Aku benar-benar dibuat sedih, bingung sekaligus panik, dengan kedatangan haid pertamaku.
Rasa ketakutan, jika keperawananku akan di jual dan harus melayani kepuasan sang pemenang tender atas tubuhku, menimbulkan rasa ketakutan yang teramat sangat."Apa yang harus kulakukan?" menyerah perlahan pada keadaan, atau menyembunyikan kehaid'anku secara diam-diam.
Aku menoleh ke kiri dan kanan. Memperhatikan sekitar tempatku menjemur pakaian, di lantai paling atas tempat penyekapan kami. Sepi tidak ada siapapun,
cepat-cepat kubersihkan darah haid, menyembunyikan pakaian bekas kupakai membersihkan darah, dan mengambil sebuah kaus t-shirt untuk menyembunyikan darah haidku. Entah milik siapa.Ijin keluar membeli pembalut pasti tidaklah mungkin, melihat ketatnya pengawasan keluar masuk yang di jaga 24 jam oleh tukang pukul Mami Merry. Bahkan untuk membeli camilan atau minuman ringan di warung dekat tempat kami diasuh pun, diawasi sangat ketat.
Satu-satunya cara adalah, jika di antara senior mendapatkan haid, lalu menyuruhku untuk membelikan pembalut. Itu pun harus ditemani si senior untuk meminta ijin kepada para bodyguard tersebut.Selesaiku menjemur pakaian, kutemui Asmah, kuajak Asmah untuk sedikit menjauh, membicarakan tentang haid ini kepadanya secara diam-diam.
"Aku dapat haid, As," kataku pelan kepada Asmah, sembari mataku mengawasi sekitar.
"Kapan?" setengah berbisik, Asmah menanyakan.
"Tadi, di saat aku sedang menjemur pakaian."
"Trus, buat nutupin haidmu, bagaimana?" sembari Asmah menoleh kekiri dan kanan.
"Aku gunakan T-shirt untuk menutupinya," jawabku pada Asmah.
"Mau berapa lama kau sanggup menyembunyikan haidmu?" tanya Asmah
"Entahlah ... aku juga bingung," jawabku
Air mataku mulai mengembang, mengalir perlahan.
"Aku tidak sanggup melakukannya, Asmah." Ku mengusap air mata.
"Aku harus bagaimana sekarang?"
"Kamu tunggu sebentar, sepertinya ... aku masih menyimpan beberapa pembalut, sisa haidku kemarin." Asmah segera bergegas menuju kamarnya, tidak lama Asmah kembali dan membawa pembalut sisa, agak sedikit di sembunyikan oleh Asmah.
"Nanti, jika aku keluar menemani tamuku, akan aku belikan pembalut yang baru buatmu," kata Asmah.
Aku hanya meng'angguk."Terimakasih yah As." Asmah hanya tersenyum, dan meninggalkan aku.
Bergegas, segeraku ke kamar mandi, untuk memakai pembalut.
Tapi, bagaimana caraku menyembunyikan t-shirt bekas yang kupakai menutupi haidku, aku lupa membawa plastik.Kusembunyikan, t-shirt bekas tadi menutupi haidku di sudut kamar mandi, di belakang rendaman cucian pakaian, entah rendaman pakaian siapa, sebentar ini pikirku. Bergegas segera mencari kantong plastik.
Kutemukan kantong plastik di sudut-sudut kamar kami semua, junior-junior yang belum di jual Mami Merry, karena kami disatukan di kamar yang sama. Berbeda dengan yang senior.
Saatku menuju kamar mandi, terkejut aku menyaksikan Mami Merry sudah berada di situ, diikuti Tante banci, bodyguardnya, dan beberapa teman sepenampungan, segeraku berbalik arah kembali.
"Amira! ... Kembali ke sini!" Celaka aku. Mami Merry melihatku, dan berteriak memanggilku.
Takut-takut kudekati Mami Merry."Apa itu yang kau pegang di tanganmu!" Bentaknya.
Ragu-ragu, kutunjuki kantong plastik yang tadi kusembunyikan.
Tidak banyak bicara, ditamparnya keras wajahku, hingga terjatuh, dijambaknya rambutku, dan kakinya yang besar itu menendangku.
Sakit rasanya. Aku hanya bisa menangis.Terlihat di sudut ruangan, Asmah pun ikut menangis, melihatku disiksa Mami Merry."Kurang ajar kamu, anak sialan....! Berani-beraninya kau coba membohongi aku!"
Kakinya sekali lagi menendang tubuhku.Tidak ... aku tidak minta ampun ataupun minta Mami Merry tuk berhenti menyiksaku.
Aku hanya diam dan menangis."Sekali lagi, kau coba membohongiku, akan kubunuh dirimu!" Teriak keras, Mami Merry mengancamku.
Mami Merry, meninggalkan aku yg terkulai di lantai, diikuti yang lainnya.
Asmah segera menghampiri, memelukku erat, menangis terisak-isak dipelukannya, dan menangis kami bersama."Yang sabar yah Ra," ucapnya, sembari terus memelukku.
***
Malam ini, aku didandani layaknya orang dewasa, malam ini, aku dipaksa menjual keperawananku, kepada pemenang tender tertinggi yang aku tidak tahu siapa
"Cantiknya kamu neekk ... Tante banci memujiku, dalam hatiku menangis. Sakit sekali.
Tiba-tiba Mami Merry masuk ke dalam ruangan tempatku didandani, tersenyum dia melihatku.
"Kau, Amira! ... harga jual keperawananmu adalah tertinggi, selama aku berbisnis ini. Kamu memang calon primadona baru di sini." Sambil tertawa terbahak Mami Merry.
"Layani pemenang tendermu dengan baik, praktekkan yang selama ini sudah diajarkan padamu. Buat pelangganmu puas, akan kuberikan kau uang sepuluh juta dan hape android terbaru untukmu." Berlalu keluar ruangan Mami Merry. Sembari terus tertawa keras, bahagia sekali dia nampaknya.
"Mungkin memang ini jalan takdirku."
Menangis hatiku ... sakitt rasanya.
Tante Banci baru saja selesai mendandani, kemudian pergi meninggalkan aku sendirian. Menatap wajah diri sendiri dalam cermin."Ini bukan aku," bisikku lirih dalam hati. Cermin melukiskan wajah bermake-up tebal dengan bibir bergincu merah menyala. Cantik memang? Tetapi ini belum sesuai dengan umurku, tidak pantas rasanya berdandan seperti ini. Jujur ... hati ini menolak.Asmah masuk ke dalam kamar mendatangi, melihatku dengan pandangan sedih."Duniamu akan segera berubah, Amira." Mengembang air matanya. "Aku berharap, takdir tidak akan membuatmu menjadi seperti aku. Kamu layak mendapatkan hidup yang lebih baik di luar pekerjaan kotor ini."Ini pegangan buatmu, entahlah ... aku merasa yakin, hidupmu akan berbeda dari kami."Asmah memberikanku uang senilai dua ratus ribu rupiah."Semoga Tuhan membuatmu, tidak akan pernah kembali lagi ke rumah sialan ini!" Dipeluknya aku erat, berkaca-kaca netraku, mendengar doa baik dari sahabatku ini."Terima kasih, As. Aku pun berharap begitu."Asmah
Ruangan yang disebut lobby ini begitu indahnya, dengan lampu kristal besar menggantung di ruang utama, lalu ada dua wanita dewasa yang cantik berseragam menerima setiap tamu yang datang, dengan bangku-bangku besar super mewah yang empuk, aku dengan bos gendut menunggu di situ.Tidak lama seorang pria datang menemui kami, separas dan kulit yang sama dengan bos gendut dan mereka berbincang-bincang dengan bahasa yang tidak aku mengerti."Kamu tunggu di sini dulu sebentar, jangan kemana-mana," pesannya jelas.Aku hanya mengangguk saja, lalu bos besar itu meninggalkan aku di ruangan besar yang super mewah ini, nyaman sekali duduk di bangku seempuk dan semewah ini.""Mungkin ini kesempatan untuk lari dari sini." Niat hatiku.Menoleh kearah kiri dan kanan, keadaan ruangan mewah itu sedikit lenggang, berdiri perlahan, sudah bulat tekad untuk segera terlepas dari genggaman Mami Merry."Ayo, kita pergi lagi." Suara bos gendut, dari arah belakangku, dan cukup membuatku terkejut.Sedan mewah yang
Amira mengerjap, tersentak dirinya dari lamunan ke masa sebelum bertemu dengan Tuan Darmawan. Kembali dia membasuh wajahnya dengan air dingin yang segar, mengelapnya dengan handuk, memandang kembali paras wajahnya pada cermin. Terlihat tampilan wajahnya. Cantik memang, bukan bermaksud memuji diri sendiri, tapi bagi Amira, memakai perias wajah belumlah saatnya. Kehidupan Amira sudah dikelilingi manusia-manusia yang memakai topengberpura-pura bahagia. Tersenyum manja, bercanda, dan tertawa, lalu menggoda setiap pria yang bahkan belum pernah dilihat dan dikenal sama sekali.Yah...." Amira benar-benar tahu, jika mereka semua bertopeng kecantikan luar hanya untuk menutupi derita dan kesedihan terdalam.Tidak terlihat memang, tetapi luka hati rasa sakitnya sulit untuk bisa tersembuhkan.Amira sering melihat kawan-kawannya senasib menangis.Bersedih karena terlahir tanpa pernah mengenal sosok orang tua.Merindukan mereka yang tidak pernah dilihat. Terkadang berkhayal. Seperti apa kelembut
Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu. "Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa."Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira."Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja, "Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya."Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu
"Dia, Amila. Memang owe yang kilim buat Bapak," jawab Bos Gendut, menjelaskan. "Pak Malkus puas dengan pelayanannya?" tanya si Bos."Sudah kuduga, mereka semua mengira bahwa aku adalah Markus," batin Darmawan."Berarti dugaan adanya permainan dalam proyek perusahaan yang dicurigai oleh kantor pusat benar adanya," ucap Darmawan, dalam hati."Pelayanan apa maksudnya, Bos?" Darmawan mencoba meminta penjelasan, walaupun dia tahu maksud dan arah dari pertanyaan tersebut."Ah, masa Pak Malkus tidak paham," ucap Bos Gendut, sembari tertawa cengengesan bersama teman di sebelahnya."Loh, saya memang benar-benar tidak paham," ujar Darmawan, mencoba meyakinkan.Mereka saling menoleh satu sama lain, seperti kebingungan."Lalu, si Amila semalaman sama Pak Malkus?" tanya si Bos, sambil menatap ke arah Amira, yang duduk di samping Darmawan, berhadapan dengan mereka berdua."Anda tahu, berapa usia gadis ini?" Darmawan mulai berbicara tegas, jemarinya menunjuk ke arah Amira. Sekali lagi Bos Gendut dan
"Jika begitu tidak apa-apa, sekalang ... owe mau pamit," ucap si Bos, lalu tatapan matanya di arahkan kepada Amira."Amila, ikut owe pulang sekalang!" perintahnya, sambil bersiap-siap untuk berdiri. Sepertinya dia sadar jika dalam posisi yang tidak menguntungkan dan ada di bawah tekanan.Darmawan berdiri bergerak cepat, menahan mereka untuk pergi, dengan menyongsongkan sebelah tangannya, seperti memberi kode agar mereka berdua duduk kembali."Duduk dulu sebentar, masalah kita belum sepenuhnya selesai!" tegasnya.Bos Gendut dan koleganya perlahan duduk kembali, lalu diikuti oleh Darmawan.Dimas mengangguk, setelah melihat Darmawan memberikan kode, memintanya untuk mulai bicara."Boleh saya tahu, nama Bapak-bapak ini siapa?" tanya Dimas kepada kedua orang yang ada di depannya. Sebelum memulai pembicaraan ke arah yang lebih serius."Owe, Ayung. Temen owe, Beng-Liem," jawab Bos Gendut, memperkenalkan nama mereka berdua."Bapak-bapak ini tahu, kan, usia gadis ini berapa?" tanya Dimas, mere