Share

4. Membutuhkan Donor ASI

"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar. 

"Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras.

"Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah. 

"Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.

Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soal perbaikan jalan tol.

"Daniel, awas!" 

Duar!

Bugh!

Daniel menunduk sedih mengingat momen kecelakaan itu. Perasaan bersalah menyergapnya. Ia hanya punya luka ringan di dahi dan paha karena pecahan kaca. Paling parah hanya patah di bagian lengan. Sekarang gerakan tangan kirinya agak terbatas karena gips, tapi dokter bilang ia bisa pulih nanti. 

Sedangkan Risa ...

Ah, dia tidak bangun lagi semenjak malam itu. Ada syaraf yang terjepit dan cedera berat di bagian kepala. Entah penjelasan dokter begitu rumit mengenai gejala medis itu.

***

"Daniel? Daniel? Kamu melamun? Atau masih pusing?" tanya Mario sembari melambaikan tangannya di depan wajah Daniel. Sejak tadi, pria itu sudah mengajak Daniel bicara tapi tidak mendapatkan balasan darinya.

Suara milik Mario berhasil menyadarkan Daniel dari lamunannya. Wajahnya tampak gugup. Ia memegangi kepalanya yang masih diperban sambil meringis. "Oh, maaf. Maaf. Saya tidak fokus. Tadi bilang apa?" 

"Oh, saya cuma nanya apa mungkin kamu punya kerabat atau saudara yang sedang menyusui? Marsa butuh donor ASI," ucap Mario dengan wajah sedih.

"Hah? Apa? Bagaimana?" Daniel tampak bingung. Mendengar informasi soal Marsa yang merupakan anak kandungnya sendiri itu membuatnya antusias.

"Iya. Marsa ada alergi susu formula. Ada intoleransi laktosa yang memicu reaksi alergi parah. Anafilaksis atau apa begitu kata dokter. Istilah medisnya rumit. Sedang dicari alternatif lain tapi dia malah diare parah. 

Sudah beberapa hari ini berlangsung. Saya cemas. Awalnya dia minum ASI, kan. Tapi semenjak Risa koma, stok ASI yang dia tampung kalau-kalau ditinggal ke kantor habis. Padahal Risa cukup rajin dulu mengumpulkan stok karena ingin cepat kembali ke kantor.

Risa bilang ada projek penting yang harus dia sendiri yang menangani. Benar, kan? Padahal saya sudah bilang untuk cuti full. Tapi kamu tahu sendiri betapa ambisiusnya Risa dengan karirnya. Itulah kenapa kemarin saya izinkan waktu dia bilang mau ke luar kota sehari buat cek proyek." Mario makin murung menjelaskan kondisi bayinya.

Daniel merasakan gelombang panik itu ikut menyerangnya. Marsa sakit? Butuh donor ASI? Tapi semudah itukah mendapatkannya?

Daniel mencoba mengingat siapa kerabatnya atau temannya atau anak buahnya di kantor yang sedang menyusui juga. Ah, tidak ada.

"Kata dokter harus donor ASI?" Daniel bertanya lagi.

Mario mengangguk. Ia tampak sedih. Disandarkannya punggungnya pada sandaran kursi tempat mereka duduk itu.

"Ya, kalau keadaannya tidak membaik. Dia di ruang rawat bayi. Diawasi dan dipantau khusus oleh tim dokter. Mereka bilang ada beberapa kasus serupa tapi dampaknya tidak separah Marsa.

Anak itu diare hebat. Ada bengkak di sekitar bibir dan mengalami susah nafas beberapa kali. Hampir copot jantungku waktu tahu responnya begitu saat pengasuhnya memberi susu non ASI.

Semenjak itu dia di rumah sakit terus. Berat badannya makin menyusut. Tiap ponselku bunyi jantungku mau lepas. Takut ada kabar buruk dari rumah sakit ini atau rumah sakit khusus anak tempat Marsa dirawat." Mario berkata pelan.

Daniel makin merasa bersalah. Tidak mungkin ia mengatakan rahasianya di momen ini. Mario bisa sangat terpukul dan menonjoknya. Atau mungkin sekalian memenjarakannya karena kasus perselingkuhan. Ya walaupun dalam hal ini Risa ikut kena imbas laporan juga.

Tapi namanya orang gelap mata dan marah siapa yang tahu. Selama ini Mario kan tahunya rumah tangganya baik-baik saja. Risa istrinya yang setia berkarir dengan sibuk tapi tetap menjadi istri yang sempurna di matanya.

"Saya carikan. Saya bantu carikan pendonor ASI." Daniel tampak langsung berdiri dari duduknya. Ia tak sanggup bertahan lebih lama lagi di percakapan ini. 

Mario adalah pria yang terlalu baik. Dan Daniel merasa tak bisa jujur di hadapan pria itu. Daniel merasa jahat. Sangat jahat. Tapi mau bagaimana? Kesalahan malam itu membuat situasi ini begitu rumit.

Mario tampak tersenyum dan mengangguk ke arah Daniel. Ia kelihatan begitu bersyukur Daniel punya niat baik untuk membantunya.

***

"Maaf, Sus. Jadi kotor dan basah," ucap Lisa sambil menyerahkan kembali jubah khusus pembesuk pasien itu ke arah sang perawat. Wajahnya kelihatan tak enak hati.

Mario yang menjemputnya tak sengaja menguping percakapan itu.

"Oh, nggak papa, Mbak. Nanti juga dibuang, kok. Memang hanya sekali pakai agar steril karena di dalam itu pasien khusus. Oh, ya. Mbak sedang menyusui, ya?" Sang perawat tampak mengajak mengobrol.

Lisa sedang melepas alas kaki khusus di kakinya. Ia tersenyum sambil mengangguk ke arah perawat itu.

"Beruntung sekali air susunya melimpah. Dulu saya sempat jaga di rumah sakit ibu dan anak. Banyak ibu yang terpaksa tidak bisa menyusu bayinya karena ASI-nya tidak mau keluar.

Oh, ya. Mbak lupa bawa breastpad ya? Mau saya mintakan ke teman saya di nurse station? Biar nggak rembes ke baju." Sang perawat rupanya sangat ramah.

Lisa menyerahkan alas kaki khusus itu. "Rembes karena tidak diminum, Sus. Anak saya meninggal kemarin. Sakit dan nyeri rasanya." 

Kata-kata itu lirih tapi terdengar oleh Mario di yang sedang duduk menunggu. Lisa tidak tahu kalau pria itu duduk di sana. Jadi ia tidak malu untuk membicarakan masalah macam ini pada sang perawat.

"Astaga. Maaf, Mbak. Ya ampun. Maaf sekali lagi. Baiknya dipompa biar tidak ada pembengkakan. Yang sabar ya, Mbak." Wajah sang suster langsung merasa bersalah.

Dalam keadaan begini Lisa masih bisa tersenyum dan menjawab tidak apa-apa. 

Ia pamit pada sang perawat dan terkejut begitu mendapati Mario yang ternyata sudah duduk di depan. Posisinya tadi terhalang partisi ruangan. Ia terlihat salah tingkah karena menyadari pasti Mario mendengar percakapannya dengan perawat itu.

"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin..."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status