Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario.
Adik iparnya itu ternyata punya utang?Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar.Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja.Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa.Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa.Tring!Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip.Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman.Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangannya dengan cepat untuk menahan layar itu agar menyala lebih lama. Agar ia bisa mengamati pesan masuk dari seseorang bernama Aryo itu lagi.[[ "Pembohong! Kalau bukan karena kasihan, aku nggak akan men--" ]]Pesan itu terputus lagi. Mario mengeluh dalam hati.Tring!Pesan dari Aryo lagi. Mata Mario mengawasi dengan tajam.[[ "Aku tunggu sampai besok!" ]]Mario menahan nafasnya. Ah, sudah itu saja pesannya. Tidak ada petunjuk lain.Masih sambil memegangi ponsel Lisa yang kondisinya memprihatinkan itu, Mario mencoba untuk menelaah ini semua.Oke, pertama, Lisa punya utang. Utangnya untuk apa? Lalu berapa? Kenapa ia bisa ditagih dengan teror macam begini oleh pria bernama Aryo itu? Pertanyaan ini sungguh menganggu pikiran Mario.Berarti kalau Lisa punya utang, kemungkinan dia tidak punya uang?Mario lalu menatap tas Lisa di tanganinya. Selain dokumen kematian anaknya dan juga ponsel yang sedang ia pegangi itu, ada dompet milik Lisa juga di sana.Mario tahu, membuka barang pribadi milik orang lain itu tidak sopan dan tindakan yang sungguh lancang. Tapi ia merasa penasaran. Apakah Lisa punya uang?Ditolehnya lagi dari celah kaca itu. Lisa masih tampak mengobrol dengan suster. Posisinya membelakanginya, jadi Lisa pasti tidak melihat apa yang ia lakukan. Mario merasa aman."Oke! Masa bodoh! Biar kulihat dompetnya," ucap Mario lalu ia mengambil dompet Lisa dan membuka isinya.Selain kartu kartu dan bekas tagihan, hanya ada beberapa lembar uang dalam pecahan kecil yang Lisa punya.Mario tampak gelisah. Ia tidak boleh membiarkan Lisa susah begini. Mungkinkah tidak ada uang cash di dompet Lisa karena dia belum mengambil uang? Tapi bagaimana kalau ternyata Lisa memang benar-benar sudah tidak punya uang lagi selain uang kecil ini?Kalau Lisa punya uang, kenapa ia dikejar-kejar penagih utang. Iya, kan? Mario mencoba berdialog dengan dirinya sendiri.Iya tahu kalau ia menawarkan bantuan atau apapun itu, Lisa pasti akan menolak. Padahal sebagai orang yang sudah mau dengan sukarela mendonorkan ASI untuk Marsa, ia patu diberi imbalan yang banyak dan tak ternilai.Tanpa pikir panjang Mario segera mengeluarkan dompetnya sendiri dari kantong celananya. Seluruh uang cash yang ia punya dalam pecahan terbesar ia masukkan ke dalam dompet Lisa sampai tidak muat lagi.Jadinya ia mengambil uang banyak itu karena pengasuh Marsa yang kini sudah ia berhentikan itu minta uang gaji terakhirnya secara cash karena ia tidak punya kartu ATM.Nanti gampang, lah. Ia bisa mengambil uang lagi untuk membayar pengasuh itu. Yang penting dompet Lisa penuh dulu, begitu pikir Mario.Sekarang setelah melakukan aksinya yang penuh resiko dan mungkin akan membuat Lisa tersinggung atau marah itu, Mario kembali gelisah. Ia tak peduli bagaimana akhirnya nanti, tapi ia harus bertekad untuk meminta nomor ponsel Lisa yang baru.Mario juga berniat untuk bersikeras mengantar Lisa pulang agar ia tahu bisa tinggal di mana Lisa sekarang.Mario masih melamun dan sibuk dengan isi pikirannya sendiri, sehingga ketika pintu di belakangnya dibuka secara tiba-tiba, ia terkaget hingga hampir melompat dari kursi."Kenapa, Mas? Maaf aku ngangetin kamu. Tadi buka pintunya terlalu kencang." Lisa yang baru keluar dan tampak merapikan kemeja putih Mario yang ia pakai itu tampak tak enak hati."Eh, nggak papa. Nggak papa, kok. Oh, yaudah aku antar kamu pulang, ya." Mario langsung tak memberi jeda bagi Lisa untuk menghindar."Aku bisa naik taksi, Mas," ucap Lisa menolak. Padahal uang di dompetnya hanya cukup untuk naik angkot saja."Di luar hujan. Please. Jangan tolak bantuanku. Kamu sudah bantu aku dan Marsa." Mario menatap mata Lisa dalam-dalam.Dan Lisa yang awalnya bersikeras dan bersikap begitu tertutup terhadap Mario itu kini agak luluh juga. Ia mengangguk.***Di depan rumah kontrakan yang ditempati Lisa.Aryo yang tampak kesal dan sedikit mabuk itu hampir saja pergi begitu mendapati kontrakan Lisa kosong. Tapi entah mendapat firasat dari mana, pria meyeramkan itu memutuskan untuk menunggu.Arya duduk di sofa bekas yang karetnya sudah tampak mencuat dan usang itu sambil melipat tangannya ke dada."Lagian mau kabur ke mana sih itu anak. Pasti nanti juga pulang. Tunggu aja," ucap Aryo.Ya, Aryo mungkin beruntung hari itu. Mobil Mario sedang menuju ke sana beberapa kilometer lagi.Akankah mereka bertiga bertemu?Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci. "Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik. Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini. Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun. Gawat! Ia harus segera bertindak! Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu. "Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa. Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah me
Lisa pucat pasi. Ia tak tahu kalau sejak tadi Aryo menunggunya. "Jawab! Kenapa telponku nggak diangkat. Kamu mau kabur? Ingat perjanjian kita. KTP kamu masih aku bawa. Aku juga punya foto terlarangmu. Mau semua aku sebar?" Aryo mengancam dengan membabi buta. Mungkin karena pengaruh minuman memabukkan itu juga yang membuat emosinya makin naik. Lisa merasa terpojok. Ia yang dari tadi sibuk menangis itu mendadak mengering air matanya. "Aryo, tenang dulu. Ponselku mati. Aku habis dari rumah sakit ngurusin dokumen kematian bayiku. Please kamu lebih ngertiin aku, Yo. Dulu janjinya kan dua bulan setelah selesai melahirkan aku akan siap nebus hutang." Lisa mencoba bernegosiasi. Aryo adalah pria paling menjengkelkan dan manipulatif yang pernah Lisa kenal. Tapi mau bagaimana. Lisa mau tak mau berurusan dengannya karena butuh. Karena ia tidak tahu lagi mau berhutang ke siapa. Aryo yang berdiri dengan sempoyongan itu akhirnya kembali duduk di sofa rusak. Ia tertawa dengan sengau. "Dua bulan
"Biar aku pergi menyusul bayiku. Biar hidupku berakhir dengan tragis. Masa laluku terlalu gelap dan aku tak pantas lagi menjadi seorang ibu. Biar! Biar hidupku berakhir di tangan Aryo! Biar!" Lisa memejamkan mata sambil meratap dalam hati. Lisa merasa pikirannya kosong. Kepalanya hening. Ia sudah memasrahkan hidupnya yang kelam dan menyedihkan ini pada nasib. Lisa bahkan lupa kalau sekarang ada bayi kecil yang membutuhkan dirinya. Membutuhkan cairan berharga dalam tubuhnya untuk bertahan hidup. Marsa. Ya, Marsa membutuhkannya. Tapi Lisa terlalu lelah menanggung banyak hal setahun ini. Marsa yang baru ia ketahui keberadaannya dan ia gendong hari ini ternyata belum cukup membuatnya bertahan atau melawan. Lisa justru makin pasrah dan menyerah. Pyar! Pot semen berukuran sedang yang berisi bunga mawar peninggalan penghuni lama kontrakan itu hancur di lantai. Tanahnya berhamburan. Lisa mendengar suara itu tapi anehnya kepalanya tidak terasa sakit. Kenapa ini? Apa Sang Pemilik Kehidup
Mario menyangka Aryo suaminya. Ah, apa ia iyakan saja. Toh tadi ia sudah berakting dan menyebut Aryo dengan panggilan Mas. Lisa mulai berpikir. Ya, biarlah begini. Kalau Mario menyangka Aryo adalah suaminya, maka ia tak perlu mengarang cerita dan menjelaskan soal suaminya yang sebenarnya tak ia punya. Masak ia akan menceritakan soal Bisma yang kabur setelah menghamilinya? Jangan! Mario tak boleh tahu. Biar begini saja. Biar Mario percaya pada sangkaannya sendiri. Aryo itu suaminya. "Y--ya. Dia suamiku. Udahlah, Mas. Kamu cuma datang di saat yang salah dan mengira dia jahat. Kami cuma bertengkar biasa karena sama-sama sedih habis kehilangan bayi. Biasanya juga begini, kok. Besok juga baikan." Lisa mencari-cari alasan. Mukanya ia atur supaya kelihatan santai dan tampak tak berhohong. Mario menatap wajah gadis yang sempat ditaksirnya dulu itu dengan tatapan menyerah. Oke, Lisa tak apa-apa walau beberapa menit yang lalu suaminya hampir memukul kepalanya dengan pot semen. Oke! Ini buka
Lisa memejamkan mata. Suara dengkuran Aryo masih menjadi suara latar belakang di kepalanya. Ia mencoba untuk menghiraukan itu. Lisa mencoba mengingat kemanakah tas itu seharian ini selain ia bawa ke rumah sakit. Ah, tas itu kan sempat berada di mobil Mario dan Mario sempat mengambilnya karena ia sendiri yang memintanya ketika hendak mengurus dokumen donor untuk Marsa. "Hah! Pasti Mas Mario yang menaruh uang ini!" Lisa tersadar. Ia lalu mengeluarkan semua uang itu, termasuk uang yang sebelumnya memang sudah berada di dompetnya. Sungguh kontras. Uang berwarna merah dan terlihat mulus karena baru keluar dari bank itu ia tumpuk tinggi. Dan uang miliknya tampak lusuh ia sandingkan di sampingnya. Jelas uang itu lusuh karena uang pecahan kecil biasanya sudah terpegang dari tangan ke tangan. Lisa menelan ludahnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Perhatiannya lalu kembali ke arah ponselnya. Ia tidak sempat membuka benda itu dari tadi dan benda itu ada di tas yang sama dengan dompetnya
Aryo mengguncang-guncang tubuh Lisa sambil memasang wajah kesal. Lisa menggosok-gosok matanya dan menata rambutnya sekenanya dengan pita rambut di sampingnya. Ia mencoba untuk tetap tenang. Menghadapi Aryo ini cukup tricky sebenarnya. Aryo tampak baru saja mencuci muka. Wajahnya terlihat segar. Pasti efek minuman memabukkan itu sudah hilang sepenuhnya dari tubuhnya. Jadi sekarang waktunya mengetes apakah ia ingat apa saja yang terjadi semalam. "Aku lapar, Lis." Aryo menggaruk-garuk perutnya. "Nggak ada makanan di sini, Aryo. Kamu nggak nanya kenapa kamu bisa tidur di sini? Kamu nggak ingat malam tadi kamu ngapain aja?" Lisa mulai mencoba meraba keadaan. Sungguh ia berharap Aryo lupa seperti biasanya. Aryo menggaruk-garuk kepalanya. Pria bertato itu tidak terlalu kelihatan semenyeramkan semalam kalau keadaanya sedang normal. Mabuk membuatnya berubah menjadi monster. Lisa pun pada awalnya mengenal Aryo dengan baik dari Bisma. Bisma dan Aryo berteman dulu, setidaknya sampai Bisma k
Lisa menatap langit-langit rumah kontrakan yang berjamur karena sering bocor itu. Ia berusaha mencari-cari alasan. Kalau bisa Aryo tak usah tahu soal kakak iparnya alias Mario. Aryo itu licik. Mario mudah iba. Lisa tak mau Aryo memanfaatkan Mario untuk urusan uang. Diminta uang berapapun pasti Mario akan memberi. Lisa tak mau dibantu terang-terangan! Tidak lagi! 5 juta ini saja sudah terpaksa ia terima karena ia buntu. Sisa hutang puluhan juta itu biar jadi urusannya sendiri saja. "Lisa! Jawab, dong! Jangan-jangan kamu sudah mulai 'kerja' tapi nggak mau aku urusin, ya. Kenapa? Nggak percaya? Takut uangnya aku potong banyak? Wah! Aku udah bantu kamu sama Bisma sejak lama tapi kam..." "Yo! Enggak! Enggak, Yo! Ah, udahlah. Aku nggak begitu." Lisa memotong. Ia benci kalau Aryo sudah mulai banyak omong. Tapi ia pun kehilangan kata-kata juga untuk menjelaskan. Ini terlalu rumit. "Terus apa?" Aryo makin memojokkannya. Lisa terdiam. Mau mengarang cerita apa. Aryo ini tak mudah dibohongi
Di sudut ruangan yang sempit itu Lisa merapat ke arah Aryo yang sedang bersembunyi. Mereka berbisik-bisik panik. "Dia yang kasih aku uang. Yang 4 juta kukasih ke kamu tadi. Dia kakak iparku. Namanya Mario, suaminya kak Risa. Ingat kan Bisma pernah cerita soal dia?" Lisa berbisik. "Hah?" Saraf-saraf otak Aryo rupanya masih belum terkoneksi dengan maksimal karena baru bangun tidur, tapi setelah beberapa detik tampak berpikir akhirnya ia mengangguk-angguk. Ya. Ia ingat. Risa adalah kakak Lisa satu-satunya yang mengusirnya dari rumah. "Kok dia ngasih kamu uang? Kakak kamu udah nggak marah lagi?" Aryo yang bau nafasnya masih tercium sedikit alkohol itu terheran. Ah, posisi yang tak mengenakkan karena mereka harus saling berbisik dan berdekatan begini. Lisa sedikit memundurkan tubuhnya karena bau nafas Aryo itu terasa ingin membuatnya mual. Tapi Aryo rupanya cuek saja. Mana peduli ia. "Keponakan aku butuh donor ASI. Kakakku koma. Mas Mario nggak tahu selama aku kabur aku kemana aja, k