Tante Banci baru saja selesai mendandani, kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin.
"Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati.
Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini belum sesuai dengan umurku, tidak pantas rasanya berdandan seperti ini. Jujur ... hati ini menolak.
Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi, melihatku dengan pandangan sedih.
"Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya.
"Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku. Kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini.
"Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."
Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah.
"Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini.
"Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."
Asmah lalu keluar meninggalkan kamar, cepat-cepat kusembunyikan uang pemberian Asmah kedalam pakaian dalam dan mengusap genangan air mata yang hampir saja luruh.
Teringat masa kecilku di rumah penampungan milik Mami Merry ini. Tante Banci yang mendidik kami, mengajarkan tentang segala hal termasuk membaca dan menulis, sedang Mami Merry adalah monsternya.
Menghukum dan menghajar dengan caranya. Bahkan mengurung kami kedalam satu kamar kecil bila di anggap terlalu nakal, dan tidak diberikan makan selama dikurung di sana.
"Amira! Ayo berangkat. Pemenang tendermu sudah menunggu." Mami Merry sudah berada di depan pintu kamar, memerintahkan untuk segera bersiap.
Aku melangkah perlahan menuju pintu keluar kamar, Mami Merry menahanku sesaat."Ingat, Amira? Kamu sudah dibayar mahal untuk ini. Berikan pelayanan yang terbaik, jangan permalukan aku di depan klien!" ucapnya tegas.
Aku hanya mengangguk pelan. Monster besar ini selalu terlihat menakutkan, kami semua takut padanya."Anak pintar," ujarnya. "Handphone terbaru dan uang sepuluh juta akan segera jadi milikmu, jika Kamu tidak mengecewakan klienku." Di cengkamnya keras kedua bahuku.
Tante banci dan kedua bodyguard Mami Merry sudah menunggu di dalam mobil, mobil yang akan membawaku ketempat takdir yang baru, takdir yang harus kujalani nanti. Sampai di posisi ini, hanya pasrah yang bisa kulakukan.
"Tuhan ... aku tidak pernah mengenalMu, tetapi jika benar Kau memang ada, maka tolonglah aku," bisikku, lirih dalam hati.
Mobil yang membawaku meluncur ketengah pusat kota, gemerlap lampu-lampu jalan dan tingginya gedung-gedung megah, cukup mengagetkan dan membuat terpesona, karena selain di rumah penyekapan, aku tidak pernah pergi kemanapun.
Sepanjang perjalanan, tidak henti-hentinya Tante Banci mengingatkan tentang ilmu-ilmu maksiat yang pernah diajarkannya, membuat dua bodyguard yang mengawal kami terkadang tertawa terbahak-bahak.
Aku terus berdoa kepada Tuhan yang tidak pernah kukenal, tetapi entahlah ... hatiku meyakini jika Dia memang ada.Sampailah kami di tempat parkir sebuah restoran cepat saji, mobil yang membawaku di parkirkan di situ dan tante banci mencoba menghubungi seseorang dengan gawai yang dibawanya.
"Om, eike sudah di tempat yang om bilang nih."
Entahlah, apa isi percakapan mereka, hanya suara Tante Yusnia saja yang terdengar.
Satu bodyguard turun dari mobil, sedangkan yang satunya lagi tetap di belakang kemudi.
Tidak lama kemudian sebuah mobil sedan mewah datang dan terparkir di samping mobil kami, tante banci segera turun dan menghampirinya. Kemudian membuka pintu samping tempat dudukku. "Turun Amira, pemenang atas tubuhmu sudah siap untuk membawamu pergi." Jantungku berdebar kencang, turun perlahan dan mendekati pintu sedan mewah tersebut."Buktikan jika Kau memang ada,Tuhan."
Seorang pria peranakan paruh baya menyambutku, tubuhnya besar seperti Mami Merry, dengan wajah dan kulit tubuh seperti pria keturunan pada umumnya, dan aku pun duduk di sebelahnya. Jantungku masih berdebar kencang, pria paruh baya itu menatapku dengan pandangan mata yang terpesona. "Mantap ini," ujarnya.
Sedikit terdengar percakapannya dengan tante banci, jika dia sudah mentransfer sejumlah uang ke Mami Merry, tetapi masih tetap memberikan beberapa lembar uang kepada Tante Yusnia dan dua orang bodyguard.
"Ini buat lo olang makan-makan."
Bos besar itu lalu menepuk bahu sopir pribadinya, dan mobil pun bergerak perlahan menjauh, tetapi masih terlihat olehku, tante sedang membagikan uang pemberian si bos kepada kedua bodyguard tersebut.
Aku terdiam terpaku, rasa takut menghinggapi seluruh tubuh. Gemetar rasanya, jijik dengan pria bertubuh besar ini, tetapi aku bisa apa? Dalam hati aku terus berdoa pada Tuhan yang tidak pernah kukenal, berharap Dia mampu menolongku keluar dari jalan nista ini.
"Lo Olang cantik," kata bos besar itu, sembari menyentuh daguku dan dihadapkan ke arah wajahnya.
"Semoga lo juga bawa hoky besar buat owe."
Sedan mewah itu melaju menuju pusat kota, udara dingin dalam mobil membuatku mengiggil, rasa takut semakin menyergap, membayangkan jika nanti harus melayani nafsu birahi pria besar di sampingku ini.
Mobil tiba dan memasuki sebuah bangunan megah dengan taman-taman indah, sebuah tulisan nama besar sebuah hotel terpajang di atas gedung megah tersebut, dan berhenti tidak jauh dari tulisan "Lobby".
"Ayuk turun," ajak pria besar itu kepadaku, dan aku mulai mengikuti apa maunya.
Berdiri terdiam di samping mobil. Menatap nanar gedung megah di depanku. Meremang mata ini. Kuremas keras pakaian yang kukenakan dan perlahan memasuki gedung tersebut.
"Mungkin memang Tuhan, menginginkan aku menjadi seperti Asmah dan yang lain." Bathinku berkata lirih. Tuan besar itupun menggenggam tanganku, melangkah bersama menuju ke dalam lobby. Langkah takdir sudah membuatku sampai di tempat ini, dan aku sudah berhenti berdoa.
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti."Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry."Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.Sedan mewah yang
Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topengberpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembut
Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. "Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa."Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira."Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya."Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu
"Dia, Amila. Memang owe yang kilim buat Bapak," jawab Bos Gendut, menjelaskan. "Pak Malkus puas dengan pelayanannya?" tanya si Bos."Sudah kuduga, mereka semua mengira bahwa aku adalah Markus," batin Darmawan."Berarti dugaan adanya permainan dalam proyek perusahaan yang dicurigai oleh kantor pusat benar adanya," ucap Darmawan, dalam hati."Pelayanan apa maksudnya, Bos?" Darmawan mencoba meminta penjelasan, walaupun dia tahu maksud dan arah dari pertanyaan tersebut."Ah, masa Pak Malkus tidak paham," ucap Bos Gendut, sembari tertawa cengengesan bersama teman di sebelahnya."Loh, saya memang benar-benar tidak paham," ujar Darmawan, mencoba meyakinkan.Mereka saling menoleh satu sama lain, seperti kebingungan."Lalu, si Amila semalaman sama Pak Malkus?" tanya si Bos, sambil menatap ke arah Amira, yang duduk di samping Darmawan, berhadapan dengan mereka berdua."Anda tahu, berapa usia gadis ini?" Darmawan mulai berbicara tegas, jemarinya menunjuk ke arah Amira. Sekali lagi Bos Gendut dan
"Jika begitu tidak apa-apa, sekalang ... owe mau pamit," ucap si Bos, lalu tatapan matanya di arahkan kepada Amira."Amila, ikut owe pulang sekalang!" perintahnya, sambil bersiap-siap untuk berdiri. Sepertinya dia sadar jika dalam posisi yang tidak menguntungkan dan ada di bawah tekanan.Darmawan berdiri bergerak cepat, menahan mereka untuk pergi, dengan menyongsongkan sebelah tangannya, seperti memberi kode agar mereka berdua duduk kembali."Duduk dulu sebentar, masalah kita belum sepenuhnya selesai!" tegasnya.Bos Gendut dan koleganya perlahan duduk kembali, lalu diikuti oleh Darmawan.Dimas mengangguk, setelah melihat Darmawan memberikan kode, memintanya untuk mulai bicara."Boleh saya tahu, nama Bapak-bapak ini siapa?" tanya Dimas kepada kedua orang yang ada di depannya. Sebelum memulai pembicaraan ke arah yang lebih serius."Owe, Ayung. Temen owe, Beng-Liem," jawab Bos Gendut, memperkenalkan nama mereka berdua."Bapak-bapak ini tahu, kan, usia gadis ini berapa?" tanya Dimas, mere
Pertanyaan Darmawan benar-benar membuat Amira bingung dan sulit untuk menemukan jawabannya."Saya tidak tahu, Om," jawab Amira, masih dilanda kebingungan. Darmawan pun tidak melanjutkan pertanyaan, karena gadis itu pernah bercerita jika sudah dirawat Mami Merry sejak dari balita."Kamu tidak ingin tahu keberadaan orang tuamu, Ra?" Dimas sekarang yang bertanya."Bagaimana caranya, Mas," jawabnya, rasa kekhawatiran kembali menyesap ke dalam diri Amira. Dimas terdiam, sedikit banyak dia cukup tahu tentang Amira dari cerita Darmawan."Om?" panggil Amira kepada Darmawan. Pria mapan yang baru saja menolongnya ini langsung menatap Amira tanpa bersuara. Dan Amira kembali bertanya."Saya harus bagaimana, Om?" tanya Amira bingung, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi."Kamu sudah bebas, Amira. Sekarang kamu bisa pergi kemana saja yang kamu mau," jelas Darmawan, matanya dalam menatap Amira."Tapi kemana, Om?" Amira benar-benar dilanda kebingungan. Seumur hidupnya, hanya baru dua har