Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci.
"Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik.Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini.Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun.Gawat! Ia harus segera bertindak!Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu."Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa.Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah menunggu Mario menyampaikan sesuatu."Oke. Jadi, aku sudah bilang terima kasih untuk bantuanmu berkali-kali sejak tadi tapi biar aku ulang. Aku yakin suster dan dokter tadi sudah bilang kalau Marsa membutuhkan batuan kamu setidaknya sampai..." Mario tak sanggup melanjutkan kata-katanya."Sampai dia 6 bulan dan tubuhnya siap mencerna makanan selain susu. Oke, iya. Aku tahu. Aku juga sudah kasih nomorku sama suster. Tadi diminta. Aku akan datang kalau dibutuhkan. Mas Mario nggak perlu sungkan.Aku juga sudah membuat stok tadi untuk beberapa hari kebutuhan ASI Marsa. Jadi tenang aja, Mas. Aku tetap bantu Marsa sampai anak itu pulih dan membaik." Lisa berkata dengan panjang lebar.Mario menelan ludahnya dan menunduk. Oke, Lisa sudah menyampaikan poin-poin penting yang perlu mereka bicarakan.Tapi masalahnya ada poin lain di kepala Mario yang bingung untuk ia tanyakan."Siapa Aryo?""Kenapa kamu punya utang?""Utangmu berapa?""Siapa suami kamu?"Tapi bibir Mario justru terkunci rapat. Ia kini mengangkat wajahnya dan menatap Lisa dengan gugup.Oke. Beranikan dirimu, Mario! Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri."Oke. Terima kasih sudah mau direpotkan, Lisa. Mmm, alangkah baiknya aku ikut kamu turun dan minta izin suami kamu secara langsung soal ini. Bagaimanapun ke depannya kamu perlu ke rumah sakit dan itu mengganggu waktu kamu, kan? Biar aku temui dia." Mario langsung to the point.Air muka Lisa langsung berubah. Ia menjadi murung dan terlihat tidak nyaman. Sejak di rumah sakit tadi ia sudah menghindari topik soal ini. Tak disangka Mario mengungkit lagi."Ng--nggak perlu, Mas. Nanti aku yang bilang ke dia." Lisa mengelak.Mario menatap mata bening itu. Sungguh, firasatnya seolah mengatakan kalau Lisa ini berhohong. Tapi bagaimana caranya agar ia jujur?"Kenapa? Dia belum pulang kerja? Aku tungguin di sini. Nggak papa, kok." Mario bersikeras. Ia ingin tahu seperti apa respon Lisa kalau didesak."Nggak, Mas. Nggak usah! Pokoknya aku jamin semua aman ke depannya kalau aku harus ke rumah sakit untuk keperluan ASI Marsa." Lisa merasa makin terpojok.Mario rupanya belum ingin menyerah. Ia makin yakin Lisa membohonginya karena responnya jadi panik begini."Oke. Kalau gitu kasih nomor handphone-nya. Biar aku hubungi dia nanti dan aku perkenalkan diriku. Bagaimanapun kamu adik iparku. Dia pun juga adik iparku, kan? Sudah sepatutnya aku bicara baik-baik." Mario merasa Lisa sudah di ujung tanduk. Mau alasan apa lagi ia.Hening.Lisa kehilangan kata-kata. Dahinya yang mulus itu mulai memunculkan keringat-keringat dingin tanda gelisah.Mario terus menatap mata Lisa yang kini menghindar darinya. Ia berharap Lisa mau terbuka. Ia ingin Lisa jujur tanpa menutup-nutupi apapun lagi kepadanya."Aku... . Aku nggak hafal nomor suamiku. Ponselku juga kayaknya mati, Mas. Batrenya habis. Nanti aku minta nomor Mas dari suster Ami, terus aku hubungi Mas." Lisa tampak sudah tak ada lagi pembelaan dan alasan.Mario tak menyahut satu katapun, tapi tangannya segera mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya."Ini. Ada nomor pribadiku, nomor kantor yang langsung tersambung ke sekretarisku. Ada alamat kantorku juga. Di belakang ada alamat baruku di kota ini. Aku tulis tangan. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, kamu tahu harus cari aku dimana." Mario meletakkan kartu namanya di tangan Lisa.Lisa menggenggam kartu itu dan menatap mata Mario dalam-dalam. Perasaannya sedikit tersentil.Dari nada bicara Mario, Lisa tahu kalau kakak iparnya itu mencemaskannya. Tapi ada perasaan lain di hatinya yang merasa diremehkan.Mario pasti tahu ia selalu merepotkan orang lain, ia selalu butuh bantuan, tidak bisa apa-apa sendiri, tidak mandiri seperti Risa-kakaknya.Perasaan itu melukai harga diri Lisa. Ia kabur dari rumah sungguhan bukan karena sakit hati diusir kakaknya, tapi ada perasaan ingin membuktikan diri kalau ia mampu bertahan sendiri. Walau kenyataannya hidupnya malah kacau."Mas, terima kasih tawarannya. Tapi aku baik-baik saja dan tidak butuh bantuan siapapun. Permisi. Aku pulang dulu. Terima kasih sudah mengantar." Lisa dengan raut wajahnya yang berubah itu langsung membuka pintu mobil dan berjalan dengan cepat masuk ke gang yang lebih sempit.Mario tak menyangka Lisa akan bereaksi separah ini atas kata-katanya yang ia anggap biasa saja itu.Ia meninju setir mobilnya sendiri dengan gemas. Ah, ternyata ia terlalu cepat bertindak sehingga Lisa beraksi begini, batinnya dalam hati.***Lisa mengusap air matanya sambil berjalan menuju pintu rumah kontrakannya di gang sempit itu.Ia tak mau dibantu siapapun. Ia tak mau merepotkan siapapun. Apalagi anggota keluarganya.Kalau ia sampai minta tolong Mario, Risa pasti akan makin mengatainya anak manja merepotkan setelah bangun dari koma. Sudah cukup ia dikatai begitu oleh kakaknya sedari kecil.Lisa mengusap air matanya lagi sambil berjalan cepat, hingga tak menyadari Aryo sudah berdiri menghadangnya di depan pintu."Dari mana kamu? Aku telpon puluhan kali tapi nggak diangkat!" Suara Aryo terdengar intimidatif dan mengancam.Lisa pucat pasi. Ia tak tahu kalau sejak tadi Aryo menunggunya. "Jawab! Kenapa telponku nggak diangkat. Kamu mau kabur? Ingat perjanjian kita. KTP kamu masih aku bawa. Aku juga punya foto terlarangmu. Mau semua aku sebar?" Aryo mengancam dengan membabi buta. Mungkin karena pengaruh minuman memabukkan itu juga yang membuat emosinya makin naik. Lisa merasa terpojok. Ia yang dari tadi sibuk menangis itu mendadak mengering air matanya. "Aryo, tenang dulu. Ponselku mati. Aku habis dari rumah sakit ngurusin dokumen kematian bayiku. Please kamu lebih ngertiin aku, Yo. Dulu janjinya kan dua bulan setelah selesai melahirkan aku akan siap nebus hutang." Lisa mencoba bernegosiasi. Aryo adalah pria paling menjengkelkan dan manipulatif yang pernah Lisa kenal. Tapi mau bagaimana. Lisa mau tak mau berurusan dengannya karena butuh. Karena ia tidak tahu lagi mau berhutang ke siapa. Aryo yang berdiri dengan sempoyongan itu akhirnya kembali duduk di sofa rusak. Ia tertawa dengan sengau. "Dua bulan
"Biar aku pergi menyusul bayiku. Biar hidupku berakhir dengan tragis. Masa laluku terlalu gelap dan aku tak pantas lagi menjadi seorang ibu. Biar! Biar hidupku berakhir di tangan Aryo! Biar!" Lisa memejamkan mata sambil meratap dalam hati. Lisa merasa pikirannya kosong. Kepalanya hening. Ia sudah memasrahkan hidupnya yang kelam dan menyedihkan ini pada nasib. Lisa bahkan lupa kalau sekarang ada bayi kecil yang membutuhkan dirinya. Membutuhkan cairan berharga dalam tubuhnya untuk bertahan hidup. Marsa. Ya, Marsa membutuhkannya. Tapi Lisa terlalu lelah menanggung banyak hal setahun ini. Marsa yang baru ia ketahui keberadaannya dan ia gendong hari ini ternyata belum cukup membuatnya bertahan atau melawan. Lisa justru makin pasrah dan menyerah. Pyar! Pot semen berukuran sedang yang berisi bunga mawar peninggalan penghuni lama kontrakan itu hancur di lantai. Tanahnya berhamburan. Lisa mendengar suara itu tapi anehnya kepalanya tidak terasa sakit. Kenapa ini? Apa Sang Pemilik Kehidup
Mario menyangka Aryo suaminya. Ah, apa ia iyakan saja. Toh tadi ia sudah berakting dan menyebut Aryo dengan panggilan Mas. Lisa mulai berpikir. Ya, biarlah begini. Kalau Mario menyangka Aryo adalah suaminya, maka ia tak perlu mengarang cerita dan menjelaskan soal suaminya yang sebenarnya tak ia punya. Masak ia akan menceritakan soal Bisma yang kabur setelah menghamilinya? Jangan! Mario tak boleh tahu. Biar begini saja. Biar Mario percaya pada sangkaannya sendiri. Aryo itu suaminya. "Y--ya. Dia suamiku. Udahlah, Mas. Kamu cuma datang di saat yang salah dan mengira dia jahat. Kami cuma bertengkar biasa karena sama-sama sedih habis kehilangan bayi. Biasanya juga begini, kok. Besok juga baikan." Lisa mencari-cari alasan. Mukanya ia atur supaya kelihatan santai dan tampak tak berhohong. Mario menatap wajah gadis yang sempat ditaksirnya dulu itu dengan tatapan menyerah. Oke, Lisa tak apa-apa walau beberapa menit yang lalu suaminya hampir memukul kepalanya dengan pot semen. Oke! Ini buka
Lisa memejamkan mata. Suara dengkuran Aryo masih menjadi suara latar belakang di kepalanya. Ia mencoba untuk menghiraukan itu. Lisa mencoba mengingat kemanakah tas itu seharian ini selain ia bawa ke rumah sakit. Ah, tas itu kan sempat berada di mobil Mario dan Mario sempat mengambilnya karena ia sendiri yang memintanya ketika hendak mengurus dokumen donor untuk Marsa. "Hah! Pasti Mas Mario yang menaruh uang ini!" Lisa tersadar. Ia lalu mengeluarkan semua uang itu, termasuk uang yang sebelumnya memang sudah berada di dompetnya. Sungguh kontras. Uang berwarna merah dan terlihat mulus karena baru keluar dari bank itu ia tumpuk tinggi. Dan uang miliknya tampak lusuh ia sandingkan di sampingnya. Jelas uang itu lusuh karena uang pecahan kecil biasanya sudah terpegang dari tangan ke tangan. Lisa menelan ludahnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Perhatiannya lalu kembali ke arah ponselnya. Ia tidak sempat membuka benda itu dari tadi dan benda itu ada di tas yang sama dengan dompetnya
Aryo mengguncang-guncang tubuh Lisa sambil memasang wajah kesal. Lisa menggosok-gosok matanya dan menata rambutnya sekenanya dengan pita rambut di sampingnya. Ia mencoba untuk tetap tenang. Menghadapi Aryo ini cukup tricky sebenarnya. Aryo tampak baru saja mencuci muka. Wajahnya terlihat segar. Pasti efek minuman memabukkan itu sudah hilang sepenuhnya dari tubuhnya. Jadi sekarang waktunya mengetes apakah ia ingat apa saja yang terjadi semalam. "Aku lapar, Lis." Aryo menggaruk-garuk perutnya. "Nggak ada makanan di sini, Aryo. Kamu nggak nanya kenapa kamu bisa tidur di sini? Kamu nggak ingat malam tadi kamu ngapain aja?" Lisa mulai mencoba meraba keadaan. Sungguh ia berharap Aryo lupa seperti biasanya. Aryo menggaruk-garuk kepalanya. Pria bertato itu tidak terlalu kelihatan semenyeramkan semalam kalau keadaanya sedang normal. Mabuk membuatnya berubah menjadi monster. Lisa pun pada awalnya mengenal Aryo dengan baik dari Bisma. Bisma dan Aryo berteman dulu, setidaknya sampai Bisma k
Lisa menatap langit-langit rumah kontrakan yang berjamur karena sering bocor itu. Ia berusaha mencari-cari alasan. Kalau bisa Aryo tak usah tahu soal kakak iparnya alias Mario. Aryo itu licik. Mario mudah iba. Lisa tak mau Aryo memanfaatkan Mario untuk urusan uang. Diminta uang berapapun pasti Mario akan memberi. Lisa tak mau dibantu terang-terangan! Tidak lagi! 5 juta ini saja sudah terpaksa ia terima karena ia buntu. Sisa hutang puluhan juta itu biar jadi urusannya sendiri saja. "Lisa! Jawab, dong! Jangan-jangan kamu sudah mulai 'kerja' tapi nggak mau aku urusin, ya. Kenapa? Nggak percaya? Takut uangnya aku potong banyak? Wah! Aku udah bantu kamu sama Bisma sejak lama tapi kam..." "Yo! Enggak! Enggak, Yo! Ah, udahlah. Aku nggak begitu." Lisa memotong. Ia benci kalau Aryo sudah mulai banyak omong. Tapi ia pun kehilangan kata-kata juga untuk menjelaskan. Ini terlalu rumit. "Terus apa?" Aryo makin memojokkannya. Lisa terdiam. Mau mengarang cerita apa. Aryo ini tak mudah dibohongi
Di sudut ruangan yang sempit itu Lisa merapat ke arah Aryo yang sedang bersembunyi. Mereka berbisik-bisik panik. "Dia yang kasih aku uang. Yang 4 juta kukasih ke kamu tadi. Dia kakak iparku. Namanya Mario, suaminya kak Risa. Ingat kan Bisma pernah cerita soal dia?" Lisa berbisik. "Hah?" Saraf-saraf otak Aryo rupanya masih belum terkoneksi dengan maksimal karena baru bangun tidur, tapi setelah beberapa detik tampak berpikir akhirnya ia mengangguk-angguk. Ya. Ia ingat. Risa adalah kakak Lisa satu-satunya yang mengusirnya dari rumah. "Kok dia ngasih kamu uang? Kakak kamu udah nggak marah lagi?" Aryo yang bau nafasnya masih tercium sedikit alkohol itu terheran. Ah, posisi yang tak mengenakkan karena mereka harus saling berbisik dan berdekatan begini. Lisa sedikit memundurkan tubuhnya karena bau nafas Aryo itu terasa ingin membuatnya mual. Tapi Aryo rupanya cuek saja. Mana peduli ia. "Keponakan aku butuh donor ASI. Kakakku koma. Mas Mario nggak tahu selama aku kabur aku kemana aja, k
Aryo yang ceroboh itu hanya bisa nyengir. Ia tahu ia salah nama. Kenapa Lisa tidak memberitahunya soal ganti nama? Dia kan jadi refleks menyebut nama aslinya sendiri. "Arkana Dimas. Tapi nama panggilannya Dimas. Iya kan, Mas?" Lisa langsung menyelamatkan keadaan. Mario menatap curiga. Tapi perasaan itu berusaha ia tepis. Ia tak ingin berprasangka. "Y--ya. Saya Dimas. S--saya suaminya Lisa. Saya tidak melarang-larang dia, kok. Lagian kan dia membantu keponakannya sendiri. Tenang saja. Aman," ucapnya dengan tawa dibuat-buat. Sungguh kelihatan sekali kalau ia sedang berpura-pura. Lisa mencoba mengimbangi akting Aryo yang buruk itu dengan suara tawa palsunya juga. Mario yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa ikut tersenyum sopan. Seolah ada yang mengganjal. Benarkah ini semua? Tapi kelihatannya mereka baik-baik saja. Mario hanya bisa tersenyum kecut melihat Lisa tampak bermanja pada Aryo. Akhirnya Lisa mencari-cari alasan kalau Dimas alias Aryo ingin bersiap berangkat kerja d