Share

9. Kenalkan Aku Pada Suamimu

Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci.

"Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik.

Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini.

Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun.

Gawat! Ia harus segera bertindak!

Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu.

"Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa.

Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah menunggu Mario menyampaikan sesuatu.

"Oke. Jadi, aku sudah bilang terima kasih untuk bantuanmu berkali-kali sejak tadi tapi biar aku ulang. Aku yakin suster dan dokter tadi sudah bilang kalau Marsa membutuhkan batuan kamu setidaknya sampai..." Mario tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

"Sampai dia 6 bulan dan tubuhnya siap mencerna makanan selain susu. Oke, iya. Aku tahu. Aku juga sudah kasih nomorku sama suster. Tadi diminta. Aku akan datang kalau dibutuhkan. Mas Mario nggak perlu sungkan.

Aku juga sudah membuat stok tadi untuk beberapa hari kebutuhan ASI Marsa. Jadi tenang aja, Mas. Aku tetap bantu Marsa sampai anak itu pulih dan membaik." Lisa berkata dengan panjang lebar.

Mario menelan ludahnya dan menunduk. Oke, Lisa sudah menyampaikan poin-poin penting yang perlu mereka bicarakan.

Tapi masalahnya ada poin lain di kepala Mario yang bingung untuk ia tanyakan.

"Siapa Aryo?"

"Kenapa kamu punya utang?"

"Utangmu berapa?"

"Siapa suami kamu?"

Tapi bibir Mario justru terkunci rapat. Ia kini mengangkat wajahnya dan menatap Lisa dengan gugup.

Oke. Beranikan dirimu, Mario! Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Oke. Terima kasih sudah mau direpotkan, Lisa. Mmm, alangkah baiknya aku ikut kamu turun dan minta izin suami kamu secara langsung soal ini. Bagaimanapun ke depannya kamu perlu ke rumah sakit dan itu mengganggu waktu kamu, kan? Biar aku temui dia." Mario langsung to the point.

Air muka Lisa langsung berubah. Ia menjadi murung dan terlihat tidak nyaman. Sejak di rumah sakit tadi ia sudah menghindari topik soal ini. Tak disangka Mario mengungkit lagi.

"Ng--nggak perlu, Mas. Nanti aku yang bilang ke dia." Lisa mengelak.

Mario menatap mata bening itu. Sungguh, firasatnya seolah mengatakan kalau Lisa ini berhohong. Tapi bagaimana caranya agar ia jujur?

"Kenapa? Dia belum pulang kerja? Aku tungguin di sini. Nggak papa, kok." Mario bersikeras. Ia ingin tahu seperti apa respon Lisa kalau didesak.

"Nggak, Mas. Nggak usah! Pokoknya aku jamin semua aman ke depannya kalau aku harus ke rumah sakit untuk keperluan ASI Marsa." Lisa merasa makin terpojok.

Mario rupanya belum ingin menyerah. Ia makin yakin Lisa membohonginya karena responnya jadi panik begini.

"Oke. Kalau gitu kasih nomor handphone-nya. Biar aku hubungi dia nanti dan aku perkenalkan diriku. Bagaimanapun kamu adik iparku. Dia pun juga adik iparku, kan? Sudah sepatutnya aku bicara baik-baik." Mario merasa Lisa sudah di ujung tanduk. Mau alasan apa lagi ia.

Hening.

Lisa kehilangan kata-kata. Dahinya yang mulus itu mulai memunculkan keringat-keringat dingin tanda gelisah.

Mario terus menatap mata Lisa yang kini menghindar darinya. Ia berharap Lisa mau terbuka. Ia ingin Lisa jujur tanpa menutup-nutupi apapun lagi kepadanya.

"Aku... . Aku nggak hafal nomor suamiku. Ponselku juga kayaknya mati, Mas. Batrenya habis. Nanti aku minta nomor Mas dari suster Ami, terus aku hubungi Mas." Lisa tampak sudah tak ada lagi pembelaan dan alasan.

Mario tak menyahut satu katapun, tapi tangannya segera mengambil dompetnya dan mengeluarkan kartu namanya.

"Ini. Ada nomor pribadiku, nomor kantor yang langsung tersambung ke sekretarisku. Ada alamat kantorku juga. Di belakang ada alamat baruku di kota ini. Aku tulis tangan. Kalau ada apa-apa atau butuh bantuan, kamu tahu harus cari aku dimana." Mario meletakkan kartu namanya di tangan Lisa.

Lisa menggenggam kartu itu dan menatap mata Mario dalam-dalam. Perasaannya sedikit tersentil.

Dari nada bicara Mario, Lisa tahu kalau kakak iparnya itu mencemaskannya. Tapi ada perasaan lain di hatinya yang merasa diremehkan.

Mario pasti tahu ia selalu merepotkan orang lain, ia selalu butuh bantuan, tidak bisa apa-apa sendiri, tidak mandiri seperti Risa-kakaknya.

Perasaan itu melukai harga diri Lisa. Ia kabur dari rumah sungguhan bukan karena sakit hati diusir kakaknya, tapi ada perasaan ingin membuktikan diri kalau ia mampu bertahan sendiri. Walau kenyataannya hidupnya malah kacau.

"Mas, terima kasih tawarannya. Tapi aku baik-baik saja dan tidak butuh bantuan siapapun. Permisi. Aku pulang dulu. Terima kasih sudah mengantar." Lisa dengan raut wajahnya yang berubah itu langsung membuka pintu mobil dan berjalan dengan cepat masuk ke gang yang lebih sempit.

Mario tak menyangka Lisa akan bereaksi separah ini atas kata-katanya yang ia anggap biasa saja itu.

Ia meninju setir mobilnya sendiri dengan gemas. Ah, ternyata ia terlalu cepat bertindak sehingga Lisa beraksi begini, batinnya dalam hati.

***

Lisa mengusap air matanya sambil berjalan menuju pintu rumah kontrakannya di gang sempit itu.

Ia tak mau dibantu siapapun. Ia tak mau merepotkan siapapun. Apalagi anggota keluarganya.

Kalau ia sampai minta tolong Mario, Risa pasti akan makin mengatainya anak manja merepotkan setelah bangun dari koma. Sudah cukup ia dikatai begitu oleh kakaknya sedari kecil.

Lisa mengusap air matanya lagi sambil berjalan cepat, hingga tak menyadari Aryo sudah berdiri menghadangnya di depan pintu.

"Dari mana kamu? Aku telpon puluhan kali tapi nggak diangkat!" Suara Aryo terdengar intimidatif dan mengancam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status