"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkan ASI untuk anakku?"
Permintaan Mario membuat manik mata Lisa membesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasa takut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akan orang-orang sekitarnya katakan?
"Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?" tanya Lisa sembari menatap Mario nanar.
"Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yang dibutuhkan Marsa."
Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu, Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainya menemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan meminta bantuan dari adik iparnya sendiri.
"Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi, bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--"
"Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkan analisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekat mengingat kondisinya saat ini." potong Mario. Dia sudah benar-benar putus asa.
Lisa menatap Mario tak berkedip. Wanita itu melihat sendiri bagaimana sang kakak terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan, ketika Lisa berkali-kali mengucapkan permintaan maaf kepada kakaknya, wanita itu tidak terbangun dari komanya.
Seolah itu tidak cukup, Mario juga menjelaskan soal kondisi Marsa seperti yang diucapkan dokter. Dan akhirnya ia menunjukkan foto keadaan anak itu lewat ponselnya. Lisa menatap foto itu dan tak kuasa membendung air matanya.
Seorang bayi kecil dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Ah, malangnya. Naluri keibuannya bergejolak. Kondisi itu mengingatkannya pada kondisi bayinya sebelum meninggal.
"Saya tidak tahu kamu dendam sama kakak kamu atau tidak soal masa lalu kalian. Tapi Marsa butuh kamu. Dia butuh donor. Kamu punya semua. Bukannya tidak berempati pada kamu yang baru kehilangan bayi juga.
Tapi Marsa makin menurun kondisinya. Lis. Dan mencari donor ASI itu susah. Banyak persyaratannya. Walau butuh kata dokter aku tidak boleh menerima sembarang donor. Kamu tante kandung Marsa, Lis. Kalian masih berhubungan darah. Setidaknya kamu bisa mempertimbangkan ini." Mario tampak mengiba.
Lalu seketika air mata Lisa terjatuh. Ia menangis lebih hebat dibandingkan tadi saat menceritakan soal kematian bayinya. Pundaknya berguncang hebat.
Melihat adik iparnya yang kembali menangis, tepat saat itu juga Mario melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sebelumnya. Pria itu menggenggam tangan Lisa yang terasa dingin, menatapnya dengan dalam, berharap Lisa akan luluh dan bersedia untuk mendonorkan ASI-nya.
Sungguh tak ada maksud lain dari sentuhan tangannya ini. Ia hanya ingin meyakinkan Lisa. Tapi entah kenapa ada desiran aneh di hatinya.
"Lisa, please." Mario memohon sekali lagi.
"Entahlah, Mas. Aku takut kalau mbak Risa bangun, dia akan marah soal ini. Bukannya untuk donor ASI harus melalui persetujuan kedua orang tua bayi?" Lisa rupanya masih terbayang-bayang amarah kakaknya. Ia takut. Bagaimanapun ini bukan hal yang sepele. Apalagi menyangkut anaknya.
"Risa koma. Perwalian anak untuk semua tindakan medis itu atas persetujuanku. Aku yang tanggung." Mario makin meyakinkan.
Lisa masih diam saja. Tapi kini ia menyadari ada sesuatu yang hangat menggenggam tangannya.
Ah, tangan Mario.
Mario yang rupanya sadar juga itu akhirnya menarik tangannya. Lisa pun sama. Suasana jadi canggung.
Lisa tampak menarik nafas panjang. Bahunya menegang.
"Oke. Kita coba dulu, Mas. Pertemukan aku dengan keponakanku. Aku ingin melihat dia dulu." Lisa akhirnya meyakinkan dirinya sendiri.
Mario mengangguk. Setidaknya ada secercah harapan. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya menuju rumah sakit tempat Marsa dirawat.
***
Di sepanjang perjalanan, Lisa merasa sangat gugup.
Jujur saja walau Mario sudah meyakinkannya sedemikian rupa, ia takut kakaknya marah. Risa adalah orang yang paling ia takuti setelah kedua orang tuanya meninggal.
Ia tak mau dianggap lancang. Belum lagi ia takut Risa menyalah pahami hubungannya dengan Mario lagi. Risa posesif dan cemburuan.
Tapi bayang-bayang foto Marsa kecil yang lemah tak berdaya membuatnya terenyuh. Ia ingat bagaimana rasanya kehilangan bayi. Masih sakit rasanya mengingat bayinya yang tak tertolong.
Bukankah hal baik jika ia menolong keponakannya sendiri? Ah, hatinya masih gundah padahal mereka sudah setengah perjalanan.
"Suster mengabari tadi pagi kalau Marsa sudah tidak kesulitan nafas. Oksigen dicabut, tapi dia masih pakai infus khusus. Kalau dibandingkan kemarin sudah jauh lebih baik. Tapi aku nggak mau bawa dia pulang sebelum semua normal.
Marsa sering mengalami gejala mendadak. Pengasuh yang aku ambil dari yayasan ikut panik. Dia kan bukan perawat atau dokter. Mau bertindak bagaimana-bagaimana juga di takut disalahkan, Lis. Makannya kupikir Marsa di rumah sakit saja sementara ini." Sambil menyetir Mario menjelaskan.
Mario tentu sambil mencuri-curi pandang ke arah Lisa. Sejujurnya ia ingin tahu juga kenapa bayi Lisa meninggal. Tapi rasanya tak pantas menanyakannya sekarang.
Ah, sabar. Tunggu sampai Lisa cerita sendiri. Adik iparnya ini rupanya terlalu banyak menyimpan rahasia semenjak pergi dari rumah sekitar setahun yang lalu.
"Kita sudah sampai. Kamu siap? Ayo turun." Mario tahu-tahu membuyarkan lamunan Lisa.
Lisa mengangguk lalu turun dari mobil dengan tegang dan bingung. Perasaannya masih gamang. Tas kecil berisi dokumen rumah sakit, tas, dan ponselnya itu ia tinggal di mobil.
Ia tak tahu saja. Ketika ia melangkah pergi, ponselnya itu bergetar dan menyala. Seseorang menghubunginya.
"Aryo memanggil."
Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu. Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil. '3 panggilan tak terjawab dari Aryo.' Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah. Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah. Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat. "Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..." "Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami. Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu den
Potongan pesan di ponsel Lisa itu sungguh mengganggu perasaan Mario. Adik iparnya itu ternyata punya utang? Nasib apa yang sebenarnya Lisa tanggung setahun belakangan ini? Apa hidupnya menderita di luar sana? Mario menarik nafas panjang. Alisnya berkerut dan tangannya jadi gemetar. Bisa ingat bagaimana ia sudah mencoba memperjuangkan Lisa agar hubungan persaudaraannya dengan Risa alias istrinya tidak terputus begitu saja. Walaupun dijelaskan bagaimanapun juga kalau semuanya salah paham, tapi Risa tak peduli. Mungkin sudah lelah dengan adiknya karena merasa dikhianati. Jadilah Risa tak pernah mencari Lisa. Risa tak peduli kemana adiknya itu pergi. Bahkan semua akses untuk menghubunginya diblokir sepihak oleh Risa. Tring! Satu pesan masuk lagi ke notifikasi ponsel itu, membuat layarnya berkedip-kedip. Mario menoleh ke belakang, ke arah celah kaca di pintu tertutup itu. Ia lihat Lisa masih sibuk dengan suster. Ah, aman. Mario dengan jiwa detektifnya langsung menggerakkan tangann
Di dalam mobilnya, Mario membisu. Banyak sekali yang ingin Mario tanyakan. Isi kepalanya berkecamuk, tapi mulutnya terkunci. "Sini aja, Mas. Mobilnya nggak bisa masuk lebih ke dalam lagi. Aku jalan kaki aja." Lisa menunjuk ke arah ruko tutup dengan halaman agak luas untuk parkir mobil atau sekedar putar balik. Mario mengangguk. Sambil mencari posisi parkir yang enak, ia terus memutar isi otaknya. Merangkai percakapan imajiner di kepala dengan Lisa. Bagaimana cara mengulik Lisa yang tertutup begini. Mobil sudah berhenti, Mario sudah mematikan mesin mobilnya. Lisa juga sudah mulai melepas sabuk pengamannya, tanda ia akan segera turun. Gawat! Ia harus segera bertindak! Mario lalu ikut cepat-cepat melepas sabuk pengamannya juga dan dengan spontan ia menahan tangan Lisa yang sudah bergerak hendak membuka pintu. "Lisa, tunggu!" Mario bicara lalu segera melepas tangannya dari lengan Lisa. Lisa menoleh. Ia tak berkata satu patah kata pun, tapi dari ekspresi wajahnya ia tampak seolah me
Lisa pucat pasi. Ia tak tahu kalau sejak tadi Aryo menunggunya. "Jawab! Kenapa telponku nggak diangkat. Kamu mau kabur? Ingat perjanjian kita. KTP kamu masih aku bawa. Aku juga punya foto terlarangmu. Mau semua aku sebar?" Aryo mengancam dengan membabi buta. Mungkin karena pengaruh minuman memabukkan itu juga yang membuat emosinya makin naik. Lisa merasa terpojok. Ia yang dari tadi sibuk menangis itu mendadak mengering air matanya. "Aryo, tenang dulu. Ponselku mati. Aku habis dari rumah sakit ngurusin dokumen kematian bayiku. Please kamu lebih ngertiin aku, Yo. Dulu janjinya kan dua bulan setelah selesai melahirkan aku akan siap nebus hutang." Lisa mencoba bernegosiasi. Aryo adalah pria paling menjengkelkan dan manipulatif yang pernah Lisa kenal. Tapi mau bagaimana. Lisa mau tak mau berurusan dengannya karena butuh. Karena ia tidak tahu lagi mau berhutang ke siapa. Aryo yang berdiri dengan sempoyongan itu akhirnya kembali duduk di sofa rusak. Ia tertawa dengan sengau. "Dua bulan
"Biar aku pergi menyusul bayiku. Biar hidupku berakhir dengan tragis. Masa laluku terlalu gelap dan aku tak pantas lagi menjadi seorang ibu. Biar! Biar hidupku berakhir di tangan Aryo! Biar!" Lisa memejamkan mata sambil meratap dalam hati. Lisa merasa pikirannya kosong. Kepalanya hening. Ia sudah memasrahkan hidupnya yang kelam dan menyedihkan ini pada nasib. Lisa bahkan lupa kalau sekarang ada bayi kecil yang membutuhkan dirinya. Membutuhkan cairan berharga dalam tubuhnya untuk bertahan hidup. Marsa. Ya, Marsa membutuhkannya. Tapi Lisa terlalu lelah menanggung banyak hal setahun ini. Marsa yang baru ia ketahui keberadaannya dan ia gendong hari ini ternyata belum cukup membuatnya bertahan atau melawan. Lisa justru makin pasrah dan menyerah. Pyar! Pot semen berukuran sedang yang berisi bunga mawar peninggalan penghuni lama kontrakan itu hancur di lantai. Tanahnya berhamburan. Lisa mendengar suara itu tapi anehnya kepalanya tidak terasa sakit. Kenapa ini? Apa Sang Pemilik Kehidup
Mario menyangka Aryo suaminya. Ah, apa ia iyakan saja. Toh tadi ia sudah berakting dan menyebut Aryo dengan panggilan Mas. Lisa mulai berpikir. Ya, biarlah begini. Kalau Mario menyangka Aryo adalah suaminya, maka ia tak perlu mengarang cerita dan menjelaskan soal suaminya yang sebenarnya tak ia punya. Masak ia akan menceritakan soal Bisma yang kabur setelah menghamilinya? Jangan! Mario tak boleh tahu. Biar begini saja. Biar Mario percaya pada sangkaannya sendiri. Aryo itu suaminya. "Y--ya. Dia suamiku. Udahlah, Mas. Kamu cuma datang di saat yang salah dan mengira dia jahat. Kami cuma bertengkar biasa karena sama-sama sedih habis kehilangan bayi. Biasanya juga begini, kok. Besok juga baikan." Lisa mencari-cari alasan. Mukanya ia atur supaya kelihatan santai dan tampak tak berhohong. Mario menatap wajah gadis yang sempat ditaksirnya dulu itu dengan tatapan menyerah. Oke, Lisa tak apa-apa walau beberapa menit yang lalu suaminya hampir memukul kepalanya dengan pot semen. Oke! Ini buka
Lisa memejamkan mata. Suara dengkuran Aryo masih menjadi suara latar belakang di kepalanya. Ia mencoba untuk menghiraukan itu. Lisa mencoba mengingat kemanakah tas itu seharian ini selain ia bawa ke rumah sakit. Ah, tas itu kan sempat berada di mobil Mario dan Mario sempat mengambilnya karena ia sendiri yang memintanya ketika hendak mengurus dokumen donor untuk Marsa. "Hah! Pasti Mas Mario yang menaruh uang ini!" Lisa tersadar. Ia lalu mengeluarkan semua uang itu, termasuk uang yang sebelumnya memang sudah berada di dompetnya. Sungguh kontras. Uang berwarna merah dan terlihat mulus karena baru keluar dari bank itu ia tumpuk tinggi. Dan uang miliknya tampak lusuh ia sandingkan di sampingnya. Jelas uang itu lusuh karena uang pecahan kecil biasanya sudah terpegang dari tangan ke tangan. Lisa menelan ludahnya dan menutup mulutnya dengan tangan. Perhatiannya lalu kembali ke arah ponselnya. Ia tidak sempat membuka benda itu dari tadi dan benda itu ada di tas yang sama dengan dompetnya
Aryo mengguncang-guncang tubuh Lisa sambil memasang wajah kesal. Lisa menggosok-gosok matanya dan menata rambutnya sekenanya dengan pita rambut di sampingnya. Ia mencoba untuk tetap tenang. Menghadapi Aryo ini cukup tricky sebenarnya. Aryo tampak baru saja mencuci muka. Wajahnya terlihat segar. Pasti efek minuman memabukkan itu sudah hilang sepenuhnya dari tubuhnya. Jadi sekarang waktunya mengetes apakah ia ingat apa saja yang terjadi semalam. "Aku lapar, Lis." Aryo menggaruk-garuk perutnya. "Nggak ada makanan di sini, Aryo. Kamu nggak nanya kenapa kamu bisa tidur di sini? Kamu nggak ingat malam tadi kamu ngapain aja?" Lisa mulai mencoba meraba keadaan. Sungguh ia berharap Aryo lupa seperti biasanya. Aryo menggaruk-garuk kepalanya. Pria bertato itu tidak terlalu kelihatan semenyeramkan semalam kalau keadaanya sedang normal. Mabuk membuatnya berubah menjadi monster. Lisa pun pada awalnya mengenal Aryo dengan baik dari Bisma. Bisma dan Aryo berteman dulu, setidaknya sampai Bisma k