Amira, gadis belasan tahun itu terlihat turun dari motor yang mengantarkannya ke tempat dingin ini. Memandangi rumah dengan bentuk lama tapi indah dan terawat dengan cahaya lampu yang terang.
Malam yang pekat tidak mengurangi keindahan rumah ini, yang mereka bilang sebagai Villa, itu yang didengar Amira. Entah untuk apa dia dibawa ke tempat ini, ternyata bukan Koh Abun yang ingin memakai jasanya, tetapi sepertinya orang yang ada di Villa ini.
"Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."
"Baik, Bang," jawab pelan Amira.
Pria muda yang bersamanya segera masuk ke dalam vila tersebut, dan tidak beberapa lama keluar lagi bersama lelaki paruh baya yang sepertinya penunggu rumah villa ini.
"Kamu ikut Bapak ini. Setelah urusanmu selesai, tunggu saja di depan teras, nanti kujemput lagi," ucap pria muda itu mengingatkan.
Amira mengangguk, dan mulai mengikuti bapak tua itu masuk kedalam villa, dan si pria muda tersebut langsung berlalu dengan motornya.
"Duduk dulu, Neng!" ujar si bapak, setelah mereka berada di ruang tamu, dan dia langsung masuk ke ruangan dalam, kemudian langsung keluar rumah dan menutup pintu dari luar tanpa berbicara lagi kepada Amira.
Sendiri di ruang tamu yang lumayan luas, dengan map biru berada dipangkuan. Amira resah, gelisah ... apa yang akan terjadi dengan nasib dia selanjutnya. Apakah hanya akan berubah pemangsa saja? Terlepas sementara dari mulut Singa dan Srigala malah menjadi santapan Buaya. Amira hanya bisa berpasrah kepada pelindung takdir hidup.
Amira percaya, jika Sang Pelindung itu ada. Yang mengatur dan merencanakan hidup kedepannya. Tidak terlihat tetapi Dia yang mengatur semua.
kadang-kadang, mungkin karena keceplosan ataupun lelah dengan hidup yang dijalaninya. Tante banci pun suka bercerita tentang Tuhan, walaupun saat menyadarinya dia tidak mau lagi membahas tentang itu, tetapi dia selalu menggambarkan tentang sosok Tuhan yang dia ceritakan kepada Amira dan penghuni lainnya.
"Kamu siapa?"
suara berat bertanya kepada Amira. Sedikit mengagetkan buatnya di tengah-tengah lamunan tadi. Cepat Amira menoleh dan menatap mata pemilik suara berat tersebut. Seorang pria paruh baya bertubuh tegap dan entahlah, ada kesan kewibawaan dalam dirinya. Menatap Amira dalam dengan wajah bersihnya yang memancarkan cahaya ketenangan dan pesona yang terpancar.
Ada rasa nyaman merambat dalam diri Amira. Semoga apa yang terlihat dan terasa adalah bukan tipuan belaka. Harap hati gadis muda itu.
"Sa--saya, Amira, Tuan," jawab Amira sedikit terbata.
"Ada urusan apa kamu menemui saya?" selidiknya, sembari tetap melihat Amira dalam, dan gadis muda itu tertunduk, tidak mampu lagi melihat tatap mata pria gagah tersebut.
"Sa-saya, tidak tahu, Tuan," jawab Amira, pandangannya tetap menunduk dalam.
"Ko bisa, kamu sendiri tidak tahu lalu tiba-tiba ada di tempat penginapan saya?" Pertanyaannya masih tentang keberadaan Amira di villa miliknya.
"Saya hanya disuruh, Tuan. Tanpa saya tahu apa tujuannya."
Pria itu mendekati, dan duduk pas di bangku mebel depan Amira yang hanya terhalang oleh sebuah meja kayu berwarna coklat tua.
"Yang Kamu bawa itu apa?" tanyanya kembali.
"Entahlah Tuan, saya benar-benar tidak tahu."
"Coba Kamu berikan pada saya," ucapnya sambil menyodorkan tangannya ke arah Amira, meminta map biru yang sedari tadi ada di pangkuannya.
Amira memberikan map berisi dokumen tersebut, sembari memberanikan diri menatap ke arah lawan bicaranya.
Dibuka-bukanya map itu sebentar oleh pria tersebut, dan pria paruh baya itu lantas berkata, "Hmm ... benar ternyata."
Diletakkan map yang dibawa Amira tersebut di atas meja. Sesaat pria itu terdiam, sembari matanya tetap memperhatikan Amira dalam.
"Siapa Kamu sebenarnya? Apakah kamu semacam kado atau upeti yang diberikan untuk saya?" Terus saja mencecar Amira dengan banyak pertanyaan.
"Upeti itu apa, Tuan?" tanya Amira, karena memang tidak tahu maknanya.
"Sudahlah, jika kamu tidak tahu, tidak apa-apa." Dia seperti malas untuk menjelaskan.
Pria paruh baya itu lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam, tidak beberapa lama Ia keluar lagi dengan membawa dua gelas minuman.
"Minum dulu teh manis hangat ini, badanmu menggigil kedinginan," ujarnya sambil terus menatap tajam.
"Terima kasih, Tuan." Segera Amira mengambil gelas itu dan meminumnya perlahan. Pria dewasa ini memang benar, tubuh Amira menggigil kedinginan.
"Berapa usiamu?" tanyanya lagi.
"Jalan 14 tahun, Tuan."
"Kamu tahu, kenapa kamu disuruh menemui saya di sini, dan untuk apa?"
Amira terdiam, kembali menunduk, walaupun dia tahu tujuannya menemui pria ini, tetapi gadis itu tidak punya keberanian untuk menjelaskan.
"Kamu tahu, jika tubuhmu sengaja di serahkan untuk saya?" Ada penekanan pada ucapannya. Amira tetap tertunduk diam.
"Kamu suka rela menyerahkannya?"
Amira berusaha mengendalikan debar di dada, menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri memulai bicara.
"Itu bukan inginku, Tuan," jawab Amira, sesaat memberanikan diri melihat ke arah pria tersebut.
"Sedari kecil, aku tidak punya hak untuk menentukan hidupku sendiri. Semua sudah ditentukan oleh orang yang mengasuhku."
"Maksudnya?" tanyanya lagi, sambil meminum tehnya, tetapi tatap matanya tidak lepas ke arah Amira.
"Dari bayi, aku dan beberapa kawan yang lain, sengaja diasuh hanya untuk dijual keperawanannya, Tuan," jawab Amira terus terang. Air mata mulai mengembang di netranya.
Pria paruh baya yang tampan itu terlihat kaget mendengar penjelasan Amira, menarik napas panjang, dan mulai menyandarkan tubuhnya di kursi empuk.
"Siapa, namamu?" tanyanya, terus menatap lekat.
"Amira, Tuan, nama saya Amira."
"Amira. Nama yang bagus, tidak pasaran. Kamu sudah Makan?""Be--belum, Tuan," jawab Amira terbata. "Hanya makan sedikit jagung bakar tadi di jalan.""Kamu mau makan apa?" tawarnya, kepada Amira. Raut wajahnya terlihat khawatir."Apa saja, Tuan." Sembari Amira mendekap tubuhnya, melawan rasa dingin yang menerkam, hingga terasa sampai ke tulang.Pria itu memainkan hapenya, bertelpon sebentar, lalu berdiri dan masuk ke ruangan dalam. Kembali mendekati Amira dengan membawa selimut tebal di tangannya."Pakai ini, untuk menghangatkan tubuhmu." Sambil memberikan selimut. Sekilas tersenyum tipis."Terima kasih, Tuan." Pria itu kembali duduk di tempat semula, dan kembali bertanya."Kamu dibayar berapa, untuk melakukan pekerjaan ini?" Ada rasa sakit yang menikam ke dalam hati Amira, saat pria dewasa itu bertanya dengan santainya, tanpa berpikir lagi apakah pertanyaannya menyinggung Amira atau tidak. "Ini bukan pekerjaan, Tuan. Saya pun tidak mau melakukan pekerjaan hina ini." Terdiam Amira, a
Amira kembali memandangi wajah polosnya pada cermin. Gambar diri sebenarnya, bersih tanpa make-up, warna-warni kepalsuan yang menempel pada kulit wajah. Terus saja memandangi. Perlahan, pikirannya mulai kembali ke masa lalu hingga dia bisa berada di Villa ini. Flashback [ POV AMIRA ]Aku, Amira--gadis kecil berusia 14 tahun, korban dari mafia perdagangan anak. Menurut desas-desus, aku terjual saat masih bayi pada Mami Merry--seorang muncikari penyedia khusus perempuan muda di bawah usia dua puluh dua tahun.Aku terpenjara dalam asuhan Mami Merry. Sama seperti lima gadis kecil lainnya. Sengaja diasuh untuk dijadikan pemuas nafsu lelaki berduit.Di bawah pantauan mami Merry, tidak ada tenaga yang terbuang. Mencuci, memasak, dan segala pekerjaan rumah adalah tugas yang tak boleh dibantah. Kami adalah budak. Patuh pada perintah adalah keharusan mutlak.Keperawanan kami adalah harta berharganya. Puluhan juta, bahkan sampai di atas seratus juta--harga yang Mami Merry tawarkan kepada para p
Aku benar-benar dibuat sedih, bingung sekaligus panik, dengan kedatangan haid pertamaku.Rasa ketakutan, jika keperawananku akan di jual dan harus melayani kepuasan sang pemenang tender atas tubuhku, menimbulkan rasa ketakutan yang teramat sangat."Apa yang harus kulakukan?" menyerah perlahan pada keadaan, atau menyembunyikan kehaid'anku secara diam-diam.Aku menoleh ke kiri dan kanan. Memperhatikan sekitar tempatku menjemur pakaian, di lantai paling atas tempat penyekapan kami. Sepi tidak ada siapapun,cepat-cepat kubersihkan darah haid, menyembunyikan pakaian bekas kupakai membersihkan darah, dan mengambil sebuah kaus t-shirt untuk menyembunyikan darah haidku. Entah milik siapa. Ijin keluar membeli pembalut pasti tidaklah mungkin, melihat ketatnya pengawasan keluar masuk yang di jaga 24 jam oleh tukang pukul Mami Merry. Bahkan untuk membeli camilan atau minuman ringan di warung dekat tempat kami diasuh pun, diawasi sangat ketat.Satu-satunya cara adalah, jika di antara senior mend
Tante Banci baru saja selesai mendandani, kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin."Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati. Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini belum sesuai dengan umurku, tidak pantas rasanya berdandan seperti ini. Jujur ... hati ini menolak.Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi, melihatku dengan pandangan sedih."Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku. Kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini."Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah."Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini."Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."Asmah
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti."Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry."Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.Sedan mewah yang
Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topengberpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembut
Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. "Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa."Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira."Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya."Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat