Marsa, nama yang bagus, Mas. Tapi, kenapa Mas Mario baru bilang sekarang?" tanya Lisa, berusaha menyembunyikan rasa bahagianya. Meskipun hubungan dengan kakaknya tidak berjalan lancar, wanita itu diam-diam berharap bahwa dia bisa menjadi tante yang baik bagi keponakannya.
Dengan gugup, Mario mencoba meneguhkan hatinya untuk bicara. "Karena aku butuh pertolonganmu"
"Pertolongan apa, Mas?"
"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkan ASI untuk anakku?"
"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkanASI untuk anakku?" Permintaan Mario membuat manik mata Lisamembesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasatakut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akanorang-orang sekitarnya katakan? "Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?"tanya Lisa sembari menatap Mario nanar. "Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmudengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yangdibutuhkan Marsa." Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu,Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainyamenemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan memintabantuan dari adik iparnya sendiri. "Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi,bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--" "Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkananalisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekatmengingat kondisinya saat ini." potong Mar
Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu. Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil. '3 panggilan tak terjawab dari Aryo.' Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah. Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah. Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat. "Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..." "Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami. Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu den
Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario. Adik iparnya itu ternyata punya utang? Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar. Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja. Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa. Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa. Tring! Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip. Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman. Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangann
Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci. "Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik. Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini. Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun. Gawat! Ia harus segera bertindak! Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu. "Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa. Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah me
Lisa pucat pasi. Ia tak tahu kalau sejak tadi Aryo menunggunya. "Jawab! Kenapa telponku nggak diangkat. Kamu mau kabur? Ingat perjanjian kita. KTP kamu masih aku bawa. Aku juga punya foto terlarangmu. Mau semua aku sebar?" Aryo mengancam dengan membabi buta. Mungkin karena pengaruh minuman memabukkan itu juga yang membuat emosinya makin naik. Lisa merasa terpojok. Ia yang dari tadi sibuk menangis itu mendadak mengering air matanya. "Aryo, tenang dulu. Ponselku mati. Aku habis dari rumah sakit ngurusin dokumen kematian bayiku. Please kamu lebih ngertiin aku, Yo. Dulu janjinya kan dua bulan setelah selesai melahirkan aku akan siap nebus hutang." Lisa mencoba bernegosiasi. Aryo adalah pria paling menjengkelkan dan manipulatif yang pernah Lisa kenal. Tapi mau bagaimana. Lisa mau tak mau berurusan dengannya karena butuh. Karena ia tidak tahu lagi mau berhutang ke siapa. Aryo yang berdiri dengan sempoyongan itu akhirnya kembali duduk di sofa rusak. Ia tertawa dengan sengau. "Dua bulan
"Biar aku pergi menyusul bayiku. Biar hidupku berakhir dengan tragis. Masa laluku terlalu gelap dan aku tak pantas lagi menjadi seorang ibu. Biar! Biar hidupku berakhir di tangan Aryo! Biar!" Lisa memejamkan mata sambil meratap dalam hati. Lisa merasa pikirannya kosong. Kepalanya hening. Ia sudah memasrahkan hidupnya yang kelam dan menyedihkan ini pada nasib. Lisa bahkan lupa kalau sekarang ada bayi kecil yang membutuhkan dirinya. Membutuhkan cairan berharga dalam tubuhnya untuk bertahan hidup. Marsa. Ya, Marsa membutuhkannya. Tapi Lisa terlalu lelah menanggung banyak hal setahun ini. Marsa yang baru ia ketahui keberadaannya dan ia gendong hari ini ternyata belum cukup membuatnya bertahan atau melawan. Lisa justru makin pasrah dan menyerah. Pyar! Pot semen berukuran sedang yang berisi bunga mawar peninggalan penghuni lama kontrakan itu hancur di lantai. Tanahnya berhamburan. Lisa mendengar suara itu tapi anehnya kepalanya tidak terasa sakit. Kenapa ini? Apa Sang Pemilik Kehidup
Mario menyangka Aryo suaminya. Ah, apa ia iyakan saja. Toh tadi ia sudah berakting dan menyebut Aryo dengan panggilan Mas. Lisa mulai berpikir. Ya, biarlah begini. Kalau Mario menyangka Aryo adalah suaminya, maka ia tak perlu mengarang cerita dan menjelaskan soal suaminya yang sebenarnya tak ia punya. Masak ia akan menceritakan soal Bisma yang kabur setelah menghamilinya? Jangan! Mario tak boleh tahu. Biar begini saja. Biar Mario percaya pada sangkaannya sendiri. Aryo itu suaminya. "Y--ya. Dia suamiku. Udahlah, Mas. Kamu cuma datang di saat yang salah dan mengira dia jahat. Kami cuma bertengkar biasa karena sama-sama sedih habis kehilangan bayi. Biasanya juga begini, kok. Besok juga baikan." Lisa mencari-cari alasan. Mukanya ia atur supaya kelihatan santai dan tampak tak berhohong. Mario menatap wajah gadis yang sempat ditaksirnya dulu itu dengan tatapan menyerah. Oke, Lisa tak apa-apa walau beberapa menit yang lalu suaminya hampir memukul kepalanya dengan pot semen. Oke! Ini buka
Lisa memejamkan mata. Suara dengkuran Aryo masih menjadi suara latar belakang di kepalanya. Ia mencoba untuk menghiraukan itu. Lisa mencoba mengingat kemanakah tas itu seharian ini selain ia bawa ke rumah sakit. Ah, tas itu kan sempat berada di mobil Mario dan Mario sempat mengambilnya karena ia sendiri yang memintanya ketika hendak mengurus dokumen donor untuk Marsa. "Hah! Pasti Mas Mario yang menaruh uang ini!" Lisa tersadar. Ia lalu mengeluarkan semua uang itu, termasuk uang yang sebelumnya memang sudah berada di dompetnya. Sungguh kontras. Uang berwarna merah dan terlihat mulus karena baru keluar dari bank itu ia tumpuk tinggi. Dan uang miliknya tampak lusuh ia sandingkan di sampingnya. Jelas uang itu lusuh karena uang pecahan kecil biasanya sudah terpegang dari tangan ke tangan. Lisa menelan ludahnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Perhatiannya lalu kembali ke arah ponselnya. Ia tidak sempat membuka benda itu dari tadi dan benda itu ada di tas yang sama dengan dompetnya