Share

7. Penagih Utang

Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu.

Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil.

'3 panggilan tak terjawab dari Aryo.'

Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah.

Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah.

Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat.

"Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..."

"Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami.

Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu dengan langkah kaki cepat-cepat.

Ruangan itu tidak seperti ruangan rawat Risa yang harus serba steril dan hening. Ruangan rawat Marsa ini seperti lazimnya ruang rawat bayi di rumah sakit. Hanya saja ini lebih luas, lengkap alatnya, dan dijaga suster 24 jam.

Entah berapa juta tagihan yang harus dibayar Mario untuk ini. Tapi jelas ia tak peduli. Uang bisa dicari, kesehatan bayinya yang lebih penting.

"Sus, saya bawa donor ASI. Namanya Lisa. Dia tantenya Marsa. Adik kandung istri saya." Mario langsung memperkenalkan Lisa pada suster yang menjaga Marsa.

Sang suster langsung menoleh ke belakang. Marsa yang menangis di gendongannya tampak memerah wajahnya. Oh, begitu mungil dan lemah. Hati Lisa langsung luluh.

"Saya suster Ami. Mmm, mungkin Bu Lisa bisa ikut saya untuk dicek. Atau Ibu belum lama ini melakukan tes menyeluruh dan ada laporan hasilnya? Jadi lebih mempercepat proses seleksi donor, Bu. Karena kami sangat selektif mengenai kondisi kesehatan pendonor." Suster Ami yang tampak kewalahan karena Marsa yang diinfus terus menangis itu memberi instruksi.

"Oh. Ada, Sus. Sekitar beberapa minggu yang lalu waktu saya mau melahirkan, saya dicek menyeluruh. Kebetulan saya bawa hasilnya. Ada di mobil," ucap Lisa sambil menatap ke arah Mario.

"Aku ambilin. Kamu di sini aja. Di tas yang mana?" Mario langsung sigap bergerak.

"Di tas kuning. Ada di jok depan. Tadi aku tinggal semua. Di dalam tasnya ada handphone sama dompetku, Mas. Bawa ke sini semua." Lisa memberi tahu.

Mario mengangguk lalu ia melesat pergi menuju tempat parkir mobilnya.

Tinggallah Suster Ami, Lisa, dan juga si bayi Marsa yang sedang menangis saja di ruangan ini.

Lisa yang baru kehilangan bayinya itu kini melihat Marsa dengan mata berkaca-kaca. Tak disangka kakak kandungnya yang sudah lama memutus akses komunikasi dengannya itu kini punya seorang bayi juga.

Dan bayi ini terlihat sakit dan juga lemah. Lisa merasa sangat terenyuh dan iba.

Tiba-tiba saja tangan Lisa sudah terulur ke depan. Ia ingin menggendong anak itu, yang kini masih menangis meraung-meraung entah kenapa. Namanya saja juga bayi.

"Biar saya gendong dan saya tenangkan, Sus. Boleh saya coba?" ucap Lisa ke arah Suster Ami tapi matanya tetap menatap lurus ke arah Marsa.

Suster Ami dengan sedikit ragu memberikan Marsa ke gendongan Lisa. Dan ajaibnya bayi itu langsung diam tangisnya. Lisa memeluknya sambil menangis.

Tangan mungil Marsa dibebat oleh selang infus. Ah, kasihan. Seharusnya tidak begini. Seharusnya bayi ini tumbuh dengan sehat.

Suster Ami merasa takjub juga. Sudah berjam-jam ia menenangkan Marsa yang menangis, tapi dengan sentuhan Lisa dalam sedetik saja bayi itu langsung tenang.

Suster Ami menjelaskan ulang tanpa ditanya soal bagaimana kondisi Marsa, kenapa dia bisa selemah ini, dan kenapa kondisinya tak stabil dan terus menurun, juga kenapa ia butuh donor. Lisa mendengarkan baik-baik sambil mengganggu angguk.

"Susah Bu mencari donor ASI. Apalagi untuk jangka panjang. Marsa butuh donor sampai setidaknya 6 bulan, hingga dia siap menerima makanan lain selain susu. Sampai pencernaannya siap," ucap Suster Ami.

"Semoga laporan tes kesehatan saya masih berlaku dan dianggap layak untuk menjadi donor ya, Sus. Air susu saya masih mengalir deras hingga sekarang. Bayi saya tidak minum lagi," ucap Lisa lirih sambil menimang-nimang Marsa yang kini sudah memejamkan mata dan bernapas dengan teratur.

Suster Ami langsung menoleh dengan bingung ke arah Lisa.

"Memang kenapa Bu bayinya? Kok nggak mau minum ASI? Aneh sekali." Suster Ami menyahut.

"Bayi saya meninggal kemarin." Lisa menjawab lirih.

"M--maaf, Bu. Saya tidak tahu." Suster Ami jadi tak enak hati.

***

Mario bernafas lega saat akhirnya dokter menyatakan Lisa layak menjadi donor. Hasil tesnya masih di bulan yang sama, jadi masih berlaku.

Lisa kini sudah di dalam bersama Suster Ami dan Marsa. Ia menunggu di luar karena untuk menjaga privasi Lisa.

Tak sia-sia ia berlari bagai orang kesetanan ke tempat parkir untuk mengambil dokumen hasil tes Lisa.

Nafas Mario masih tak beraturan karena habis berlari-lari tadi. Tas Lisa yang kini tinggal berisi handphone dan dompet itu masih ia pegang di tangannya.

Drttt drttt!

Saat sedang duduk di ruang tunggu, tiba-tiba getaran ponsel terasa oleh Mario. Mario meraba kantong kemejanya dan mengambil ponselnya yang ternyata tidak ada notifikasi apapun.

Mario mencari dari sumber suara hingga akhirnya ia menyadari kalau yang berbunyi adalah ponsel milik Lisa.

Diambilnya  benda pipih itu dari dalam tas Lisa. Ada sebuah panggilan dari kontak bernama Aryo.

"Aryo? Siapa Aryo? Suami Lisa?" Mario membatin dengan panik saat dilihatnya dari celah kaca itu Lisa masih sibuk bersama suster. Tak mungkin ia masuk begitu saja ke dalam.

Rasanya terlalu lancang untuk mengangkat panggilan dari ponsel yang bukan miliknya. Maka dari itu Mario memutuskan untuk mendiamkannya saja hingga panggilan itu terputus sendiri.

Diamatinya ponsel Lisa yang layarnya sudah retak-retak dan tampak sedikit rusak itu. Apa Lisa tidak punya uang hingga ponselnya serusak ini tapi ia tidak membeli yang baru? Mario membatin.

Tring!

Mario tiba-tiba dikejutkan oleh suara notifikasi ponsel Lisa lagi. Ada sebuah pesan masuk yang isinya tidak bisa ia baca dengan penuh, tapi ada cuplikan beberapa potong kata di layar yang menyala namun terkunci itu.

[[  "Kemana kamu? Kontrakan kamu kosong! Kabur kamu. Saya nggak mau tahu, bayar hutang kamu sekarang atau ..."  ]]

Isi pesan itu terputus. Tentu Mario tidak bisa membaca isi pesan selanjutnya karena ia harus membuka kunci ponsel dan itu tidak mungkin ia lakukan.

Mario tercekat. Lisa punya hutang?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status