Share

6. Jawaban Lisa

"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkan ASI untuk anakku?"

Permintaan Mario membuat manik mata Lisa membesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasa takut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akan orang-orang sekitarnya katakan?

"Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?" tanya Lisa sembari menatap Mario nanar.

"Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yang dibutuhkan Marsa." 

Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu, Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainya menemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan meminta bantuan dari adik iparnya sendiri. 

"Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi, bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--"

"Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkan analisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekat mengingat kondisinya saat ini." potong Mario. Dia sudah benar-benar putus asa.

Lisa menatap Mario tak berkedip. Wanita itu melihat sendiri bagaimana sang kakak terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan, ketika Lisa berkali-kali mengucapkan permintaan maaf kepada kakaknya, wanita itu tidak terbangun dari komanya.

Seolah itu tidak cukup, Mario juga menjelaskan soal kondisi Marsa seperti yang diucapkan dokter. Dan akhirnya ia menunjukkan foto keadaan anak itu lewat ponselnya. Lisa menatap foto itu dan tak kuasa membendung air matanya.

Seorang bayi kecil dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Ah, malangnya. Naluri keibuannya bergejolak. Kondisi itu mengingatkannya pada kondisi bayinya sebelum meninggal.

"Saya tidak tahu kamu dendam sama kakak kamu atau tidak soal masa lalu kalian. Tapi Marsa butuh kamu. Dia butuh donor. Kamu punya semua. Bukannya tidak berempati pada kamu yang baru kehilangan bayi juga.

Tapi Marsa makin menurun kondisinya. Lis. Dan mencari donor ASI itu susah. Banyak persyaratannya. Walau butuh kata dokter aku tidak boleh menerima sembarang donor. Kamu tante kandung Marsa, Lis. Kalian masih berhubungan darah. Setidaknya kamu bisa mempertimbangkan ini." Mario tampak mengiba.

Lalu seketika air mata Lisa terjatuh. Ia menangis lebih hebat dibandingkan tadi saat menceritakan soal kematian bayinya. Pundaknya berguncang hebat.

Melihat adik iparnya yang kembali menangis, tepat saat itu juga Mario melakukan hal yang seharusnya dia lakukan sebelumnya. Pria itu menggenggam tangan Lisa yang terasa dingin, menatapnya dengan dalam, berharap Lisa akan luluh dan bersedia untuk mendonorkan ASI-nya.

Sungguh tak ada maksud lain dari sentuhan tangannya ini. Ia hanya ingin meyakinkan Lisa. Tapi entah kenapa ada desiran aneh di hatinya.

"Lisa, please." Mario memohon sekali lagi.

"Entahlah, Mas. Aku takut kalau mbak Risa bangun, dia akan marah soal ini. Bukannya untuk donor ASI harus melalui persetujuan kedua orang tua bayi?" Lisa rupanya masih terbayang-bayang amarah kakaknya. Ia takut. Bagaimanapun ini bukan hal yang sepele. Apalagi menyangkut anaknya.

"Risa koma. Perwalian anak untuk semua tindakan medis itu atas persetujuanku. Aku yang tanggung." Mario makin meyakinkan.

Lisa masih diam saja. Tapi kini ia menyadari ada sesuatu yang hangat menggenggam tangannya.

Ah, tangan Mario.

Mario yang rupanya sadar juga itu akhirnya menarik tangannya. Lisa pun sama. Suasana jadi canggung.

Lisa tampak menarik nafas panjang. Bahunya menegang.

"Oke. Kita coba dulu, Mas. Pertemukan aku dengan keponakanku. Aku ingin melihat dia dulu." Lisa akhirnya meyakinkan dirinya sendiri.

Mario mengangguk. Setidaknya ada secercah harapan. Ia kembali menyalakan mesin mobilnya menuju rumah sakit tempat Marsa dirawat.

 

***

Di sepanjang perjalanan, Lisa merasa sangat gugup.

Jujur saja walau Mario sudah meyakinkannya sedemikian rupa, ia takut kakaknya marah. Risa adalah orang yang paling ia takuti setelah kedua orang tuanya meninggal.

Ia tak mau dianggap lancang. Belum lagi ia takut Risa menyalah pahami hubungannya dengan Mario lagi. Risa posesif dan cemburuan.

Tapi bayang-bayang foto Marsa kecil yang lemah tak berdaya membuatnya terenyuh. Ia ingat bagaimana rasanya kehilangan bayi. Masih sakit rasanya mengingat bayinya yang tak tertolong.

Bukankah hal baik jika ia menolong keponakannya sendiri? Ah, hatinya masih gundah padahal mereka sudah setengah perjalanan.

"Suster mengabari tadi pagi kalau Marsa sudah tidak kesulitan nafas. Oksigen dicabut, tapi dia masih pakai infus khusus. Kalau dibandingkan kemarin sudah jauh lebih baik. Tapi aku nggak mau bawa dia pulang sebelum semua normal.

Marsa sering mengalami gejala mendadak. Pengasuh yang aku ambil dari yayasan ikut panik. Dia kan bukan perawat atau dokter. Mau bertindak bagaimana-bagaimana juga di takut disalahkan, Lis. Makannya kupikir Marsa di rumah sakit saja sementara ini." Sambil menyetir Mario menjelaskan.

Mario tentu sambil mencuri-curi pandang ke arah Lisa. Sejujurnya ia ingin tahu juga kenapa bayi Lisa meninggal. Tapi rasanya tak pantas menanyakannya sekarang.

Ah, sabar. Tunggu sampai Lisa cerita sendiri. Adik iparnya ini rupanya terlalu banyak menyimpan rahasia semenjak pergi dari rumah sekitar setahun yang lalu.

"Kita sudah sampai. Kamu siap? Ayo turun." Mario tahu-tahu membuyarkan lamunan Lisa.

Lisa mengangguk lalu turun dari mobil dengan tegang dan bingung. Perasaannya masih gamang. Tas kecil berisi dokumen rumah sakit, tas, dan ponselnya itu ia tinggal di mobil.

Ia tak tahu saja. Ketika ia melangkah pergi, ponselnya itu bergetar dan menyala. Seseorang menghubunginya.

"Aryo memanggil."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status