Share

8. Aryo Menunggu

Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario.

Adik iparnya itu ternyata punya utang?

Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar.

Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja.

Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa.

Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa.

Tring!

Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip.

Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman.

Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangannya dengan cepat untuk menahan layar itu agar menyala lebih lama. Agar ia bisa mengamati pesan masuk dari seseorang bernama Aryo itu lagi.

[[  "Pembohong! Kalau bukan karena kasihan, aku nggak akan men--"  ]]

Pesan itu terputus lagi. Mario mengeluh dalam hati.

Tring!

Pesan dari Aryo lagi. Mata Mario mengawasi dengan tajam.

[[  "Aku tunggu sampai besok!"  ]]

Mario menahan nafasnya. Ah, sudah itu saja pesannya. Tidak ada petunjuk lain.

Masih sambil memegangi ponsel Lisa yang kondisinya memprihatinkan itu, Mario mencoba untuk menelaah ini semua.

Oke, pertama, Lisa punya utang. Utangnya untuk apa? Lalu berapa? Kenapa ia bisa ditagih dengan teror macam begini oleh pria bernama Aryo itu? Pertanyaan ini sungguh menganggu pikiran Mario.

Berarti kalau Lisa punya utang, kemungkinan dia tidak punya uang?

Mario lalu menatap tas Lisa di tanganinya. Selain dokumen kematian anaknya dan juga ponsel yang sedang ia pegangi itu, ada dompet milik Lisa juga di sana.

Mario tahu, membuka barang pribadi milik orang lain itu tidak sopan dan tindakan yang sungguh lancang. Tapi ia merasa penasaran. Apakah Lisa punya uang?

Ditolehnya lagi dari celah kaca itu. Lisa masih tampak mengobrol dengan suster. Posisinya membelakanginya, jadi Lisa pasti tidak melihat apa yang ia lakukan. Mario merasa aman.

"Oke! Masa bodoh! Biar kulihat dompetnya," ucap Mario lalu ia mengambil dompet Lisa dan membuka isinya.

Selain kartu kartu dan bekas tagihan, hanya ada beberapa lembar uang dalam pecahan kecil yang Lisa punya.

Mario tampak gelisah. Ia tidak boleh membiarkan Lisa susah begini. Mungkinkah tidak ada uang cash di dompet Lisa karena dia belum mengambil uang? Tapi bagaimana kalau ternyata Lisa memang benar-benar sudah tidak punya uang lagi selain uang kecil ini?

Kalau Lisa punya uang, kenapa ia dikejar-kejar penagih utang. Iya, kan? Mario mencoba berdialog dengan dirinya sendiri.

Iya tahu kalau ia menawarkan bantuan atau apapun itu, Lisa pasti akan menolak. Padahal sebagai orang yang sudah mau dengan sukarela mendonorkan ASI untuk Marsa, ia patu diberi imbalan yang banyak dan tak ternilai.

Tanpa pikir panjang Mario segera mengeluarkan dompetnya sendiri dari kantong celananya. Seluruh uang cash yang ia punya dalam pecahan terbesar ia masukkan ke dalam dompet Lisa sampai tidak muat lagi.

Jadinya ia mengambil uang banyak itu karena pengasuh Marsa yang kini sudah ia berhentikan itu minta uang gaji terakhirnya secara cash karena ia tidak punya kartu ATM.

Nanti gampang, lah. Ia bisa mengambil uang lagi untuk membayar pengasuh itu. Yang penting dompet Lisa penuh dulu, begitu pikir Mario.

Sekarang setelah melakukan aksinya yang penuh resiko dan mungkin akan membuat Lisa tersinggung atau marah itu, Mario kembali gelisah. Ia tak peduli bagaimana akhirnya nanti, tapi ia harus bertekad untuk meminta nomor ponsel Lisa yang baru.

Mario juga berniat untuk bersikeras mengantar Lisa pulang agar ia tahu bisa tinggal di mana Lisa sekarang.

Mario masih melamun dan sibuk dengan isi pikirannya sendiri, sehingga ketika pintu di belakangnya dibuka secara tiba-tiba, ia terkaget hingga hampir melompat dari kursi.

"Kenapa, Mas? Maaf aku ngangetin kamu. Tadi buka pintunya terlalu kencang." Lisa yang baru keluar dan tampak merapikan kemeja putih Mario yang ia pakai itu tampak tak enak hati.

"Eh, nggak papa. Nggak papa, kok. Oh, yaudah aku antar kamu pulang, ya." Mario langsung tak memberi jeda bagi Lisa untuk menghindar.

"Aku bisa naik taksi, Mas," ucap Lisa menolak. Padahal uang di dompetnya hanya cukup untuk naik angkot saja.

"Di luar hujan. Please. Jangan tolak bantuanku. Kamu sudah bantu aku dan Marsa." Mario menatap mata Lisa dalam-dalam.

Dan Lisa yang awalnya bersikeras dan bersikap begitu tertutup terhadap Mario itu kini agak luluh juga. Ia mengangguk.

***

Di depan rumah kontrakan yang ditempati Lisa.

Aryo yang tampak kesal dan sedikit mabuk itu hampir saja pergi begitu mendapati kontrakan Lisa kosong. Tapi entah mendapat firasat dari mana, pria meyeramkan itu memutuskan untuk menunggu.

Arya duduk di sofa bekas yang karetnya sudah tampak mencuat dan usang itu sambil melipat tangannya ke dada.

"Lagian mau kabur ke mana sih itu anak. Pasti nanti juga pulang. Tunggu aja," ucap Aryo.

Ya, Aryo mungkin beruntung hari itu. Mobil Mario sedang menuju ke sana beberapa kilometer lagi.

Akankah mereka bertiga bertemu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status